twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Monday, February 3, 2014

Sedikit Pemaparan Tentang Pelinggih Yang Ada di Merajan Saya

Sedikit Pemaparan Tentang Pelinggih Yang Ada di Merajan 
            Kata pura berasal dari kata Sanskerta yang berarti kota atau benteng, artinya tempat yang dibuat khusus dengan dipagari tembok untuk mengadakan kontak dengan kekuatan suci. Tempat khusus ini di Bali disebut dengan nama pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk pemujaan Hyang Widi beserta manifestasinya dan roh suci leluhur. Berdasarkan bukti-bukti prasasti yang ditemukan di Bali, kata pura untuk menamai tempat suci belum ditemukan pada jaman Bali Kuna. Pada prasasti Turunyan AI tahun 891M disebutkan Sanghyang Turun-hyang artinya tempat suci di Turunyan. Demikian pula di dalam prasasti Pura Kehen A disebutkan pujaan kepada Hyang Karimana, Hyang Api, dan Hyang Tanda. Artinya tempat suci untuk Dewa Karimana, tempat suci untuk Dewa Api dan tempat suci untuk Dewa Tanda. Dan penjelasan prasasti tersebut diketahui bahwa pada jaman Bali Kuna yang berlangsung dari kurun waktu tahun 800 - 1343 M dipakai kata Hyang untuk menyebut tempat suci di Bali.
            Pada jaman Bali Kuna dalam arti sebelum kedatangan Sri Kresna Kepakisan di Bali, istana raja disebut Kedaton atau Keraton. Sedangkan pada masa pemerintahan Sri Kresna Kepakisan terlihat sebutan istana raja bukan lagi disebut kedaton melainkan disebut pura seperti keraton Dalem di Gelgel Swecapura dan keratonnya di Klungkung disebut Smarapura. Rupa-rupanya menggunakan kata pura untuk menyebutkan suatu tempat suci dipakai setelah dinasti Dalem berkraton di Klungkung, di samping istilah Kahyangan masih dipakai. Kendati pun sebagai tempat pemujaan Hyang Widi, tidak lah merupakan tempat yang permanen dari kekuatan suci, tetapi lebih bersifat sebagai persimpangan atau tempat tinggal sementara, di mana pada waktu hari ulangtahun pura, kekuatan suci akan datang menempati pelinggih- pelinggih yang sudah disediakan di dalam suatu pura. Ketika inilah diadakan kontak antara anggota masyarakat pengemongnya dengan kekuatan suci yang baru turun. Sebagai media menurunkan kekuatan suci tadi ialah pedanda atau pendeta dengan wedanya, selain berbagai-bagai jenis tarian dan upacara sebagai penyambutan turunnya kekuatan suci.

            Tempat yang abadi dari para Dewa dan roh suci leluhur adalah di gunung, dalam hal ini gunung Maha meru dan kalau di Bali adalah Gunung Agung. Akhirnya timbul anggapan, gunung sebagai alam arwah dan juga sebagai alam para dewa. Anggapan akan adanya gunung suci dalam agama Hindu dapat disaksikan pada cerita-cerita kuna yang dikaitkan dengan gunung seperti ceritera pemutaran gunung Mandara di Ksirarnawa yang bertujuan untuk mencari Amerta atau air kehidupan. Ceritera yang kedua ialah ceritera Tantu Panggelaran yang mengisahkan pemindahan puncak Gunung Mandara ke Jawa Dwipa yang ketika itu masih dalam keadaan belum stabil. Kepercayaan gunung sebagai alam arwah telah ada jauh sebelum pengaruh Hindu datang ke Indonesia, yaitu pada jaman bercocoktanam dan perundagian. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya tempat pemujaan arwah leluhur yang berbentuk punden berundakundak yang diduga sebagai replika (bentuk tiruan) dari gunung, karena gunung pada masa itu dianggap sebagai alam arwah.
            Ketika upacara sedang berlangsung umat akan merasa kehadiran yang Maha suci dan menimbulkan rasa sebagai kedatangan tamu suci yang dimuliakan. Timbul lah rasa untuk memberikan rasa bakti atau penghormatan setinggi-tingginya, guna mendapatkan anugrah-Nya, berupa kesejahteraan, perlindungan dan kebahagiaan hidupnya. Hal ini merupakan sumber yang menggetarkan jiwanya dan akhirnya menjadi sumber bangkitnya rasa estetika dari umat. Sebagai akibat rasa estetik lalu diikuti dengan ciptaan- ciptaan seninya dalam berbagai-bagai bentuk seperti: seni tari, tabuh, pahat, lukis dan lain-lainnya.
            Demikian lah kelihatan hubungan yang erat antara kebudayaan dan agama, tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, dan ini akhirnya dapat dilihat di pura-pura terutama pada piodalan yang penuh dengan hiasan yang serba indah dan cemerlang. Di sini lah terlihat dengan jelas bahwa perkembangan seni di Bali mencari akarnya pada agama. Dari sekian banyak pura yang tersebar di daerah Bali dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widi dan para roh suci leluhur dapat dikelompokkan berdasarkan fungsinya dan karakter sebagai berikut
1.   Pura yang fungsinya sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widi dan para Dewa seperti Pura Kahyangan Tiga dan Pura Kahyangan jagat.
2.   Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja roh suci seperti Paibon atau Dadia, Padarman.
            Pengelompokan berdasarkan ciri, yang antara lain diketahui atas dasar penyiwi atau kelompok masyarakat pemuja. Penyiwi terkelompok di dalam berbagai jenis ikatan seperti: ikatan sosial, ekonomi, genealogis (garis keturunan), Ikatan sosial antara lain berdasarkan ikatan wilayah tempat tinggal (teritorial), ikatan pengakuan jasa seorang guru suci (Dang Guru). Ikatan ekonomis antara lain dibedakan atas dasar kepentingan sistem mata pencaharian seperti bertani, berdagang, nelayan dan lain-lainnya. Ikatan genealogis adalah atas dasar garis kelahiran. Berdasarkan atas ciri-ciri tersebut di atas maka terdapat beberapa kelompok pura di Bali sebagai berikut:
1)   Pura Umum.         
      Pura ini mempunyai ciri umum sebagai tempat pemujaan Hyang Widi dengan segala prabawanya (Dewa). Pura yang tergolong umum ini dipuja oleh seluruh umat Hindu, sehingga sering disebut Kahyangan Jagat. Pura-pura yang tergolong mempunyai ciri - ciri tersebut adalah Pura Besakih, Pura Batur dan Pura Sad Kahyangan lainnya.Pura lainnya.
2)   Pura Teritorial.
      Pura ini mempunyai ciri kesatuan wilayah sebagai tempat pemujaan suatu desa adat. Ciri khas suatu desa adat pada dasarnya memiliki tiga buah pura yang disebut Kahyangan Tiga yaitu: Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem. Nama-nama Kahyangan Tiga tampaknya juga bervariasi seperti pada beberapa desa di Bali, Pura Desa sering disebut Pura Bale Agung, Pura Puseh sering disebut Pura Segara, bahkan Pura Puseh desa Besakih disebut Pura Banua.
3)   Pura Fungsional.
      Pura ini mempunyai karakter fungsional karena umat penyiwinya terikat oleh ikatan kekaryaan seperti: mempunyai profesi yang sama dalam sistem mata pencaharian hidup seperti: bertani, berdagang, nelayan. Karena bertani dalam mengolah tanah tidak dapat dipisahkan dengan air, maka mereka mempunyai ikatan yang disebut Pura Empelan atau Pura Ulunsuwi atau Pura Subak.Demikian pula berdagang merupakan satu sistem mata pencaharian hidup menyebabkan adanya ikatan pemujaan dalam wujud pura yang disebut Pura Melanting. Umumnya Pura Melanting didirikan di dalam suatu pasar yang dipuja oleh para pedagang dalam lingkungan pasar tersebut.
4)   Pura Kawitan
            Pura ini mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya ikatan wit atau leluhur berdasarkan garis kelabiran (genealogis ). Pura ini sering pula disebut Padharman yang merupakan bentuk perkembangan yang lebib luas dari Pura Warga atau Pura Klen. Dengan demikian mika Pura Kawitan adalah tempat pemujaan roh leluhur yang telah suci dari masing- masing warga atau kelompok kekerabatan. Klen kecil adalah kelompok kerabat yang terdiri dari beberapa keluarga inti maupun keluarga luas yang merasakan diri berasal dari nenek moyang yang sama. Klen ini mempunyai tempat pemujaan yang disebut Pura Dadia sehingga mereka disebut.Tunggal Dadia. Keluarga inti disebut juga keluarga batih dan keluarga luas terdiri lebih dari satu keluarga inti yang juga disebut keluarga. Suatu keluarga inti terdiri dari seorang suami, seorang istri dan anak- anak mereka yang belum kawin .
            Tempat pemujaan satu keluarga inti disebut Sanggah atau Merajan yang juga disebut Kemulan Taksu, sedangkan tempat pemujaan kciuarga luas disebut Sanggah Gede atau pemerajan agung. Klen besar merupakan kelompok kerabat yang lebih luas dari klen kecil (dadia) dan terdiri dari beberapa kelompok kerabat dadia. Anggota kelompok kerabat tersebut mempunyai ikatan tempat pemujaan yang disebut Pura Paibon atau Pura Panti. Di beberapa daerah di Bali, tempat pemujaan seperti itu ada yang menyebut pura Batur (Batur Klen), Pura Penataran (Penataran Klen) dan sebagainya. Di dalam rontal Siwagama ada disebutkan bahwa setiap 40 keluarga batih patut membuat Pura Panti, setiap 20 keluarga batih patut mendirikan Pura lbu, setiap 10 keluarga batih supaya membuat pelinggih Pratiwi dan setiap keluarga batih membuat pelinggih Kamulan yang kesemuanya itu untuk pemujaan roh leluhur yang telah suci .Tentang pengelompokan Pura di Bali ini , dalam Seminar kesatuan tafsir terhadap aspek - aspek agama Hindu ke X tanggal 28 sampai dengan 30 Mei 1984 ditetapkan pengelompokan pura di Bali sebagai berikut :
a. Berdasarkan atas Fungsinya :
1. Pura Jagat, yaitu Pura yang berfungsi sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam segala prabawanyaNya (manifestasiNya), dan dapat digunakan oleh umat untuk melaksanakan pemujaan umum, seperti purnama tilem, hari raya Hindu lainnya tanpa melihat asal, wangsa yang bersangkutan.
2. Pura kawitan, yaitu Pura sebagai tempat suci untuk memuja Atma Siddha Dewata '(Roh Suci Leluhur), termasuk didalamnya: sanggah, merajan, (paibon, kamulan), dadia, dan pedharman
b. Berdasarkan atas Karakterisasinya:
1. Pura Kahyangan Jagat, yaitu Pura tempat memuja Sang Hyang Widhi dalam segala Prabhawa-Nya misalnya Pura Sad Kahyangan dan Pura Jagat yang lain.
2. Pura Kahyangan Desa (Teritorial) yaitu Pura yang disungsung (dipuja dan dipelihara) oleh Desa Adat.
3. Pura Swagina (Pura Fungsional) yaitu Pura yang Penyungsungnya terikat oleh ikatan Swagina (kekaryaan) yang mempunyai profesi sama dalam mata pencaharian seperti : Pura Subak, Melanting dan sebagainya .
4. Pura Kawitan, yaitu Pura yang penyungsungnya ditcntukan oleb ikatan "wit"atau leluhur berdasarkan garis (vertikal geneologis) seperti: Sanggah, Merajan, Pura lbu, Pura Panti, Pura Dadia, Pura Padharman dan yang sejenisnya.
            Pengelompokan pura di atas jelas berdasarkan Sraddha atau Tatwa Agama Hindu yang berpokok pangkal konsepsi Ketuhanan Yang Maha Esa dengan berbagai manifestasi atau Prabhawanya dan konsepsi Atman manunggal dengan Brahman (Atma Siddha Dewata ) menyebabkan pemujaan pada roh suci leluhur, oleh karena itu pura di Bali ada yang disungsung oleh seluruh lapisan masyarakat disamping ada pula yang disungsung oleh keluarga atau Klen tertentu saja.
Pelingih yang ada di jajaran, Kawitan dan Paibon.
            Dibawah ini akan dipaparkan sedikit mengenai pelinggih yang ada di Kawitan Pasek Gelgel yang ada di Banjar Gunung sekar, Desa Selat Pandan Banten. Adapun pemaparan ini akan dimulai dari pelinggih yang ada di jajaran sampai dengan yang terakhir adalah pelinggih Paibon.
1. Gedong Simpen.
            Gedong simpen ini adalah bangunan suci yang terdapat di sanggah jajaran, adapun gedong simpen ini berarti sebuah tempat penyimpanan. Biasanya yang disimpan didalam gedong simpen ini adalah Pretima untuk ruang yang berada diatas dan sarana-sarana persembahyangan di bagian bawahnya.
2. Pelinggih Menjangan Saluang (Menjang Sakeluang).
            Bangunan ini disebut Pelinggih Menjangan Seluang ( Salwang ) adalah pelinggih untuk menghormati jasa-jasa Mpu Kuturan di Bali. Mpu Kuturan ialah seorang Maha Rsi dari Jawa timur yang datang ke Bali pada waktu pemerintahan Raja Marakata yaitu adik dari Airlangga. Mpu Kuturan di kenal sebagai salah satu tokoh spiritual yang memperkokoh sendi-sendi kehidupan beragama di Bali. Adapun beberapa jasa-jasa Beliau antara lain :
1. Adanya Khayangan Tiga di Desa-Desa Pakraman
2. Adanya Khayangan Jagat
3. Adanya Sad Kahyangan Di Bali
4. Tata Cara Penyelenggaraan Desa Pakraman.
5. Tata Cara Pelaksanaan Upacara dan Upakaranya.
6. Mengenal Arsitektur tradisional Bali.
7. Palinggih-Palinggih Meru,Tugu dan Gedong, dan
8.  Mpu Kuturan juga di kenal sebagai pemersatu beberapa paham atau sekte hindu yang ada di Bali.
            Beliau Juga Mengajarkan berbagai jenis pedagingan secara spiritual. Dan menganjurkan membuat Sanggah atau Merajan di tiap-tiap pekarangan rumah dan lain-lainnya. Sebenarnya, sebelum paham atau sekte Hindu yang ada di Bali itu dapat disatukan oleh Mpu Kuturan, sering kali terjadi pertentangan paham yang menimbulkan keributan maka Raja Gunapriya Dharmapatni ( Udayana Warmadewa ) yang bertahta di Bali pada waktu itu pada tahun saka 910 sampai 933 yang merupakan Raja keturunan Majapahit memandang perlu mendatangkan ahli Rohaniawan dari Majapahit, dan beliau mengirim utusan ke Majapahit, dari Majapahit mendapat tanggapan baik, maka dikirimlah Maha Rsi ke Bali, yaitu :
1. Mpu Semeru,
2. Mpu Gana,
3. Mpu Kuturan,
4. Mpu Gnijaya,
5. Mpu Baradah.
            Setelah Beliau bersama-sama di Bali Raja Gunapriya Dharmapatni mengangkat Empu Kuturan sebagai Ketua Majelis dalam tugas penanganan tentang sekte-sekte tersebut. Kemudian Empu Kuturan mengadakan pertemuan dengan nama “ Samuan Tiga “ hasil keputusan Samuan tersebut mendapat kesepakatan bahwa keagamaan didasarkan kepada Siwa dan Bhuda dan semua sekte telah masuk kedalamnya. Jadi kesimpulanya yang berstana ( Malinggih ) di Palinggih Menjangan Seluang adalah Sang Hyang Panca Rsi Terutama Empu Kuturan.
3. Pelinggih Taksu Agung.
            Pelinggih Taksu Agung adalah tempat untuk menghubungkan dan mendekatkan diri kehadapan Sang Hyang Taksu Agung. Kalau dilihat dari katanya Taksu Agung artinya suatu sikap yang tulus ikhlas dan bertanggung jawab yang dimuliakan , maka dapat disimpulkan bahwa Taksu Agung merupakan lambang kekuatan Hukum Karma Phala, yang merupakan pedoman pada setiap langkahyang harus dialami oleh umat . Di mana suatu perbuatan pasti akan ada hasil yang ditimbulkannya. Pelingih ini terdiri dari 1 rong , lubang atau ruangan.
            Bangunan ini Berbentuk Gedong, tetapi ada dua macam, yang pertama: Gedong bertiang empat (saka pat) beruang dua (Rong dua). Macam yang kedua Gedong juga hanya memiliki tiang pendek (saka pandak) didepannya, ruangnya satu (Rong Tunggal), namun saka pandak itu sudah memberikan arti dua ruangan (Rong dua).
            Mengenai kata Taksu, masyarakat Hindu sebagian besar masih memiliki pengertiaan dan persepsi yang masih sempit, umpamanya kalau di anggota keluarga tidak ada yang menjadi penari, pedalangan, dukun dan sebagainya, dianggap tidak perlu memiliki pelinggih Taksu. Menurut sumber ajaran Agama Hindu sesungguhnya tidak demikian, melainkan taksu tersebut bersifat Universal dan merupakan kekuatan profesi masing-masing umat. Setiap manusia memiliki profesionality (wiguna). Menurut ajaran Hindu guna (profesi) tersebut ada sepuluh yaitu:
            1. Guna Rsi Profesi profesi sebagai pendeta
            2. Guna Wibawa profesi sebagai pegawai, pejabat.
            3. Guna Tukang profesi sebagai pertukangan
            4. Guna Sangging profesi sebagai sangging (tukang Patung)
            5. Guna Pragina profesi sebagai penari, penyanyi, pemusik.
            6. Guna Balian profesi sebagai pengarang (pujangga), penulis, wartawan.
            7. Guna Sastra profesi sebagai pedagang, pengusaha.
            8. Guna Sonteng profesi sebagai pemangku, pemuka agama.
            9. Guna Dagang profesi sebagai pedagang, pengusaha.
            10. Guna Tani profesi sebagai petani.
            Dengan adanya sepuluh kelompok profesi (Guna) memerlukan sekali anugerah Sang Hyang Wiidhi melalui manifestasinya yaitu Sang Bhuta Kala Raja, beliaulah sebagai sedahan Taksu. Taksu itu seseungguhnya adalah kekuatan magis dari Sang Hyang Widhi, dimana kekuatan tersebut merupakan kekuatan Gravitasi (gaya tarik), dengan kekuatan tersebut menyatu dengaan kekuatan magis manusia serta membangkitkan kekuatan manusia sehingga manusia memiliki kharisma, kekuatan yang menarik dan kemampuan spiritual sesuai dengan profesinya. Dengan demikian bangunan Suci Taksu sangat perlu dibuat sebagai stana Dewa Profesi.
Sarana dan mantram persembahyangan di pelinggih taksu
-          Sarana Prasarana persembahyangan dalam pelinggih Taksu adalah dengan menghaturkan canang tipat Gong ataupun Tipat kelanan.
-          Adapun mantram yang dipakai dalam menghaturkan persembahyangan di pelinggih Taksu ini adalah dengan mengucapkan mantra see/ sesontengan.

4. Pelinggih Dewayu Mas Pesaren.
            Bangunan Suci ini mneyrupai bangunan kemulan hanya memiliki dua ruangan (Rong) kanan dan kiri. Di masyarakat Hindu khususnya di Bali Bangunan ini diberi nama bermacam-macam sesuai dengan loka dresta, ada yang menamakan linggih Hyang Kompyang, ada yang mnyebutkan linggih Bethara Hyang, dan ada juga yang memberi sebutan linggih kawitan. Sesungguhnya maksud dari semua penyebutan nama tersebut adalah benar yaitu memiliki maksud dan tujuan bahwa pada bangunan suci tersebut adalah merupakan stananya para Rokh-rokh suci dari suatu clan.
            Pada Bangunan Suci Pesaren adalah Stananya para Rohk-Rokh suci (Dewa Pitara) dengan sebutan “Sang Hyang Sri Prajapati” dengan swabhawa Atma dan Antaratma yaitu Rokh-rokh yang bersifat purusa dan predana. Sedangkan pada bangunan suci kemulan juga merupakan stananya Dewa Pitara.
1.    Fungsi Bangunan Suci Pesaren
            Fungsi daripada Bangunan Suci Pesaren adalah  Untuk memuja Stananya para Rohk-Rokh suci (Dewa Pitara) dengan sebutan “Sang Hyang Sri Prajapati” dengan swabhawa Atma dan Antaratma yaitu Rokh-rokh yang bersifat purusa dan predana
2.    Sarana dan Mantram yang digunakan dalam Bangunan Suci Pesaren
-          Sarana persembahyangan yang dihaturkan dalam Bangunan Suci Pesaren ini adalah dengan menghaturkan Canang Raka atau canang Buratwangi.
-          Mantram yang digunakan untuk memuja Bangunan Suci pesaren ini adalah dengan sesontengan/see.
5. Pelinggih Dewa Bagus Penatar Badung.
            Pelinggih ini adalah sebuah pengayatan terhadap Bhatara-bhatari yang melinggih diPura Penataran Badung Yang terletak dikabupaten Badung. Pelinggih ini dibangun karena para pendahulu dari pengempon sanggah kawitan ini memiliki suatu ikatan dengan Pura penatar Badung itu. dikatakan pengayatan ini dibuat sebagai wujud rasa bhakti dan tetap memiliki ikatan yang langgeng.
6. Pelinggih Dewa Ngurah Gede.
7.    Pelinggih Dewa Kerta Negara.
8.    Pelinggih Dewa Kerta Kawat.
            Pelinggih ini didirikan karena ada sebuah ikatan dengan Pura kerta kawat yang ada di daerah gerokgak. Dikatakan bahwa para leluhur kami sering bertirta yatra (tangkil) ke pura tersebut, akan tetapi seiring waktu berjalan untuk memudahkan para pengempon kawitan menghaturkan rasa bhaktinya maka dibuatlah pelinggih ini.
9.    Pelinggih Dewa Ngurah Segara.
            Pelinggih ini adalah pengayatan dari Pura segara yang ada di desa Anturan. Biasanya para warga desa selat pandan banten apabila melaksanakan upacara atau karya gede maka pada saat penglebar dilaksanakan dipura segara. Pura segara difungsikan sebagai tempat memohon berkat berupa peleburan mala yang ada disetiap makhluk. Karena dasar itulah pelinggih ini dibuat dan pemujaan dapat lebih sering dilakukan oleh kerama dadia kami.
10. Pelinggih Dewi Ulun Danu.
            Seperti yang kita ketahui tentang Pura Ulun Danu adalah tempat pemujaan terhadap Dewa Wisnu beserta saktinya yaitu Dewi Laksmi (Dewi Danuh) sebagai lambang dari kesuburan dan kemakmuran. Pendirian pelinggih ini juga diharapkan agar para kerama atau pengempon dadia ini mendapatkan berkah yang melimpah sehingga semua kebutuhan hidup dapat terpenuhi
11.  Pelinggih Dewa Penatar Rawes. Limas pait
12.  Pelinggih Kemulan.
 a.    Pelinggih Dewa Ngurah Kemulan.
 b.    Pelinggih Bhatara Sakti Kemulan
             
            Untuk pelinggih kemulan yang terdapat di pelinggih jajaran Pasek Gelgel selat Paandan Banten banjar Gunung sekar terdiri dari rong dua yang bangunannya terpisah, namun letaknya berjejer yang dimana terdiri dari pelinggih Dewa Ngurah Kemulan dan Bhatara Sakti kemulan yang hal ini merupakan perwujudan dari Purusa dan Pradana (Lanang dan Istri)
            Penamaan Ista Dewatanya pada bangunan suci kemulan sesuai dengan sumber-sumber sastra yang ada adalah merupakan manifestasi sang Hyang Widhi setelah bermanifestasi memberi kekuatan pada jalan simpang tiga (marga Tiga) yaitu dengan swabhawa “Sang Hyang Sapuh Jagat”, beliau bermanifestasi kepemerajan yaitu pada bangunan suci Kemulan dengan Swabhawanya sebagai “Sang Hyang Guru Suksma”. Sang Hyang Guru Suksma memiliki kekuasaan Tri Murti yaitu dengan manifestasinya Brahma, bermanifestasi lagi sebagai “Sang Hyang Sri Guru”, dengan swabhawanya,                  
            Sang Hyang Atma, yang memberikan kekuatan gaib pada Rong kanan (tengen). Sang Hyang Sri Guru memiliki kekuasaan untuk mengikat dan mengayomi para roh-roh suci leluhur (Dewa Pitara) yang bersifat purusa (laki-laki) atau dengan kata lain Dewa Pitara bersifat Purusa bersemayam pada Sang Hyang Sri Guru berstana di rong kanan. Sang Hyang Guru Suksma memiliki kekuasaan tri murtinya dengan manifestasi Wisnunya berupa swabhawa sebagai Sang Hyang Sri Adhi Guru. Sang Hyang Sri Adhi Guru memiliki kekuasaan sebagai antaraatma untuk mengikat dan mengayomi para roh-roh suci leluhur (Dewa Pitara) yang bersifat Pradana (Perempuan) dan berstana pada rong kiri Kemulan.
14.  Pelinggih Surya.
            Yang Malinggih di sana adalah Dewa Surya yang konon dalam mitologi Dewa Surya adalah murid dari Dewa Ciwa yang paling pintar, yang bisa menyamai kepintaran Dewa Ciwa. Sehingga Dewa Surya di beri Gelar Surya Raditya dan dipakai sebagai contoh untuk mengetahui kepintaran atau kesaktian Bhatara Ciwa. Dan sebagai ucapan terimakasih dari Bhatara Surya maka Dewa Ciwa diberi Gelar Kehormatan dengan nama Bhatara Guru, karena beliau guru dari para Dewa. Sehingga kalau kita lihat pengastawa di sanggah natah antara lain:
“Ong Ang Ung Mang, Ong Ciwa Rekaprastika ya namah Swaha”
Bisa juga yang malinggih di Sanggah Natah adalah Sanghyang Siwa Reka yang tiada lain ialah Dewa Ciwa itu sendiri, yang ngereka ( bahasa Bali) atau yang menciptakan Alam Semesta beserta isinya.
1. Fungsi Bangunan Suci Pelinggih Surya
            Fungsi Bangunan Suci Pelinggih Surya adalah untuk menyinari semua yang ada di paekarangan itu atau menjaga semua yang ada di pekarangan itu. Dan merupakan saksi Agung dari segala apa yang kita perbuat.
2. Sarana dan Mantram pada Bangunan Suci Surya
-          Sarana persembahyangan pada bangunan suci Surya ini adalah dengan menghaturkan canang raka atau Buratwangi, dan pada saat rainan tertentu dipersembahkan canang pangkonan.
-          Mantram yang digunakan untuk memuja Bangunan Suci Surya ini adalah dengan mantram sesontengan atau see.
15. Pelinggih Dewayu Mas Meketel.
           
16.  Pelinggih Dewayu saking Kubutambahan.

17.  Dewayu Saking Depeha.

18. Pelinggih Dewayu Manik Toya.

19.  Pelinggih Dewayu Sarining Bukti.


20.  PelinggihDewa Bagus Bukit Sinunggal.

22.  Pelinggih Dewayu Soring Kelapa.

23.  Pelinggih Dewa Bagus Mas Medura.

24.  Bale Paruman (Piyasan).
            Bentuk Bangunan ini segi empat panjang memakai tiang bangunan empat buah, ada juga dengan besar kecilnya bangunan. Piasan berasal dari kata perhiasan artinya tempat menghias atau merangkai simbul, seperti Daksina pelinggih, arca, sebelum distanakan pada bangunan suci dan tempat upakara yang akan dipersemmbahkan. Manifestasi Sang Hyang  Widdhi yang berstana Pada bangunan ini adalah “Sang Hyang Wenang”. Dari kata wenang yang artinya segala manifestasi Sang Hyang Widdhi bisa distanakan pada bangunan piasan. Bangunan ini tidak mesti harus dibuat, boleh juga tidak, tergantung dari luas pekarangan pamerajan.
            Adapun Fungsi dari Bale Piasan ini adalah  Sebagai tempat pemujaan terhadap ida Bhatara Sami (Dewa yang berstana pada masing-masing pelinggih di merajan), dan juga sebagai tempat untuk tempat Pemangku untuk menganturkan puja dan Bhaktinya kehadapan Ida Sang Widhi Wasa.
Sarana dan mantram persembahyangan dalam Bale Piasan
-          Sarana persembahyangan yang dihaturkan dalam Bale piasan adalah dengan menghaturkan canang Raka dan canang penganteb. Apabila menurut rerahinan besar pada Bale Piasan ini dipersebahkan canang Raka dan canang Pejati.
-           Adapun Mantram yang digunakan dalam Bale piasan tersebut adalah dengan mantram Trisandya, Puja Kramaning  sembah dan juga sesontengan.
Pelinggih yang bertempat di Kawitan yaitu:
1.    Piyasan Kawitan.

2.    Pelinggih Dewa Ngurah Pasek.

3.    Dewayu Beten Lemah.

4.    Taksu Pekandel.

5.    Dewayu sarining Bukti.

6.    Sangar Agung.

Paibon Terdiri dari :
1. Pelinggih paibon.

Pelinggih Jero Gede Apit Lawang.


3. Pelinggih Catur perucut.
            Bangunan ini juga berbentuk gedong tetapi pada atapnya dibentuk kerucut, adalah merupakan simbol gunung, letaknya disebelah gedong catu meres atau di pojok timur laut dari pekarangan Pemerajan. Manifestasi Sang Hyang Widhi yang berstana pada bangunan ini adalah “Sang Hyang Giri Jaya”, beliau menjadi simbol dewa gunung, kemahakuasaan Beliau adalah menganugrahi keteguhan iman (Dharma). Untuk mencari pengertian tersebut kami mengambil dari kajian sebagai berikut : Giri artinya gunung, sedangkan gunung diilustrasikan kokoh atau teguh. Jaya artinya menang, jadi kata Giri Jaya dapat diartikan sehubungan dengan konteks spiritual, yaitu keteguhan iman atau keberhasilan dalam pengendalian diri selama hidup didunia untuk mencapai “Moksartham Atman” (Nirwana) dan Moksartham Jagathita Ya Ca Iti Dharma.
            Untuk lebih jelasnya maka dibawah ini adalah petikan mantram untuk Pelinggih Catur Perucut yaitu sebagai berikut :
Giri Putri Dewa Dewi
Lokanata Jagatpati
Sakti Mantram Mahawiryam
Sarwa Jagat Prena Myanam
                                                                  (Puja Parikerama Samapta. 82)
Artinya :
            Manifestasi Sang Hyang Widhi sebagai gunung, Beliau bisa bersifat sebagai dewa atau dewi, Beliau adalah rajanya alam sorga. Beliau adalah sumber kebahagiaan lahir bhatin, dan sumber kehidupan jagat Raya.
Lebuh
       Umumnya segala hal yang berhubungan dengan pembangunan dan atau pendirian suatu bangunan baik untuk perumahan maupun tempat suci banyak tersurat di dalam lontar Asta Kosala Kosali dan Lontar Astha Bumi. Di lontar-lontar lain ada pula menyinggungnya meski dari sisi yang berbeda, seperti lontar Asta Dewa, lontar Dewa Tattwa yang banyak mengulas perihal tata laksana dan pesucian suatu bangunan.
            Penempatan “lebuh” atau “pemesu”, disebut juga “lawang” atau “dwara” yang merupakan pintu/gerbang keluar masuknya suatu areal pekarangan dalam hal ini rumah tidak bisa dilepaskan dengan konsep Tri Mandala (Tri Angga). Konsep itu menjabarkan bahwa suatu wilayah atau pekarangan pada dasarnya bisa dibagi atas tiga bagian yaitu :
1.    Utama Mandala (wilayah parahyangan) yang termasuk kawasan hulu (suci) dengan posisi dalam “pengider-ideran” di arah utara (kaja) atau timur (kangin) atau tumor laut (kaja kangin).
2.    Madya Mandala (wilayah pawongan).
3.    Nista Mandala (wilayah palemahan) yang termasuk kawasan teben (profan).
            Berpijak pada uraian singkat ini, maka penempatan “lebuh” akan selalu diusahakan berada pada posisi Madya Mandala atau Nista Mandala, suatu wilayah atau kawasan yang memang bersifat profan (tidak suci). Jika dipaksakan (mungkin karena situasi pekarangan) boleh-bileh saja asal tidak “ngungkulin parahyangan”.
            Letak lebuh di ujung gang yang di apit oleh pekarangan milik orang lain boleh saja. Tetapi untuk tidak menjadi berbentuk “tumbak rurung” sebaiknya dibuatkan “tembok tumbak rurung”, semacam tembok yang sejajar dengan pintu masuk tetepi agak kedalam. Terakhir tentang penggunaan “lebuh” lebih dari 1 KK, asal masih memiliki hubungan “mesanggah” boleh-boleh saja. Di zaman majemuk ini orang tidak begitu lagi memperhatikan hal ini.

                                   posted by puturana
 2. Ratu Rambutin Sedana (Sang Hyang Rambut Sedana).
            Yang dimaksud dengan Sang Hyang Rambut Sedana adalah kemahakuasaan Sang Hyang Widhi dalam hal menebarkan kesejahteraan kesegala penjuru dialam semesta ini setelah diciptakan melalui Yoganya Sang Hyang Sri Sedana Ngerem. Hal ini merupakan simbul adanya uang yang beredar diseluruh dunia, sebagai kekuatan ekonomi yang menopang kehidupan manusia. Beliau berstana pada bangunan suci ini di rong atas (ruang tumpang).
            Untuk mendapatkan pengertian yang lebih jelas, kami mengadakan pendekatan pada salah satu sumber ajaran agama Hindu dengan mencantumkan petikan sebagai berikut :

Sri Dana Dewya Kombayem
Sarwa Rupa Patni Tasye
Sarwanjakem Mini Datyem
Sri Tri Dewi Namastute
                                                              (Puja Parikrama Sarahita Samapta, 7.2.)
Artinya :
            Manifestasi Sang Hyang Widhi sebagai Dewa kesejahteraan telah bersemayam kedalam semua bentuk Swabhawanya Sang Hyang Widhi dan Beliau bisa berwujud sebagai segala bentuk fungsinya di dunia, yaityu sebagai sumber ilmu pengetahuan dengan sebutan Dewi Saraswati, sebagai sumber segala kesejahteraan dengan sebutan Sang Hyang Sri Sedana, dan sebagai sumber kesuburan dengan sebutan Sang Hyang Sri Dewi, ketiga inilah Sang Hyang Sri Tri Dewi namanya.
Sedaan Penglurah.
            Bangunan Suci ini memiliki dua macam bentuk, ada yang memakai bentuk tepas sari (sepertoi gedong) dan ada juga yang memakai bentuk tepasana (tidak beratap). Kedua-duanya boleh. Mengenai pengertian penglurah perlu kami kaji agar para pembaca khususnya Umat Hindu memperoleh pengertian dan persepsi yang sama serta benar. Kata penglurah asal katanya lurah yang artinya pembantu (pepatih), mendapat awalan pe dan sisipan ng menjadi kata kerja, jadi penglurah artinya bertugas menjadi pembantunya para Dewa atau Dewata (menjadi patihnya) pada setiap Pura/pamerajan. Penglurah ini adalah merupakan manifestasi Sang Hyang Widdhi dengan Swabhawa “Butha Dewa” yang maksudnya setengah Dewa, setengah Butha, termasuk kelompok Gandarwa. Beliau memiliki fungsi sebagai penjaga juru bicara atau sebagai katalisator anatara dewa, Dewata dengan manusia sebagai umatnya.
Fungsi Bangunan Suci Penglurah
            Fungsi Bangunan Suci Penglurah adalah sebagai tempat untuk memuja manifestasi sang Hyang Widhi dengan Swabhawanya Butha Dewa.
Sarana dan Mantram Bangunan Suci Penglurah
-          Sarana yang dipersembahkan pada Bangunan Suci Penglurah adalah dengan menghaturkan canang Raka atau canang buratwangi, dan pada saat upacara tertentu dipersembahkan canang pangkonan.
-          Mantram yang digunakan pada Bangunan suci Penglurah ini adalah dengan mantram sesontengan atau see.




Ditulis Oleh : Unknown // 6:33 AM
Kategori:

0 komentar:

 

Followers