twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Sunday, February 2, 2014

Panca Yadnya

BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang.
            Kerangka dasar ajaran agama Hindu adalah Tatwa (filsafat), Susila (ethika) dan upacara (rituil). Ketingga kerangka dasar tersebut tidak berdiri sendiri tetapi merupakan suatu kesatuan yang harus dimiliki dan dilaksanakan (Anonim, 1968). Kehidupan masyarakat Bali sehari-harinya didasari atas filsafat Tri Hita Karana yaitu kearmonisan hidup yang bahagia dengan tiga sumber penyebab yang tidak lain adalah dari Tuhan, manusia dan alam sekitarnya ( Purnomohadi, 1993). Penerapan Tri Hita Karana dalam pelaksanaan upacara dan yadnya pada kehidupan sehari-harinya adalah sebagai berikut :

1. Hubungan antara manusia dengan Tuhan yang diwujudkan dengan Dewa Yadnya.
2. Hubungan antara manusia dengan sesamanya diwujudkan dengan Pitra Yadnya, Resi Yadnya dan Manusia Yadnya
3. Hubungan manusia dengan alam lingkungan yang diwujudkan dengan Buhta Yadnya. (Anonim 2000).
Kelima upacara keagamaan di atas disebut dengan Panca Yadnya yaitu :
1. Dewa Yadnya adalah suatu korban suci yang ditujukan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi dan para Dewa-dewa.
2. Pitra Yadnya adalah suatu penyaluran tenaga (sikap, tingkah laku dan perbuatan) atas dasar suci yang ditujukan kepada leluhur untuk keselamatan bersama. (Anonim, 2000)
3. Resi Yadnya adalah upacara keagamaan yang ditujukan kepada Rsi atau orang suci. seperti upacara penobatan calon sulinggih (mediksa), mengaturkan punia kepada para sulinggi, mentaiti dan mengamalkan ajaran-ajaran para sulinggih, membantu pendidikan calon sulinggih dan membuat tempat pemujaan beliau.(Anonim 1968)
4.  Manusia Yadnya adalah suatu korban suci yang bertujuan untuk membersihkan lahir bathin dan memelihara hidup manusia dari terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir hidup manusia
5.  Bhuta Yadnya adalah suatu korban suci yang bertujuan untuk membersihkan alam beserta isinya. Ditujukan pada dua sasaran yaitu 1 (satu) Pembersihan alam dari gangguan pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh para buta kala dan makluk yang dianggap lebih rendah dari manusia. Dan 2(dua) Pembersihan terhadap sifat bhuta kala dan makluk itu sehingga sifat baik dan kekuatanya dapat berguna bagi kesejahteraan umat manusia dan alam.
1.2       Rumusan Masalah.
            Dalam pembuatan makalah ini kami menentukan beberapa pokok permasalahan yang kami jadikan sebagai acuan dalam proses penyusunannya nanti. Adapun masalah-masalah yang akan kami kemukakan adalah sebagai berikut :
1.2.1    Apa pengertian Pitra Yadnya.
1.3.2    Apa dasar-dasar adanya Pitra Yadnya.
1.3.3    Bagaimana tata cara pelaksanaan upacara Pitra Yadnya.
1.3.4    Bagaimana pembagian dari upacara Pitra Yadnya.
1.3.5    Bagaimana Dewasa dan Upakara pada upacara Pitra Yadnya.
1.3       Tujuan Pencapaian
            Dari berbagai permasalan diatas kami memiliki suatu dasar atau tujuan yang ingin kami capai dalam penyusunan makalah ini. Adapun tujuan yang telah kami tentukan yaitu :
1.3.1    Untuk mengetahui pengertian Pitra Yadnya.
1.3.2    Untuk mengetahui dasar-dasar adanya Pitra Yadnya.
1.3.3    Untuk mengetahui tata cara pelaksanaan upacara Pitra Yadnya.
1.3.4    Untuk mengetahui pembagian dari upacara Pitra Yadnya.
1.3.5    Untuk mengetahui Dewasa dan Upakara pada upacara Pitra Yadnya.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Pengertian Upacara Pitra Yadnya.
            Pitra Yadnya berasal dari dua kata yaitu “Pitra” yang berarti Bapak/ Ibu atau leluhur yang terhormat (sinuhun). Dan kata “Yadnya” berarti penyaluran tenaga, sikap, tingkah laku, dan perbuatan atas dasar suci untuk keselamatan bersama atau pengorbanan. Pitra Yadnya adalah pengorbanan yang tulus ikhlas untuk para leluhur dan orang tua. Pitra yadnya wajib dilakukan untuk membayar hutang hidup kepada orang tua dan leluhur yang disebut Pitra Rna.Tanpa ada leluhur dan orang tua sangat mustahil kita akan lahir di dunia ini. Oleh karena itu hutang hidup ini harus dibayar dengan bentuk Upacara Pitra Yadnya.
            Sedangkan menurut I Gusti ketut Kaler menyatakan bahwa Pitra yadnya secara harfiah terdiri dari dua kata yakniPitra dan Yadnya. Pitra berarti orang tua (Ayah dan Ibu) dalam pengertian yang lebih luas, bisa disebut leluhur. Sedangkan Yadnya  berarti pengorbanan yang dilandasi hati yang tulus iklhas nan suci. Jadi, Pitra . Jadi, Pitra Yadnya berarti pengorbanan yang dilandasi hati yang tulus nan suci kepada leluhur terutama orang tua”. (Kaler,1993:3)                 
            Disamping bentuk upacara pitra yadnya, yang lebih penting dilakukan masa kini adalah bagaimana usaha kita untuk menjunjung nama baik dan kehormatan leluhur dan orang tua. Jadi pitra yadnya dalam kaitan kewajiban sebagai siswa adalah dengan belajar sebaik-baiknya sebagaimana harapan orang tua. Melayani orang tua semasih hidup dengan ikhlas serta tidak mengecewakan dan menyakiti hati orang tua adalah merupakan pitra yadnya utama.

2.2       Dasar-dasar adanya Pitra Yadnya.
1)  Berdasarkan keyakinan, bahwa dengan merasa diri seseorang menjadi anak dari seorang bapak/ibu, maka sadarlah seseorang bahwa ia lahir dan dipelihara sejak kecil sampai dewasa oleh bapak/ibu.
2)  Kesadaran diri akan hal tersebut diatas, makasadar pula akan dirinya yang memiliki hutang yang besar kepada bapak/ibu yakni berhutang jasa. Sesuai dengan Manawa Dharma Sastra No.127, upacara yang ditujukan kepada leluhur sangat mulia sifatnya, karena roh leluhur merupakan dewa terdekat bagi umat hindu setelah disucikan.
3)  Kesadaran akan diri, bahwa dalam hidup ini berhutang jasa terhadap orang tua baik semasih orang tua hidup dan setelah orang tua meninggal dunia, dalam agama Hindu disebut Pitra Rnam.
4)  Jika disimpulkan, jelaslah bahwa dasar adanya Pitra Yadnya adalah Pitra Rnam.
5)  Barang siapa sadar akan dirinya, ia berhutang kepada orang lain, maka iapun harus sadar akan dirinya mempunyai kewajiban untuk membayarnya. Demikian kesadaran akan dirinya bahwa dalam hidup ini kita memegang Pitra Rnam, maka harus sadar pula untuk melaksanakan Pitra Yadnya. Pada perinsip melakukan Pitra Yadnya adalah kewajiban hidup bagi seorang anak.

2.3       Tata Cara Pitra Yadnya.
            Dalam melakukan kewajiban sebagai seorang anak Terhadap orang tua, dalam agama Hindu disebut Sutakirtya. Adapun tata cara yang dilakukan diarahkan kepada dua sasaran pokok yaitu :
2.3.1    Semasih Orang tua hidup.
            Dalam mengarahkan Sutakirtya terhadap orang tua yang masih hidup, lebih dititikberatkan kepada ajaran tata susila, dengan dijiwai inti hakekatnya. Susila yang dimaksud adalah selalu berusaha mebuat orang tua bahagia, yang dinikmati dari cetusan bhakti dari anak. Sedangkan hakekat yang dimaksud adalah Jiwatman bersemayam didalam diri orang tua adalah tunggal dengan yang ada pada orang lain dan bahkan dengan yang ada pada diri sianak. Dan yang lebih mendasar adal Jiwatman adalah tunggal dengan Paramaatman.
2.3.2    Setelah orang tua meninggal dunia.
            Yaitu mengarahkan Sutakirtya setelah orang tua meninggal dunia, pelaksanaannya lebih banyak tampak kepada Upacara secara simbolis (nyasa) dalam bentuk upakara atau banten yang dapat dikhayalkan menurut fantasi, yakni cetusan hati nurani dan yang tersembunyi didalam sifat-sifat rahasia (inti hakekat), seperti tersebut diatas, yaitu sesuatu usaha agar jiwatman orang tua dapat menunggal kembali dengan Paramatman. Jadi dalam hubungan ini upacara Pitra Yadnya lebih banyak mempergunakan Drwya Yadnya.

2.4       Pembagian Upacara Pitra Yadnya.
            Upacara Pitra Yadnya itu dibagi menjadi dua macam yaitu :
2.4.1    Mependem.
            mependem berarti upacara pitra yadnya yang dengan cara dikubur dahulu baru diikuti dengan prosesi upacaraAdapun pemaparannya sebagai berikut :
1)    Hembusan nafas penghabsan (wau Lampus).
                    Terhadap orang yang baru meninggal dunia dilakukan doa (puja pralina) oleh keluarga/orang yang menjumpai pertama kali (pegat angkihan). Adapun maksudnya adalah untuk mendoaakan rokh orang yang meninggal diterima oleh Hyang Widhi dan mencapai kesucian. Upacara ini disertai dengan mantra Om A Ta Sa Ba I, Om Wa Si Ma Na Ya, Om Mang Ang Ung. Mantram ini dapat dilanjutkan dengan mreyantu, swargantu, samantu, Om Kesama sampurna Ya Namah Swaha. Hal ini juga dapat dilakukan dengan sesontengan.
                    Setelah selesai mayat dibaringkan sedemikian rupa, agar terhindari dari pengelihatan yang mengerikan dan terhindar dari bau busuk. Secara simbolis diukup dengan daun cendana. Yang lebih praktis adalah menggunakan alat modern yaitu dengan suntik formalin dan lain-lain. Biasanya disisi mayat yang terbaring itu ditempatkan basa tampinan : Daun sirih, kapur, tembakau dan pinang.
2) Nyiramang layon (memandikan mayat).
                    Perlengkapan yang dibutuhkan adalah pepaga (tandu), Ulap-ulap (secarik kain putih yang dibentang diatas tempat memandikan dinatar pekarangan), daun pisang, air penyiraman (air tawar, air asem, air kumkuman), dan alat-alat pengeringkesan (pengelelet), jika mungkin dapat diusahakan; keramas, kakerik, bablonyoh putih kuning, gadung, daun tunjung, kapas, daun intaran, bunga menuh, waja, daun terung, pecahan cermin, bunga-bungaan, bebek, ampok-ampok, kwangen, angkeb rai, tempatkan pada suatu tempat. Jika semuanya sulit didapatkan maka janganlah dijadikan penghalang, karena yang dicari memang tidak didapatkan, gunakan apa yang ada diantara bahan-bahan tersebut. Selain yang tersebut diatas yang perlu diperhatikan dan yang perlu adalah Tirtha Khayangan Tiga, Tirta Pangentas metanem, Tirtha dari khayangan yang bersangkutan, Tirtha pembersihan, dan tirta pengelukatan. Jika semua khayangan diatas tidak ada, dirikanlah sanggah pengyengan yang bersifat sementara, dari sana ngayeng Hyang sesuwunan.
Dibawah ini akan dijelaskan rangkaian upacara  mependem.
1.  Menurunkan mayat dari balai-balai.
       Terlebih dahulu mayat diturunkan dari balai-balai dan diusung kehalaman rumah dan diletakan diatas pepaga,selanjutnya mayat ditelanjangi, kemudian disirang dengan air tawar dan bersihkan seperlunya dan yang terakhir adalah tahap kedua mayat disiram dengan air kumkuman. Ini dimaksudkan untuk menyucikan roh orang yang sudah meninggal.
2.    Memasang Ramuan.
       Yang dinamakan memasang ramuan adalah sarana-sarana seperti : gadung, kapas, wangi-wangian, dan lain-lain. Jika telah selesai memandikan yang harus kita lakukan adalah makerik kuku tangan dan kaki, meitik-itik yaitu mengikat kedua ibujari kaki dan tangan dengan benang, pada tangan diletakan satu buah kwangen pangubaktian, selanjutnya makramas dan masigsig. Maksud upacara ini untuk mempersatukan roh yang meninggal kearah tujuan yang didoakan.
3.    Bablonyoh.
       Bablonyoh dipasang masing-masing yaitu yang putih diletakan dikepala dan yang kuning diletakan di kaki. Maksudnya untuk kesempurnaan roh kealam asalnya.
4.    Eteh-eteh.
       Setelah Bablanyoh dipasang selanjutnya dilanjutkan dengan memasang sarana pada tubuh mayat yaitu daun intaran dikening, gadung didada, pusuh menuh dilubang hidung, cermin dimata, waja digigi, daun tuwung pada kemaluan (laki) dan daun tunjung pada kemaluan wanita. Maksudnya adalah untuk sempurnanya kembali unsur panca indranya.
5.    Bebek.
       Bebek adalah bahan bedak (boreh, anget-anget). Ini dipasang pada perutnya. Maksudnya untuk dapatnya roh angisep sarining wangi, yakni menikmati kesucian.
6.    Lenga wangi.
       Lenga wangi adalah minyak harum, bedak wangi yang dipasang pada tubuh mayat, dengan maksud untuk penuda lara gati sengsara, yakni membasmi segala yang bersifat sengsara roh orang yang meninggal.
7.    Kwangen-kwangen.
       Pemasangan kwangen pada tubuh mayat dengan cara : satu buah diletakan dikepala, satu buah di ulu hati, satu buah didada, dua buah di siku (kanan dan kiri), dua buah di lutut kanan dan kiri. Hal ini bertujuan untuk mengembalikan unsur panca maha bhuta dan unsur panca tan matra keasalnya.
8.    Mewastra.
       Kemudian mayat itu dipasang kain selengkapnya dan secara simbolik berfungsi untuk persiapan muspa (tidak dikerubung seluruh tubuhnya). Maksud pakaian itu adalah untuk menyatukan Bayu, Sabda Idep kesemua unsur baik yang bersifat sekala maupun niskala dan kembali amor pada asalnya.
9.    Maktiang ke Surya.
       Setelah lengkap semuanya, maka yang bertugas menjalankan upacara tersebut, memohon kehadapan Sang Hyang Surya Raditya, tirta panglukatan dan pabersihan. Barulah mayat itu diperciki tirtha panglukatan dan pabersihan, dan tirtha dari khayangan lainnya.

10.  Banten arepan.
       Setelah menyembah kehadapan Sang Surya, mayat diayapkan bebanten yang disebut bubur pirata, nasi angkeb, dan saji. Maksudnya untuk bekal roh yang akan meninggalkan dunia maya ini.
11.  Mapegat.
       Sebagai tanda perpisahan, maka kaum kerabat yang ditinggalkan menghadapi banten yang letaknya didekat kaki orang yang meninggal. Banten ini disebut banten sambutan/papegat. Para keluarga yang ditinggalkan mula-mula menyembah pada Surya kemudian kepada roh orang yang meninggal.
12.  Malelet.
       Barulah mayat itu dilelet (dibungkus) dengan ketentuan yaitu pertama dibungkus dengan kain kapan, tikar/kelasa, tali kendit/ante bambu dan akhirnya dengan kain putih.
 3) Mendem Sawa.
            Setra adalah tempat dimana umat Hindu mendem sawa dan ngeseng. Setelah mayat selesai diupacarai sebagai mana mestinya lalu diusung dan dibawa kesetra. Disetra telah disiapkan bangbang. Sebelum dilakukan mendem ada beberapa hal yang harus dilalui yaitu sebagai berikut :
1.    Mayat dibuka, baik tikar maupun pengleletannya dan tali kendit/ante.
2.    diperciki tirtha oleh pelaksana upacara; yakni tirtha panglukatan maksudnya untuk menghilangkan kecemaran. Kemudian dilanjutkan dengan tirtha pabersihan maksudnya untuk menyucikan roh orang yang meninggal. Dilanjutkan dengan tirtha pengentas, maksudnya untuk memberikan jalan yang benar kepada roh orang yang meninggal. Terakhir diperciki tirtha kawitan, khayangan tiga, maksudnya adalah memberikan restu (pemarisudha) kepada roh orang yang meninggal.
3.    selesai memercikan tirtha, kembali mayat dibungkus dan dimasukan kedalam peti dan kemudian dipendem.
4) Sebagai tanda selesainya upacara mendem sawa, maka disetra tersebut dilakukan upacara sebagai berikut :
1.    banten yang dihaturkan kehadapan Sang Hyang Prajapati, dengan puja penunas ica, maksudnya menyerahkan kepadaNya dan memohon ampun atas karma yang tidak baik yang pernah dilakukan dimayapada ini. Juga memohon agar diterima disisiNya.
2.    Banten untuk Ibu Pertiwi dengan pengastawa yang bertujuan untuk berkenan menerima unsur-unsur Panca Maha Bhuta yang meninggal dipangkuannya.
3.    Banten yang dihaturkan kehadapan Sedahan Setra, dengan pengastawa yang bermmaksud agar Sedahan/pengulun bangbang tidak menghalangi mayat itu dipendem.
5)  Maktiang.
            Upacara terakhir dalam mendem sawa dilakukan pengubaktian para sentana dan pratisentana. Dengan demikian selesailah upacara mendem sawa yang dimaksud.
2.4.2    Megeseng.
            mageseng yang berarti melakukan upacara pitra yadnya dengan membakar jasad yang sudah mati dengan prosesi yang sudah ditentukan. Tata cara pelaksanaan ngeseng sawa terdapat beberapa hal yang sama dengan tata cara pelaksanaan mendem sawa, antara lain dari sejak meninggal hingga mengusung kesetra. Oleh karena itu kali ini tidak diuraikan lagi tata cara tersebut. Dibawah ini akan dibahas tentang tata cara pitra yadnya atau upacara atiwa-tiwa dengan cara megeseng (dibakar) yang dimana ada dua proses yaitu : 1) Proses pengembalian badan wadag (Sthula sarira) keasalnya (unsur panca maha bhuta). 2) Proses pengembalian roh (atma sarira) keasalnya (paramaatman).
            Dalam pengertian pengembalian badan wadag kepada unsur panca Maha Bhuta yang dilakukan dengan cara megeseng terjadi dalam beberapa bagian yaitu:
1) Sawa Wedana.
          Yaitu ngeseng sawa secara langsung dengan segala upacaranya. Adapun tata cara pelaksanaan ngeseng dalam waktu singkat dibenarkan menurut sastra yaitu Yama Purwana tattwa dan Purwa Pubha Sesana. Tata cara itu disebut mapendem ring geni dan bertempat di petulangan. Adapun tata caranya adalah setelah sawa tiba di setra. Sawa diusung mengelilingi bale pebasmian sebanyak 3 kali searah dengan putaran jarum jam. Kemudian sawa diturunkan dan diletrakan pada tempat pegesengan, tali kendit/ante diputus dengan belakas yang telah disediakan (blakas diisi dengan bakang-bakang kayu dan kayu pemuhun). Kain pengerubung sawa dibagian kepala dibuka dan bentangkanlah kain penyaring diatasnya sebagai sarana untuk menyaring tirtha. Kemudian dilanjutkan dengan memercikan tirtha penembak/pemanah, panglukatan, pabersihan, pangentas, dan tirtha dari sesuhunan, khayangan tiga, dan tirta purwa.
1. Megeseng.
              Setelah semua prosesi diatas selesai maka dilajutkan dengan ngeseng, tetapi didahului dengan meletakan diatas dadanya upakara-upakara sebagai berikut : Bubur pirata putih kuning 2 tanding, canang 7 tanding, beras catur warna masing-masing 1 ceper (putih, merah, kuning, dan hitam), kemudian dilanjutkan dengan ngeseng dengan saang pengeseng yang telah berisi api upacara. Dan selama pengesengan diharapkan mayat digeseng secara alami dengan tidak mencoma untuk memotong mayat, karena itu dikatakan tidak wajar.
2. Penyeeb.
              Setelah sawa jadi abu semuanya, diatasnya ditutupi dengan dua buah (papah) daun pinang, kemudian tuangkan air secukupnya dan penyeeb.
3. Neraka.
              Pungut sekedar abu tulangnya, tempatkan pada payuk kedas isi dengan air dan air kumkuman. Abu tulang di haluskan dan dimasukan kedalam kelapa gading yang sudah dikasturi dan diwujudkan dalam bentuk puspa asti. Abu lainnya direka seperti bentuk manusia dan dipasangi kwangen di ubun-ubun 1buah, dahi 1buah, dikerongkongan 1 buah, dihulu hati 1 buah, dipusar 1 buah, diantara pusar dan kemaluan 1 buah, diantara kemaluan dan pantat 1 buah, dimata 2 buah, telinga 2 buah, hidung 2 buah, bahu 1 buah, kaki 2 buah, tangan 2 buah, diperut 1 buah, dikemaluan 1 buah, dan dipantat 1 buah.
          Kemudian siapkan daksina pejati selengkapnya, untuk dihaturkan di mrajapati, pengulun setra. Bubur pirata, nasi angkeb, banten arepan ketupat panjang, diuskamaligi, puspa, rantasan untuk rerekayan. Pemimpin upacara melakukan pemujaan dan mengucapkan doa untuk melakukan persembahan keluarga yang meninggal. Persembahan itu ditujukan kehadapan kehadapan Sang Hyang Surya, Mrajapati, Sedahan setra, khayangan tiga, dan sesuhunan. Kemudian rerekayan itu dibungkus diusung dan dibuang kesungai/laut. Ini disertai dengan upakara penganyutan yaitu daksina, peras penganyutan dan wangi-wangi.
2) Asti Wedana.
          Upacara ngeseng yang proses pembakarannya dilakukan dengan cara mayat dikubur terlebih dahulu (ngangkid) dan disertai dengan segala upacaranya. Adapun prosesi pada upacara Asti wedana yaitu sebagai berikut:
1. Mempermaklumkan atau matur piuning di pura dalem dengan membuat simbolis orang yang telah meninggal atai diaben berupa tegteg. Tegteg ini diusung kepura dalem disertai dengan upakara ; peras, penyeneng, daksina, pengulapan, pengambean, segehan, dan sesayut.
2.  Ngulapin ke Merajapati yaitu selesai dipura dalem dilanjutklan dengan ngulapin dipura merajapati. Tuntun tegteg itu kepura Merajapati disertai dengan upakara yang sama.
3. Ngangkid yaitu tegteg diusung kesetra dimana tempat mayat ditanam. Diatas bangbang selenggarakan upacara ngangkid dengan upakara sebagai berikut ; suci, peras, penyeneng, punjung, daksina, segehan berisi jeroan mentah, darah dan tetabuhan tuak berem arak. Bangbang dibongkar untuk mendapatkan tulang-tulang orang yang meninggal yang akan diaben dikumpulkan pada satu tempat yang telah disediakan.
4.  Ngulapin disetra (ngeplugin) yaitu apabila ngangkid dilaksanakan secara simbolis disebabkan karena tempat mayat ditanam tidak ditemukan, cukup dilaksanakan upacara ngulapin disetra tersebut sesuai dengan ketentuan sastra Agama. Pada bangbang yang telah dibongkar, lakukan upacara sekedarnya dengan banten ; peras, suci, daksina, dan sambleh ayam hitam, lalu bangbang itu ditimbun kembali.
5.  Ngeringkes (sama dengan upacara ngeringkes diatas).
6.  Ngeseng (sama dengan yang sebelumnya).
7.  Ngayut (sama dengan yang sebelumnya).
3)  Swasta.
          Upacara atiwa-tiwa tehadap mayat yang tidak mungkin dijumpai lagi, sehingga mayat diwujudkan dengan adegan (badan lain) berupa ilalang, air dan sebagainya. Dalam pengertian umum, adalah suatu usaha untuk melakukan upacara Pitra yadnya yang bertujuan menjadikan arwah yang meninggal menjadi suci.
          Adapun yang tergolong kedalam Swasta adalah Racadana atau Tirtha Yadnya Pranawa yakni sawa itu diganti dengan simbol tirtha (Toya Sarira). Tata cara pelaksanaannya sama dengan tahap pelaksanaan asti wedana, baik dari hatur piuning dipura dalem sampai dengan nganyut. Hanya terdapat beberapa perbedaan antara ngangkid dan ngeringkes.
4) Ngelungah.
          Bayi yang telah berumur 42 hari hingga sebelum tanggal gigi bila meninggal dunia agar segera dikubur. Upacara selanjutnya yaitu Ngelungah dan dapat dilaksanakan bilamana ada kegiatan upacara pengabenan yang lain. Adapun tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut :
1.  Piuning kepura dalem dengan banten ; canang meraka, daksina, ketipat kelanan, telur bekasem, dan segehan putih kuning.
2.  Piuning ke Merajapati dengan banten sebagai berikut ; canang, ketipat, daksina, dan peras.
3.  Piuning kesedahan setra dengan banten ; sorohan, pengambean, pangulapan, peras, daksina, kelungah nyuh gading dirajah Om Kara.
4.  Rokh bayi dengan banten ; bunga pudak, bangsah pinang, kereb sari, punjung dan banten bajang.
5.  Tirtha pengerapuh yang dimohon dipura dalem.
       Semua banten diatas diletakan diatas gegumuk bangbang. Mulailah dilaksanakan upacara pemujaan  memohon agar rokh si bayi kembali suci. Selesai memercikan tirtha maka bangbangpun diratakan lagi dan semua banten itu ditanam.
5) Ketentuan Cuntaka.
       Cuntaka dalam hubungannya dengan atiwa-tiwa terdapat ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1.  Cuntaka pakraman yaitu pakraman mengambil cuntaka setelah tiga hari sejak diadakan upacara mendem atau ngeseng.
2.  Cuntaka keluarga yaitu dilakukan dengan ketentuan keluarga yang bersangkutan namun tidak mempengaruhi cuntaka pakraman.
3.  Cuntaka pemilik sawa yaitu diambil dari sejak ia mempunyai kematian.
4.  Cuntaka atiwa-tiwa yang tidak menggunakan sawa, misalnya Asti Wedana, Swasta, dan lain-lain diambil sejak ngangkid/ngulapin, membuat sikut wadah, mulai Nyamuh (membuat jajan upakara). Dan saat menentukan dewasa.
5.  Cuntaka dalam hubungannya dengan Tumandang Mantri dan Ngelanus. Yang dimaksud dengan ngaben Tumandang mantra adalah apabila hari saat meninggalnya dilakukan upacara pengabenan hingga nyekah hari itu juga, yang dimaksud dengan ngaben Ngelanus adalah apabila pelaksanaan upacara pengabenan dengan upacara nyekah tidak berselang dan pada hari yang sama. Kedua jenis ngaben ini memperhitungkan tidak cuntaka, karena telah dilaksanakan upacara pamarisudha seperti byakaon, prayascita, caru, dan upacara pabersihan lainnya.
6.  Pengemiligi yaitu segala bentuk cuntaka seperti diatas bisa dibuat tuntas setelah diadakan upacara pengelemigian. Dengan demikian selesai pulalah tata upacara atiwa-tiwa yang bersifat sthula sarira.
6)    Meninggal diluar daerah dan abunya dibawa pulang.
       Setiap jenasah yang pernah diupacarai disetra dengan upacara yang berhubungan dengan kematiannya, baik berupa jenazah maupun yang telah dibakar berupa abu, tidak dibenarkan dibawa pulang atau masuk wilayah desa adat. Sebaliknya apabila jenazah atau abu jenazah yang belum mendapat upacara kematian dibenarkan untuk dibawa pulang, setelah sampai dirumah berikan upacara dengan banten ; soda, peras, daksina, segehan agung, dan lain-lain.
7)    Mekingsan di geni.
       Mekingsan digeni pada dasarnya bukan merupakan upacara pengabenan, melainkan setingkat dengan upacara penguburan biasa. Bedanya jenasah tidak dikubur melainkan dibakar dan abunya di anyut kelaut. Apabila segera dilaksanakan upacara pengabenan abu jenasah ditempatkan didalam payuk kedas dan ditaruh pada tempat darurat di setra.
8)    Yang berhak muput upacara pengabenan
       Berdasarkan keputusan dari kesatuan tafsir terhadap aspek agama Hindu, yang dapat memuput upacara pengabenan adalah Sulinggih (dwijati).

2.5       Dewasa dan Upakara.
            Sebagai yang telah disebutkan dalam piagam campuhan Ubud mengenai dharma agama dalam hal pelaksanaan atiwa-tiwa ditetapkan menurut ketentuan Yama Purwana Tattwa, terutama mengenai bebanten dan dilaksanakan, dalam tujuh hari dengan tidak memilih dewasa. Hal ini berarti semakin cepat dilaksanakan akan semakin baik. Untuk tidak mengaburkan pengertian dalam memilih dewasa atiwa-tiwa perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.    Amreteka Sawa.
       Kalau melaksanakan atiwa-tiwa secara langsung terhadap jenasah yang sebenarnya (Amreteka Sawa), lebih-lebih jenasah akibat terserang penyakit menular (gering kameranan), ini sangat membahayakan kalau disimpan cukup lama dirumah. Didalam Tutur Aji Sang Hyang Swamandala menyebutkan bahwa yang demikian membahayakan khayangan-khayangan.
2.    Nangun.
       Kalau pelaksanaan atiwa-tiwa itu memang direncanakan sebelumnya, yakni tidak mewatang sawa yang sebenarnya, termasuk Asti Wedana, Swasta dan yang lain-lain, maka waktu (dewasa) yang dikehendaki dipilih menurut Ala Hayunya.
3.    Bebanten/ Upakara.
       Upakara dalam hubungannya dengan kematian, secara tradisional, sering terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara lain bagi orang yang meninggal biasa dengan orang yang meninggal secara lain misalnya ; salah pati, ngulah pati, dan sebagainya.
       Berdasarkan pesamuhan Campuhan Ubud oleh Parisada Hindu Dharma, pelaksanaan tradisional tersebut diatas diarahkan menurut sastra agama Hindu. Upakaranya disesuaikan dengan orang yang mati, biasa dengan menambahkan upakara penebusan. Pelaksanaannya dilakukan disetra karena hal ini masih bersifat Sthula sarira. Sebagai pedoman, dibawah ini diuraikan secara singkat mengenai pokok-pokok dari upakara Pitra Yadnya :
a.  Nasi Angkeb yaitu sesenden (dulang kecil) dirajah dengan padma. Diatasnya diisi alas tamas ental yang isinya 1 ceper jajan, pisang, tape. Nasi beralaskan piring, dibawah nasi itu diisi alas daun cabe biru 11 lembar, plaus ental 1 buah, tubungan dengan kembang payas, sampian angkeb dengan daun ental, pula kerti, 2 buah orti, benang tukelan berisi beras, tuak 1 cambeng.
b. Banten Panjang Ilang rateng yaitu nasi9 pulung, pisang, ubi, keladi, kacang komak, ketan, injin, gedang, bungkil pisang, lakar base genep,Gerang 2, taluh 2, wot bekatul, beras catur warna, salak, manggis, pakel, duren, wani, candung, ambengan, padang lepas, muncuk dapdap, muncuk tiying sami apesel, beluluk, who-wohan, sedah ambungan, jambe pasihan, uyah, sera, barak, bayem luhur,  bawang jahe, bulun merak, nyuh sami masibak, mabe urutan mepanggang, sesate 9 warni sami lebeng matah dados atamas, malih penek catur warna, mabe nyalean, udang, lele, yuyu, serandu, sami aceper, ring logan caru mewadah tabog, mebe kacang komak, sodaan seruntutan ipun.
c.  Saji Tarpana yaitu terdiri dari ; 1) penek 1, ketipat 1, pesor 1, ulam suka wenang, rake-rake sagenepe. 2) Saserodan yaitu jaja magoreng aceper, jaja lebeng antuk toya aceper. 3) Penek sekul 1, maulam bebek, punjungan putih kuning maulam bebek, tumpeng sodaan 3, kelungah kinasturi, raka sagenep maulam bebek, sami mekaput upih. 4) seserodan yaitu bunga temu, jaja kuskus barak putih, sumping, pasung, belukbuk, cerorot, kalih saruntutan ipun. 5) bubuh pirata putih kuning yaitu putih 54 besik dadi atanding, kuning54 besik dadi atanding, sami metancep padang lepas, ambengan, mesambel maja keeling.
4. Gelar Sanga Alit.
       Yaitu terdiri dari taledan alit9, ajengan sasah, olahan genep, sesate9, jinah 9, mewadah wakul kalih. Asiki medaging nasi, sane asiki malih medaging bantal, beras, taluh, sate, saha tetabuhan, metatakan pangorengan.
5.    Suci alit tamas 8 besik.












BAB III
PENUTUP

3.1       Kesimpulan.
3.1.1    Pitra Yadnya adalah pengorbanan yang tulus ikhlas untuk para leluhur dan orang tua. Pitra yadnya wajib dilakukan untuk membayar hutang hidup kepada orang tua dan leluhur yang disebut Pitra Rna.Tanpa ada leluhur dan orang tua sangat mustahil kita akan lahir di dunia ini. Oleh karena itu hutang hidup ini harus dibayar dengan bentuk Upacara Pitra Yadnya.
3.1.2    Adapun tata cara yang dilakukan diarahkan kepada dua sasaran pokok yaitu semasih Orang tua hidup dengan cara selalu berbakti dan membahagiakan ereka. Yang kedua adalah setelah mereka meninggal yaitu dengan cara melakukan upacara atiwa-atiwa atau pengabenan.

3.2       Saran- saran.
3.2.1    Kita sebagai makhluk yang diciptakan oleh Brahman (Hyang Widhi) harus selalu mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari terutama perbuatan yang ditujukan kepada orang tua haruslah sesuai dengan sesana kita sebagai anak sehingga kita dapat mencapai kebahagiaan yang sejati.
3.2.2    Apabila kita memiliki orang tua yang sudah meninggal tetapi belum di aben maka kita sebagai anak harus melaksanakan hal tersebut, karena itu merupakan kewajiban kita sebagai anak.








Daftar Pustaka

Girinata, Drs. IMade. M.Ag, Acara Agama Hindu I, Institud Hindu Dharma Negeri, Denpasar, 2009.
Tim Penulis Dan Penyusun Buku Agama Hindu, Panca Yadnya, Pemda Tingkat I, Bali, 1996/1997.


Ditulis Oleh : Unknown // 3:26 PM
Kategori:

0 komentar:

 

Followers