Sedikit Pemaparan Tentang Pelinggih Yang Ada di Merajan
Kata
pura berasal dari kata Sanskerta yang berarti kota atau benteng, artinya tempat
yang dibuat khusus dengan dipagari tembok untuk mengadakan kontak dengan
kekuatan suci. Tempat khusus ini di Bali disebut dengan nama pura yang
berfungsi sebagai tempat suci untuk pemujaan Hyang Widi beserta manifestasinya
dan roh suci leluhur. Berdasarkan bukti-bukti prasasti yang ditemukan di Bali,
kata pura untuk menamai tempat suci belum ditemukan pada jaman Bali Kuna. Pada
prasasti Turunyan AI tahun 891M disebutkan Sanghyang Turun-hyang artinya tempat
suci di Turunyan. Demikian pula di dalam prasasti Pura Kehen A disebutkan
pujaan kepada Hyang Karimana, Hyang Api, dan Hyang Tanda. Artinya tempat suci
untuk Dewa Karimana, tempat suci untuk Dewa Api dan tempat suci untuk Dewa
Tanda. Dan penjelasan prasasti tersebut diketahui bahwa pada jaman Bali Kuna
yang berlangsung dari kurun waktu tahun 800 - 1343 M dipakai kata Hyang untuk
menyebut tempat suci di Bali.
Pada
jaman Bali Kuna dalam arti sebelum kedatangan Sri Kresna Kepakisan di Bali,
istana raja disebut Kedaton atau Keraton. Sedangkan pada masa pemerintahan Sri
Kresna Kepakisan terlihat sebutan istana raja bukan lagi disebut kedaton
melainkan disebut pura seperti keraton Dalem di Gelgel Swecapura dan keratonnya
di Klungkung disebut Smarapura. Rupa-rupanya menggunakan kata pura untuk
menyebutkan suatu tempat suci dipakai setelah dinasti Dalem berkraton di
Klungkung, di samping istilah Kahyangan masih dipakai. Kendati pun sebagai tempat
pemujaan Hyang Widi, tidak lah merupakan tempat yang permanen dari kekuatan
suci, tetapi lebih bersifat sebagai persimpangan atau tempat tinggal sementara,
di mana pada waktu hari ulangtahun pura, kekuatan suci akan datang menempati
pelinggih- pelinggih yang sudah disediakan di dalam suatu pura. Ketika inilah
diadakan kontak antara anggota masyarakat pengemongnya dengan kekuatan suci
yang baru turun. Sebagai media menurunkan kekuatan suci tadi ialah pedanda atau
pendeta dengan wedanya, selain berbagai-bagai jenis tarian dan upacara sebagai
penyambutan turunnya kekuatan suci.
Tempat
yang abadi dari para Dewa dan roh suci leluhur adalah di gunung, dalam hal ini
gunung Maha meru dan kalau di Bali adalah Gunung Agung. Akhirnya timbul
anggapan, gunung sebagai alam arwah dan juga sebagai alam para dewa. Anggapan
akan adanya gunung suci dalam agama Hindu dapat disaksikan pada cerita-cerita
kuna yang dikaitkan dengan gunung seperti ceritera pemutaran gunung Mandara di
Ksirarnawa yang bertujuan untuk mencari Amerta atau air kehidupan. Ceritera
yang kedua ialah ceritera Tantu Panggelaran yang mengisahkan pemindahan puncak
Gunung Mandara ke Jawa Dwipa yang ketika itu masih dalam keadaan belum stabil.
Kepercayaan gunung sebagai alam arwah telah ada jauh sebelum pengaruh Hindu
datang ke Indonesia, yaitu pada jaman bercocoktanam dan perundagian. Hal ini
dibuktikan dengan ditemukannya tempat pemujaan arwah leluhur yang berbentuk
punden berundakundak yang diduga sebagai replika (bentuk tiruan) dari gunung,
karena gunung pada masa itu dianggap sebagai alam arwah.
Ketika
upacara sedang berlangsung umat akan merasa kehadiran yang Maha suci dan
menimbulkan rasa sebagai kedatangan tamu suci yang dimuliakan. Timbul lah rasa
untuk memberikan rasa bakti atau penghormatan setinggi-tingginya, guna
mendapatkan anugrah-Nya, berupa kesejahteraan, perlindungan dan kebahagiaan
hidupnya. Hal ini merupakan sumber yang menggetarkan jiwanya dan akhirnya
menjadi sumber bangkitnya rasa estetika dari umat. Sebagai akibat rasa estetik
lalu diikuti dengan ciptaan- ciptaan seninya dalam berbagai-bagai bentuk
seperti: seni tari, tabuh, pahat, lukis dan lain-lainnya.
Demikian
lah kelihatan hubungan yang erat antara kebudayaan dan agama, tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lainnya, dan ini akhirnya dapat dilihat di
pura-pura terutama pada piodalan yang penuh dengan hiasan yang serba indah dan
cemerlang. Di sini lah terlihat dengan jelas bahwa perkembangan seni di Bali
mencari akarnya pada agama. Dari sekian banyak pura yang tersebar di daerah
Bali dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widi dan para roh
suci leluhur dapat dikelompokkan berdasarkan fungsinya dan karakter sebagai
berikut
1. Pura yang fungsinya sebagai tempat suci untuk
memuja Hyang Widi dan para Dewa seperti Pura Kahyangan Tiga dan Pura Kahyangan
jagat.
2. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk
memuja roh suci seperti Paibon atau Dadia, Padarman.
Pengelompokan
berdasarkan ciri, yang antara lain diketahui atas dasar penyiwi atau kelompok
masyarakat pemuja. Penyiwi terkelompok di dalam berbagai jenis ikatan seperti:
ikatan sosial, ekonomi, genealogis (garis keturunan), Ikatan sosial antara lain
berdasarkan ikatan wilayah tempat tinggal (teritorial), ikatan pengakuan jasa
seorang guru suci (Dang Guru). Ikatan ekonomis antara lain dibedakan atas dasar
kepentingan sistem mata pencaharian seperti bertani, berdagang, nelayan dan
lain-lainnya. Ikatan genealogis adalah atas dasar garis kelahiran. Berdasarkan
atas ciri-ciri tersebut di atas maka terdapat beberapa kelompok pura di Bali
sebagai berikut:
1) Pura Umum.
Pura ini mempunyai ciri umum sebagai
tempat pemujaan Hyang Widi dengan segala prabawanya (Dewa). Pura yang tergolong
umum ini dipuja oleh seluruh umat Hindu, sehingga sering disebut Kahyangan
Jagat. Pura-pura yang tergolong mempunyai ciri - ciri tersebut adalah Pura
Besakih, Pura Batur dan Pura Sad Kahyangan lainnya.Pura lainnya.
2) Pura Teritorial.
Pura ini mempunyai ciri kesatuan wilayah
sebagai tempat pemujaan suatu desa adat. Ciri khas suatu desa adat pada
dasarnya memiliki tiga buah pura yang disebut Kahyangan Tiga yaitu: Pura Desa,
Pura Puseh dan Pura Dalem. Nama-nama Kahyangan Tiga tampaknya juga bervariasi
seperti pada beberapa desa di Bali, Pura Desa sering disebut Pura Bale Agung,
Pura Puseh sering disebut Pura Segara, bahkan Pura Puseh desa Besakih disebut
Pura Banua.
3) Pura Fungsional.
Pura ini mempunyai karakter fungsional
karena umat penyiwinya terikat oleh ikatan kekaryaan seperti: mempunyai profesi
yang sama dalam sistem mata pencaharian hidup seperti: bertani, berdagang,
nelayan. Karena bertani dalam mengolah tanah tidak dapat dipisahkan dengan air,
maka mereka mempunyai ikatan yang disebut Pura Empelan atau Pura Ulunsuwi atau
Pura Subak.Demikian pula berdagang merupakan satu sistem mata pencaharian hidup
menyebabkan adanya ikatan pemujaan dalam wujud pura yang disebut Pura
Melanting. Umumnya Pura Melanting didirikan di dalam suatu pasar yang dipuja
oleh para pedagang dalam lingkungan pasar tersebut.
4) Pura Kawitan
Pura ini
mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya ikatan wit atau leluhur
berdasarkan garis kelabiran (genealogis ). Pura ini sering pula disebut
Padharman yang merupakan bentuk perkembangan yang lebib luas dari Pura Warga
atau Pura Klen. Dengan demikian mika Pura Kawitan adalah tempat pemujaan roh
leluhur yang telah suci dari masing- masing warga atau kelompok kekerabatan.
Klen kecil adalah kelompok kerabat yang terdiri dari beberapa keluarga inti
maupun keluarga luas yang merasakan diri berasal dari nenek moyang yang sama.
Klen ini mempunyai tempat pemujaan yang disebut Pura Dadia sehingga mereka
disebut.Tunggal Dadia. Keluarga inti disebut juga keluarga batih dan keluarga
luas terdiri lebih dari satu keluarga inti yang juga disebut keluarga. Suatu keluarga inti terdiri dari
seorang suami, seorang istri dan anak- anak mereka yang belum kawin .
Tempat
pemujaan satu keluarga inti disebut Sanggah atau Merajan yang juga disebut
Kemulan Taksu, sedangkan tempat pemujaan kciuarga luas disebut Sanggah Gede
atau pemerajan agung. Klen besar merupakan kelompok kerabat yang lebih luas
dari klen kecil (dadia) dan terdiri dari beberapa kelompok kerabat dadia.
Anggota kelompok kerabat tersebut mempunyai ikatan tempat pemujaan yang disebut
Pura Paibon atau Pura Panti. Di beberapa daerah di Bali, tempat pemujaan
seperti itu ada yang menyebut pura Batur (Batur Klen), Pura Penataran (Penataran
Klen) dan sebagainya. Di dalam rontal Siwagama ada disebutkan bahwa setiap 40
keluarga batih patut membuat Pura Panti, setiap 20 keluarga batih patut mendirikan
Pura lbu, setiap 10 keluarga batih supaya membuat pelinggih Pratiwi dan setiap
keluarga batih membuat pelinggih Kamulan yang kesemuanya itu untuk pemujaan roh
leluhur yang telah suci .Tentang pengelompokan Pura di Bali ini , dalam Seminar
kesatuan tafsir terhadap aspek - aspek agama Hindu ke X tanggal 28 sampai
dengan 30 Mei 1984 ditetapkan pengelompokan pura di Bali sebagai berikut :
a. Berdasarkan atas Fungsinya :
1. Pura
Jagat, yaitu Pura yang berfungsi sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi Wasa
dalam segala prabawanyaNya (manifestasiNya), dan dapat digunakan oleh umat
untuk melaksanakan pemujaan umum, seperti purnama tilem, hari raya Hindu
lainnya tanpa melihat asal, wangsa yang bersangkutan.
2. Pura
kawitan, yaitu Pura sebagai tempat suci untuk memuja Atma Siddha Dewata '(Roh
Suci Leluhur), termasuk didalamnya: sanggah, merajan, (paibon, kamulan), dadia,
dan pedharman
b. Berdasarkan atas Karakterisasinya:
1. Pura
Kahyangan Jagat, yaitu Pura tempat memuja Sang Hyang Widhi dalam segala Prabhawa-Nya
misalnya Pura Sad Kahyangan dan Pura Jagat yang lain.
2. Pura
Kahyangan Desa (Teritorial) yaitu Pura yang disungsung (dipuja dan dipelihara)
oleh Desa Adat.
3. Pura
Swagina (Pura Fungsional) yaitu Pura yang Penyungsungnya terikat oleh ikatan
Swagina (kekaryaan) yang mempunyai profesi sama dalam mata pencaharian seperti
: Pura Subak, Melanting dan sebagainya .
4. Pura
Kawitan, yaitu Pura yang penyungsungnya ditcntukan oleb ikatan
"wit"atau leluhur berdasarkan garis (vertikal geneologis) seperti:
Sanggah, Merajan, Pura lbu, Pura Panti, Pura Dadia, Pura Padharman dan yang
sejenisnya.
Pengelompokan
pura di atas jelas berdasarkan Sraddha atau Tatwa Agama Hindu yang berpokok
pangkal konsepsi Ketuhanan Yang Maha Esa dengan berbagai manifestasi atau
Prabhawanya dan konsepsi Atman manunggal dengan Brahman (Atma Siddha Dewata )
menyebabkan pemujaan pada roh suci leluhur, oleh karena itu pura di Bali ada
yang disungsung oleh seluruh lapisan masyarakat disamping ada pula yang
disungsung oleh keluarga atau Klen tertentu saja.
Pelingih yang ada
di jajaran, Kawitan dan Paibon.
Dibawah ini
akan dipaparkan sedikit mengenai pelinggih yang ada di Kawitan Pasek Gelgel
yang ada di Banjar Gunung sekar, Desa Selat Pandan Banten. Adapun pemaparan ini
akan dimulai dari pelinggih yang ada di jajaran sampai dengan yang terakhir
adalah pelinggih Paibon.
1. Gedong Simpen.
Gedong
simpen ini adalah bangunan suci yang terdapat di sanggah jajaran, adapun gedong
simpen ini berarti sebuah tempat penyimpanan. Biasanya yang disimpan didalam
gedong simpen ini adalah Pretima untuk ruang yang berada diatas dan
sarana-sarana persembahyangan di bagian bawahnya.
2. Pelinggih Menjangan Saluang (Menjang Sakeluang).
Bangunan
ini disebut Pelinggih Menjangan Seluang ( Salwang ) adalah pelinggih untuk
menghormati jasa-jasa Mpu Kuturan di Bali. Mpu Kuturan ialah seorang Maha Rsi
dari Jawa timur yang datang ke Bali pada waktu pemerintahan Raja Marakata yaitu
adik dari Airlangga. Mpu Kuturan di kenal sebagai salah satu tokoh spiritual
yang memperkokoh sendi-sendi kehidupan beragama di Bali. Adapun beberapa
jasa-jasa Beliau antara lain :
1.
Adanya Khayangan Tiga di Desa-Desa
Pakraman
2.
Adanya Khayangan Jagat
3.
Adanya Sad Kahyangan Di Bali
4.
Tata Cara Penyelenggaraan Desa Pakraman.
5.
Tata Cara Pelaksanaan Upacara dan
Upakaranya.
6.
Mengenal Arsitektur tradisional Bali.
7.
Palinggih-Palinggih Meru,Tugu dan Gedong,
dan
8. Mpu Kuturan juga di kenal sebagai pemersatu
beberapa paham atau sekte hindu yang ada di Bali.
Beliau
Juga Mengajarkan berbagai jenis pedagingan secara spiritual. Dan menganjurkan
membuat Sanggah atau Merajan di tiap-tiap pekarangan rumah dan lain-lainnya. Sebenarnya,
sebelum paham atau sekte Hindu yang ada di Bali itu dapat disatukan oleh Mpu
Kuturan, sering kali terjadi pertentangan paham yang menimbulkan keributan maka
Raja Gunapriya Dharmapatni ( Udayana Warmadewa ) yang bertahta di Bali pada
waktu itu pada tahun saka 910 sampai 933 yang merupakan Raja keturunan
Majapahit memandang perlu mendatangkan ahli Rohaniawan dari Majapahit, dan
beliau mengirim utusan ke Majapahit, dari Majapahit mendapat tanggapan baik,
maka dikirimlah Maha Rsi ke Bali, yaitu :
1. Mpu Semeru,
2. Mpu Gana,
3. Mpu Kuturan,
4. Mpu Gnijaya,
5. Mpu Baradah.
Setelah
Beliau bersama-sama di Bali Raja Gunapriya Dharmapatni mengangkat Empu Kuturan
sebagai Ketua Majelis dalam tugas penanganan tentang sekte-sekte tersebut. Kemudian
Empu Kuturan mengadakan pertemuan dengan nama “ Samuan Tiga “ hasil keputusan
Samuan tersebut mendapat kesepakatan bahwa keagamaan didasarkan kepada Siwa dan
Bhuda dan semua sekte telah masuk kedalamnya. Jadi kesimpulanya yang berstana (
Malinggih ) di Palinggih Menjangan Seluang adalah Sang Hyang Panca Rsi Terutama
Empu Kuturan.
3. Pelinggih Taksu Agung.
Pelinggih Taksu Agung adalah tempat untuk
menghubungkan dan mendekatkan diri kehadapan Sang Hyang Taksu Agung. Kalau
dilihat dari katanya Taksu Agung artinya suatu sikap yang tulus ikhlas dan
bertanggung jawab yang dimuliakan , maka dapat disimpulkan bahwa Taksu Agung
merupakan lambang kekuatan Hukum Karma Phala, yang merupakan pedoman pada
setiap langkahyang harus dialami oleh umat . Di mana suatu perbuatan pasti akan ada hasil yang
ditimbulkannya. Pelingih ini terdiri dari 1 rong , lubang atau ruangan.
Bangunan ini Berbentuk Gedong,
tetapi ada dua macam, yang pertama: Gedong bertiang empat (saka pat) beruang
dua (Rong dua). Macam yang kedua Gedong juga hanya memiliki tiang pendek (saka
pandak) didepannya, ruangnya satu (Rong Tunggal), namun saka pandak itu sudah memberikan
arti dua ruangan (Rong dua).
Mengenai kata Taksu, masyarakat
Hindu sebagian besar masih memiliki pengertiaan dan persepsi yang masih sempit,
umpamanya kalau di anggota keluarga tidak ada yang menjadi penari, pedalangan,
dukun dan sebagainya, dianggap tidak perlu memiliki pelinggih Taksu. Menurut
sumber ajaran Agama Hindu sesungguhnya tidak demikian, melainkan taksu tersebut
bersifat Universal dan merupakan kekuatan profesi masing-masing umat. Setiap
manusia memiliki profesionality (wiguna). Menurut ajaran Hindu guna (profesi)
tersebut ada sepuluh yaitu:
1. Guna Rsi Profesi profesi sebagai
pendeta
2. Guna Wibawa profesi sebagai
pegawai, pejabat.
3. Guna Tukang profesi sebagai
pertukangan
4. Guna Sangging profesi sebagai
sangging (tukang Patung)
5. Guna Pragina profesi sebagai
penari, penyanyi, pemusik.
6. Guna Balian profesi sebagai
pengarang (pujangga), penulis, wartawan.
7. Guna Sastra profesi sebagai
pedagang, pengusaha.
8. Guna Sonteng profesi sebagai
pemangku, pemuka agama.
9. Guna Dagang profesi sebagai
pedagang, pengusaha.
10. Guna Tani profesi sebagai
petani.
Dengan adanya sepuluh kelompok
profesi (Guna) memerlukan sekali anugerah Sang Hyang Wiidhi melalui
manifestasinya yaitu Sang Bhuta Kala Raja, beliaulah sebagai sedahan Taksu. Taksu
itu seseungguhnya adalah kekuatan magis dari Sang Hyang Widhi, dimana kekuatan
tersebut merupakan kekuatan Gravitasi (gaya tarik), dengan kekuatan tersebut
menyatu dengaan kekuatan magis manusia serta membangkitkan kekuatan manusia
sehingga manusia memiliki kharisma, kekuatan yang menarik dan kemampuan
spiritual sesuai dengan profesinya. Dengan demikian bangunan Suci Taksu sangat
perlu dibuat sebagai stana Dewa Profesi.
Sarana dan
mantram persembahyangan di pelinggih taksu
-
Sarana
Prasarana persembahyangan dalam pelinggih Taksu adalah dengan menghaturkan
canang tipat Gong ataupun Tipat kelanan.
-
Adapun
mantram yang dipakai dalam menghaturkan persembahyangan di pelinggih Taksu ini
adalah dengan mengucapkan mantra see/ sesontengan.
4. Pelinggih Dewayu Mas Pesaren.
Bangunan Suci ini mneyrupai bangunan
kemulan hanya memiliki dua ruangan (Rong) kanan dan kiri. Di masyarakat Hindu
khususnya di Bali Bangunan ini diberi nama bermacam-macam sesuai dengan loka
dresta, ada yang menamakan linggih Hyang Kompyang, ada yang mnyebutkan linggih
Bethara Hyang, dan ada juga yang memberi sebutan linggih kawitan. Sesungguhnya
maksud dari semua penyebutan nama tersebut adalah benar yaitu memiliki maksud
dan tujuan bahwa pada bangunan suci tersebut adalah merupakan stananya para
Rokh-rokh suci dari suatu clan.
Pada Bangunan Suci Pesaren adalah
Stananya para Rohk-Rokh suci (Dewa Pitara) dengan sebutan “Sang Hyang Sri
Prajapati” dengan swabhawa Atma dan Antaratma yaitu Rokh-rokh yang bersifat
purusa dan predana. Sedangkan pada bangunan suci kemulan juga merupakan
stananya Dewa Pitara.
1. Fungsi
Bangunan Suci Pesaren
Fungsi daripada Bangunan Suci
Pesaren adalah Untuk memuja Stananya
para Rohk-Rokh suci (Dewa Pitara) dengan sebutan “Sang Hyang Sri Prajapati”
dengan swabhawa Atma dan Antaratma yaitu Rokh-rokh yang bersifat purusa dan
predana
2. Sarana
dan Mantram yang digunakan dalam Bangunan Suci Pesaren
-
Sarana
persembahyangan yang dihaturkan dalam Bangunan Suci Pesaren ini adalah dengan
menghaturkan Canang Raka atau canang Buratwangi.
-
Mantram
yang digunakan untuk memuja Bangunan Suci pesaren ini adalah dengan
sesontengan/see.
5. Pelinggih Dewa Bagus Penatar Badung.
Pelinggih
ini adalah sebuah pengayatan terhadap Bhatara-bhatari yang melinggih diPura
Penataran Badung Yang terletak dikabupaten Badung. Pelinggih ini dibangun
karena para pendahulu dari pengempon sanggah kawitan ini memiliki suatu ikatan
dengan Pura penatar Badung itu. dikatakan pengayatan ini dibuat sebagai wujud
rasa bhakti dan tetap memiliki ikatan yang langgeng.
6. Pelinggih Dewa
Ngurah Gede.
7. Pelinggih
Dewa Kerta Negara.
8. Pelinggih
Dewa Kerta Kawat.
Pelinggih
ini didirikan karena ada sebuah ikatan dengan Pura kerta kawat yang ada di
daerah gerokgak. Dikatakan bahwa para leluhur kami sering bertirta yatra
(tangkil) ke pura tersebut, akan tetapi seiring waktu berjalan untuk memudahkan
para pengempon kawitan menghaturkan rasa bhaktinya maka dibuatlah pelinggih
ini.
9. Pelinggih
Dewa Ngurah Segara.
Pelinggih
ini adalah pengayatan dari Pura segara yang ada di desa Anturan. Biasanya para
warga desa selat pandan banten apabila melaksanakan upacara atau karya gede
maka pada saat penglebar dilaksanakan dipura segara. Pura segara difungsikan
sebagai tempat memohon berkat berupa peleburan mala yang ada disetiap makhluk.
Karena dasar itulah pelinggih ini dibuat dan pemujaan dapat lebih sering
dilakukan oleh kerama dadia kami.
10. Pelinggih
Dewi Ulun Danu.
Seperti
yang kita ketahui tentang Pura Ulun Danu adalah tempat pemujaan terhadap Dewa
Wisnu beserta saktinya yaitu Dewi Laksmi (Dewi Danuh) sebagai lambang dari
kesuburan dan kemakmuran. Pendirian pelinggih ini juga diharapkan agar para
kerama atau pengempon dadia ini mendapatkan berkah yang melimpah sehingga semua
kebutuhan hidup dapat terpenuhi
11. Pelinggih
Dewa Penatar Rawes. Limas pait
12. Pelinggih Kemulan.
a. Pelinggih Dewa Ngurah Kemulan.
b. Pelinggih Bhatara Sakti Kemulan
Untuk
pelinggih kemulan yang terdapat di pelinggih jajaran Pasek Gelgel selat Paandan
Banten banjar Gunung sekar terdiri dari rong dua yang bangunannya terpisah,
namun letaknya berjejer yang dimana terdiri dari pelinggih Dewa Ngurah Kemulan
dan Bhatara Sakti kemulan yang hal ini merupakan perwujudan dari Purusa dan
Pradana (Lanang dan Istri)
Penamaan
Ista Dewatanya pada bangunan suci kemulan sesuai dengan sumber-sumber sastra
yang ada adalah merupakan manifestasi sang Hyang Widhi setelah bermanifestasi
memberi kekuatan pada jalan simpang tiga (marga Tiga) yaitu dengan swabhawa
“Sang Hyang Sapuh Jagat”, beliau bermanifestasi kepemerajan yaitu pada bangunan
suci Kemulan dengan Swabhawanya sebagai “Sang Hyang Guru Suksma”. Sang Hyang
Guru Suksma memiliki kekuasaan Tri Murti yaitu dengan manifestasinya Brahma,
bermanifestasi lagi sebagai “Sang Hyang Sri Guru”, dengan swabhawanya,
Sang Hyang
Atma, yang memberikan kekuatan gaib pada Rong kanan (tengen). Sang Hyang Sri
Guru memiliki kekuasaan untuk mengikat dan mengayomi para roh-roh suci leluhur
(Dewa Pitara) yang bersifat purusa (laki-laki) atau dengan kata lain Dewa
Pitara bersifat Purusa bersemayam pada Sang Hyang Sri Guru berstana di rong
kanan. Sang Hyang Guru Suksma memiliki kekuasaan tri murtinya dengan
manifestasi Wisnunya berupa swabhawa sebagai Sang Hyang Sri Adhi Guru. Sang
Hyang Sri Adhi Guru memiliki kekuasaan sebagai antaraatma untuk mengikat dan
mengayomi para roh-roh suci leluhur (Dewa Pitara) yang bersifat Pradana
(Perempuan) dan berstana pada rong kiri Kemulan.
14. Pelinggih
Surya.
Yang Malinggih di sana adalah Dewa Surya
yang konon dalam mitologi Dewa Surya adalah murid dari Dewa Ciwa yang paling
pintar, yang bisa menyamai kepintaran Dewa Ciwa. Sehingga Dewa Surya di beri
Gelar Surya Raditya dan dipakai sebagai contoh untuk mengetahui kepintaran atau
kesaktian Bhatara Ciwa. Dan sebagai ucapan terimakasih dari Bhatara Surya maka
Dewa Ciwa diberi Gelar Kehormatan dengan nama Bhatara Guru, karena beliau guru
dari para Dewa. Sehingga kalau kita lihat pengastawa di sanggah natah antara
lain:
“Ong Ang Ung Mang,
Ong Ciwa Rekaprastika ya namah Swaha”
Bisa juga yang
malinggih di Sanggah Natah adalah Sanghyang Siwa Reka yang tiada lain ialah
Dewa Ciwa itu sendiri, yang ngereka ( bahasa Bali) atau yang menciptakan Alam
Semesta beserta isinya.
1. Fungsi
Bangunan Suci Pelinggih Surya
Fungsi Bangunan Suci Pelinggih Surya
adalah untuk menyinari semua yang ada di paekarangan itu atau menjaga semua
yang ada di pekarangan itu. Dan merupakan saksi Agung dari segala apa yang kita
perbuat.
2. Sarana dan
Mantram pada Bangunan Suci Surya
-
Sarana
persembahyangan pada bangunan suci Surya ini adalah dengan menghaturkan canang
raka atau Buratwangi, dan pada saat rainan tertentu dipersembahkan canang
pangkonan.
-
Mantram
yang digunakan untuk memuja Bangunan Suci Surya ini adalah dengan mantram
sesontengan atau see.
15. Pelinggih
Dewayu Mas Meketel.
16. Pelinggih
Dewayu saking Kubutambahan.
17. Dewayu
Saking Depeha.
18. Pelinggih
Dewayu Manik Toya.
19. Pelinggih
Dewayu Sarining Bukti.
20. PelinggihDewa
Bagus Bukit Sinunggal.
22. Pelinggih
Dewayu Soring Kelapa.
23. Pelinggih
Dewa Bagus Mas Medura.
24. Bale
Paruman (Piyasan).
Bentuk Bangunan ini segi empat
panjang memakai tiang bangunan empat buah, ada juga dengan besar kecilnya
bangunan. Piasan berasal dari kata perhiasan artinya tempat menghias atau
merangkai simbul, seperti Daksina pelinggih, arca, sebelum distanakan pada
bangunan suci dan tempat upakara yang akan dipersemmbahkan. Manifestasi Sang
Hyang Widdhi yang berstana Pada bangunan
ini adalah “Sang Hyang Wenang”. Dari kata wenang yang artinya segala
manifestasi Sang Hyang Widdhi bisa distanakan pada bangunan piasan. Bangunan
ini tidak mesti harus dibuat, boleh juga tidak, tergantung dari luas pekarangan
pamerajan.
Adapun Fungsi dari Bale Piasan ini
adalah Sebagai tempat pemujaan terhadap
ida Bhatara Sami (Dewa yang berstana pada masing-masing pelinggih di merajan),
dan juga sebagai tempat untuk tempat Pemangku untuk menganturkan puja dan
Bhaktinya kehadapan Ida Sang Widhi Wasa.
Sarana dan
mantram persembahyangan dalam Bale Piasan
-
Sarana
persembahyangan yang dihaturkan dalam Bale piasan adalah dengan menghaturkan
canang Raka dan canang penganteb. Apabila menurut rerahinan besar pada Bale
Piasan ini dipersebahkan canang Raka dan canang Pejati.
-
Adapun Mantram yang digunakan dalam Bale
piasan tersebut adalah dengan mantram Trisandya, Puja Kramaning sembah dan juga sesontengan.
Pelinggih yang bertempat di Kawitan yaitu:
1. Piyasan
Kawitan.
2. Pelinggih
Dewa Ngurah Pasek.
3. Dewayu
Beten Lemah.
4. Taksu
Pekandel.
5. Dewayu
sarining Bukti.
6. Sangar
Agung.
Paibon
Terdiri dari :
1. Pelinggih
paibon.
Pelinggih
Jero Gede Apit Lawang.
3. Pelinggih Catur perucut.
Bangunan
ini juga berbentuk gedong tetapi pada atapnya dibentuk kerucut, adalah
merupakan simbol gunung, letaknya disebelah gedong catu meres atau di pojok
timur laut dari pekarangan Pemerajan. Manifestasi Sang Hyang Widhi yang
berstana pada bangunan ini adalah “Sang Hyang Giri Jaya”, beliau menjadi simbol
dewa gunung, kemahakuasaan Beliau adalah menganugrahi keteguhan iman (Dharma).
Untuk mencari pengertian tersebut kami mengambil dari kajian sebagai berikut :
Giri artinya gunung, sedangkan gunung diilustrasikan kokoh atau teguh. Jaya
artinya menang, jadi kata Giri Jaya dapat diartikan sehubungan dengan konteks
spiritual, yaitu keteguhan iman atau keberhasilan dalam pengendalian diri
selama hidup didunia untuk mencapai “Moksartham Atman” (Nirwana) dan Moksartham
Jagathita Ya Ca Iti Dharma.
Untuk lebih
jelasnya maka dibawah ini adalah petikan mantram untuk Pelinggih Catur Perucut
yaitu sebagai berikut :
Giri Putri Dewa Dewi
Lokanata Jagatpati
Sakti Mantram Mahawiryam
Sarwa Jagat Prena Myanam
(Puja
Parikerama Samapta. 82)
Artinya :
Manifestasi
Sang Hyang Widhi sebagai gunung, Beliau bisa bersifat sebagai dewa atau dewi,
Beliau adalah rajanya alam sorga. Beliau adalah sumber kebahagiaan lahir
bhatin, dan sumber kehidupan jagat Raya.
Lebuh
Umumnya segala hal yang berhubungan dengan pembangunan dan atau pendirian suatu bangunan baik untuk perumahan maupun tempat suci banyak tersurat di dalam lontar Asta Kosala Kosali dan Lontar Astha Bumi. Di lontar-lontar lain ada pula menyinggungnya meski dari sisi yang berbeda, seperti lontar Asta Dewa, lontar Dewa Tattwa yang banyak mengulas perihal tata laksana dan pesucian suatu bangunan.
Umumnya segala hal yang berhubungan dengan pembangunan dan atau pendirian suatu bangunan baik untuk perumahan maupun tempat suci banyak tersurat di dalam lontar Asta Kosala Kosali dan Lontar Astha Bumi. Di lontar-lontar lain ada pula menyinggungnya meski dari sisi yang berbeda, seperti lontar Asta Dewa, lontar Dewa Tattwa yang banyak mengulas perihal tata laksana dan pesucian suatu bangunan.
Penempatan
“lebuh” atau “pemesu”, disebut juga “lawang” atau “dwara” yang merupakan
pintu/gerbang keluar masuknya suatu areal pekarangan dalam hal ini rumah tidak
bisa dilepaskan dengan konsep Tri Mandala (Tri Angga). Konsep itu menjabarkan
bahwa suatu wilayah atau pekarangan pada dasarnya bisa dibagi atas tiga
bagian yaitu :
1.
Utama Mandala (wilayah
parahyangan) yang termasuk kawasan hulu (suci) dengan posisi dalam
“pengider-ideran” di arah utara (kaja) atau timur (kangin) atau tumor laut
(kaja kangin).
2.
Madya Mandala (wilayah
pawongan).
3.
Nista Mandala (wilayah
palemahan) yang termasuk kawasan teben (profan).
Berpijak
pada uraian singkat ini, maka penempatan “lebuh” akan selalu diusahakan berada
pada posisi Madya Mandala atau Nista Mandala, suatu wilayah atau kawasan yang
memang bersifat profan (tidak suci). Jika dipaksakan (mungkin karena situasi
pekarangan) boleh-bileh saja asal tidak “ngungkulin parahyangan”.
Letak
lebuh di ujung gang yang di apit oleh pekarangan milik orang lain boleh saja.
Tetapi untuk tidak menjadi berbentuk “tumbak rurung” sebaiknya dibuatkan
“tembok tumbak rurung”, semacam tembok yang sejajar dengan pintu masuk tetepi
agak kedalam. Terakhir tentang penggunaan “lebuh” lebih dari 1 KK, asal masih
memiliki hubungan “mesanggah” boleh-boleh saja. Di zaman majemuk ini orang
tidak begitu lagi memperhatikan hal ini.
posted by puturana
2. Ratu Rambutin Sedana (Sang Hyang Rambut Sedana).
Yang
dimaksud dengan Sang Hyang Rambut Sedana adalah kemahakuasaan Sang Hyang Widhi
dalam hal menebarkan kesejahteraan kesegala penjuru dialam semesta ini setelah
diciptakan melalui Yoganya Sang Hyang Sri Sedana Ngerem. Hal ini merupakan
simbul adanya uang yang beredar diseluruh dunia, sebagai kekuatan ekonomi yang
menopang kehidupan manusia. Beliau berstana pada bangunan suci ini di rong atas
(ruang tumpang).
Untuk
mendapatkan pengertian yang lebih jelas, kami mengadakan pendekatan pada salah
satu sumber ajaran agama Hindu dengan mencantumkan petikan sebagai berikut :
Sri Dana Dewya Kombayem
Sarwa Rupa Patni Tasye
Sarwanjakem Mini Datyem
Sri Tri Dewi Namastute
(Puja
Parikrama Sarahita Samapta, 7.2.)
Artinya :
Manifestasi
Sang Hyang Widhi sebagai Dewa kesejahteraan telah bersemayam kedalam semua
bentuk Swabhawanya Sang Hyang Widhi dan Beliau bisa berwujud sebagai segala
bentuk fungsinya di dunia, yaityu sebagai sumber ilmu pengetahuan dengan
sebutan Dewi Saraswati, sebagai sumber segala kesejahteraan dengan sebutan Sang
Hyang Sri Sedana, dan sebagai sumber kesuburan dengan sebutan Sang Hyang Sri
Dewi, ketiga inilah Sang Hyang Sri Tri Dewi namanya.
Sedaan Penglurah.
Bangunan Suci ini memiliki dua macam
bentuk, ada yang memakai bentuk tepas sari (sepertoi gedong) dan ada juga yang
memakai bentuk tepasana (tidak beratap). Kedua-duanya boleh. Mengenai
pengertian penglurah perlu kami kaji agar para pembaca khususnya Umat Hindu
memperoleh pengertian dan persepsi yang sama serta benar. Kata penglurah asal
katanya lurah yang artinya pembantu (pepatih), mendapat awalan pe dan sisipan
ng menjadi kata kerja, jadi penglurah artinya bertugas menjadi pembantunya para
Dewa atau Dewata (menjadi patihnya) pada setiap Pura/pamerajan. Penglurah ini
adalah merupakan manifestasi Sang Hyang Widdhi dengan Swabhawa “Butha Dewa”
yang maksudnya setengah Dewa, setengah Butha, termasuk kelompok Gandarwa.
Beliau memiliki fungsi sebagai penjaga juru bicara atau sebagai katalisator
anatara dewa, Dewata dengan manusia sebagai umatnya.
Fungsi Bangunan Suci Penglurah
Fungsi Bangunan Suci Penglurah
adalah sebagai tempat untuk memuja manifestasi sang Hyang Widhi dengan
Swabhawanya Butha Dewa.
Sarana dan
Mantram Bangunan Suci Penglurah
-
Sarana
yang dipersembahkan pada Bangunan Suci Penglurah adalah dengan menghaturkan
canang Raka atau canang buratwangi, dan pada saat upacara tertentu
dipersembahkan canang pangkonan.
-
Mantram
yang digunakan pada Bangunan suci Penglurah ini adalah dengan mantram
sesontengan atau see.
0 komentar:
Post a Comment