MAKNA DARI HARI TUMPEK
LANDEP. DI JAMAN ERA SERBA INSTAN
Tumpek Landep.
Dari sudut pandang Pasupati.
Di dalam sebuah lembaga kehidupan – biji sinar Matahari, terkandung Sanghyang Tripurusa ; dan atas kehendak,
Sanghyang Paramasiwa memasuki Sanghyang Sadhasiwa, Sanghyang Sadasiwa memasuki Sanghyang Sadarudra alias Siwa, kemudian
memasuki Dewa Wisnu, sebagai Sanghyang Pasupati. Analoginya seperti
ini, seandainya biji Anung ( Atom )
tidak dilapisi oleh zat air maka apa saja yang dimasuki akan Pralaya – hangus terbakar. Lapisan yang
kuat dari Dewa Wisnu disebut Kulit Ari. Di dalam kulit Ari selalu akan ada
cairan bening, berasal dari air suci Dewa Wisnu ; Dewa Wisnu, merupakan
manifestasi Tuhan dalam konteks menciptakan pelindung. Sanghyang Pasupati erat kaitannya dengan kelahiran Manusia.
Sinar Matahari dan Bulan dikatakan sebagai perantara pati dan urip. Dalam tattwa Kalepasan dan Kamoksan dijelaskan, bahwa datang
dan perginya Paratma ke Alam Sorga
sebagai perantaranya adalah Cahaya Matahari dan Bulan. Sinar Bulan menurunkan
zat-zat dari Pretiwi yang melapisi
Bhuana sebagai media dari Paratma. Media itu, yakni :
1. Brahma-atma, ~ Bhur loka. 5. Anti-atma,
~ Jana loka.
2. Antara-atma, ~ Bwah loka. 6. Niskala-atma,
~ Tapa loka.
3. Para-atma, ~ Swah loka. 7. Sunia-atma, ~ Satya loka.
4. Nir-atma, ~ Maha loka.
.
Dikatakan
Loka, karena lapisan ini terdiri dari
uapan zat-zat Bumi yang tidak terpengaruh oleh gaya grafitasi bumi. Uapan
zat-zat bumi ini langsung menjadi pelapis Bhuana.
Bhu artinya zat-zat yang sudah halus,
dapat dikatakan unsur-unsur Hara,
menjadi Saraswa, sebagai penyebab
adanya Gelombang/getaran. Sinar Bulan selalu dalam keadaan sejuk/dingin, itu
sebabnya Dewi Bulan disebut Ratih ; Rat artinya kumpulan unsur-unsur zat
padat, sebagai kules, konotasinya
kulit Ari ; dan Ih artinya sudah pada
kodratnya, atas kehendak Tuhan. Jadi, sudah pada hakekatnya Anung/Atom itu
disebut Smara, dan unsur-unsur zat
yang disebabkan oleh adanya Bulan disebut Ratih
( Smara Ratih ).
Kembali pada kelahiran manusia. Awatara datang dari Paing
– Brahman ; Sang Mateja datang dari alam Dewa – Pasah,
alam Langit, sinar/cahaya/Div ; Sang
Nyrewadi, Numadi datang dari alam Bhuana
– Wage, alam pelindung yaitu alam Bhetara / alam Leluhur, merupakan jalur untuk bereinkarnasi ; Sang Numitis datang dari Sorga dunia dan Neraka dunia. Sorga yang
terdekat berada di wilayah Pura-pura,
yakni : Pura Pedharman dan Pura
Khayangan jagat.
Semua kejadian tersebut diatas kasuluhan dening Surya Candra, sehingga Tumpek Landep dan Redita
Umanis Ukir berhubungan erat. Redite
Umanis Ukir adalah pengakuan dan kehomatan kepada Tuhan dan Alam, yang
diterangi oleh Matahari dan Bulan sebagai kodrat penerangan Maha Guru. Ukir itu berarti Gunung, maksudnya para
Resi Agung Tapeng Gunung sebagai
penerima Wahyu dari Wasa Wasitwa ( Sadhasiwa ). Kemudian, Redite Umanis Ukir ditetapkan sebagai
hari rerainan jagat Piodalan Mahaguru / Sanghyang Pramesti Guru. Kata Pramesti
berasal dari akar kata Prami dan esti ; Prami adalah Dewi Uma, dampati dari Bhetara Guru ; sedangkan Esti artinya langgeng pada kodratnya
sebagai pintu datang dan perginya Paramatma.
I.
Energi Alam
dipandang bagaikan sebilah keris
Cahaya alam Langit diteruskan oleh Matahari, Bulan, dan
Bintang. Kalau kita dalami kejadian yang ada di Alam/Bhuana Agung, dikatakan bahwa Bulan dan Bintang sebagai pengadaan
Sarung dan Keris. Mengapa pada malam hari ?, karena unsur-unsur zat yang ada
pada Sapta loka – tujuh lapisan,
dikristalkan oleh dinginnya sang
malam, kemudian, dimasuki oleh Anung
( Atom ) dari Cahaya Alam Langit, sebagai kerisnya. Dan, keris yang sudah
terbentuk di Bhuana Agung oleh Sanghyang Pramesti Guru – Uma-Guru, memasuki makhluk hidup,
selanjutnya masuk ke tubuh manusia. Jadi, manusialah sekarang sebagai Sarung
dari keris tersebut.
Keris tidak terlepas dari makna ketajamannya, yang terdiri
dari tiga sisi ketajaman, yang dijadikan lambang Tri Murti. Pada sisi kanan, adalah ketajaman Brahma, sisi kiri
adalah tajamnya Wisnu, dan ujung keris merupakan tajamnya Iswara. Intinya,
lebih pada penyebab ketajaman dari tujuan dan pikiran manusia yang menjadi
pangkal kekuatan hidup. Dengan kata lain, ketajaman keris itu menjadi
kecerdasan Spiritual, kecerdasan Intelektual, dan Kecerdasan Emosional. Dan
untuk mengasah ketajaman Keris adalah dengan Brata ; Brata artinya
mengurangi santapan, yaitu :
1.
Mengurangi
mengkonsumsi beras dan ketan, diganti dengan pala bungkah dari jenis umbi-umbian, seperti umbi Talas, Umbi
Ketela rambat, umbi ketela pohon. Umbi-umbian tersebut bisa disantap dengan
menambahkan sayur-sayuran, kacang-kacangan, dan sarwa wija : jagung. Serta, selama menjalankan brata dapat mengkonsumsi buah-buahan. Tujuannya, mengurangi kadar
karbohidrat di dalam tubuh.
2.
Mengurangi
berbicara yang tidak ada gunanya. Selama mabrata,
berhenti bersenda gurau dengan bahasa yang kurang baik ; tidak berucap kasar
atau pun memaki-maki, apalagi pada saat perut panas. Arahkan ucapan tersebut
pada hal-hal yang bermanfaat. Tujuannya, mengurangi energi keluar secara
berlebihan.
3.
Hindarkan
bepergian ke tempat-tempat hiburan yang rentan dengan ikatan emosional.
Mengurangi santapan Indria, Panca Indria.
Semua
Brata yang dilakukan pada saat rerainan jagat mengarah pada
keseimbangan jaba-jro, namun tidak
sampai mengurangi aktifitas rutin sehari-hari, seperti bekerja sebagaimana
mestinya. Jika ketiga faktor tersebut sudah dilaksanakan, itulah proses
menghaluskan Budi, dan menciptakan keluhuran Budi.
II.
Mengetahui
kebenaran Triguna
Triguna yang umum dikenal oleh
kalangan masyarakat di Bali hanya sebatas pada ucapan Satwan, Rajas, dan Tamas. Dalam Lontar Pangupadesa, dijelaskan tentang Triguna,
seperti kutipan berikut ini :
1.
Tamas
= Sabda ; Wyepara = Siwa = Atmika Tattwa ; hanya dengan
melaksanakan Brata sifat rakus, loba,
dan sejenisnya bisa dikurangi. Atau dengan mengatur pola makan. Siwa yang memasuki Atmika Tattwa, artinya Siwa yang memasuki Alam kegelapan. Jelasnya,
ketika kita melihat ke dalam diri – dengan memejamkan mata, maka yang tampak
pada mulanya hanyalah suasana gelap, inilah yang dinamakan Tattwa Punggung dan Tattwa
Malupa. Tamas konotasinya Sabda wiapara, artinya Budi Tamas, merupakan sumber penyebab
dari rasa takut, seperti : takut miskin, kelaparan, kecewa, dihina dan lain
sebagainya. Sama halnya dengan orang-orang yang belum mampu memandang celah
kehidupan atau pun belum menghasilkan, maka kerjanya hanya meminta makan dari
orang yang menanggung beban hidupnya.
2.
Rajas =
Sabda ; langgeng = Sadasiwa ;
dengan melakukan Yasa atas apa yang
dilakoni merupakan upaya untuk memperbaiki Rajas,
artinya bagi orang-orang yang telah mempunyai skill atau keahlian kerja, hanya
dengan ngeyasain Rajas itu sendiri, maka ada perubahan. Tegasnya, sudah ada
kesiapan untuk menerima apa adanya, dan telah menyadari bahwa hidup ini
membutuhkan sarana penunjang seperti : sandang, pangan, dan papan – kebutuhan
untuk berlindung dari keadaan panas dan hujan. Dengan demikian sudah mengarah
pada kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidup, serta lebih menyadari bahwa Alam
Semesta ini dianggap seorang Ibu yang selalu menjamin kelangsungan hidupnya.
Jadi, ketika seseorang sudah mempunyai pandangan hidup dan sanggup untuk
mandiri, dikatakan sebagai Sabda Langgeng.
Sebab, pikiran dan intuisinya telah bekerja dan berkembang, seolah-olah selalu
memunculkan inspirasi dari dalam dirinya sendiri. Ini berarti sudah
menghasilkan banyak Ide yang positif.
3.
Satwan
konotasinya Tutur Jati ; meningkatkan
Sattwam adalah dengan Yoga dan
Semadi. Sattwam adalah sifat-sifat
yang ada pada Sattwa ( Pasu ),
misalnya : Lubdaka, adalah seekor Harimau, aktifitasnya selalu memburu
kebutuhan pangan saja. Sifat-sifat itu ada pada diri manusia, dan manusia
disebut Parapasu. Dalam mithologi,
dikisahkan bahwa si Lubdaka mampu melewati kegelapan malam. Dengan begadang
semalam suntuk ( jagra ), dikatakan bahwa ia telah melakukan penebusan dosa.
Esensinya, manusia adalah makhluk yang mempunyai rasio. Sattwam diperuntukkan bagi orang-orang yang sudah mampu
meningkatkan pemahamannya terhadap keberadaan Alam Semesta ini. Bahwa ada yang
menciptakan alam semesta ini, dan meyakini bahwa Tuhan Yang Mahapencipta, Yang
Sejati Adalah Tuhan. Di sisi lain, bahwa Alam ini bersifat Maya – disebut alam
maya, Mayapada. Orang-orang yang sudah mempunyai pandangan terhadap : Tuhan
sebagai Yang Sejati, Alam sebagai Alam Maya,
maka, Satwan itu disebut Tutur Jati.
Dengan penjelasan Triguna
seperti di atas, selanjutnya kita mempunyai pandangan yang positif menuju tugas
dan kewajiban hidup yang baik dan benar. Lebih ditekankan pada tujuan pokok,
menuju Paramartasiwa – sebagai tujuan Yang Tertinggi.
Tumpek Landep.
Dari sudut pandang Pasupati.
Di dalam sebuah lembaga kehidupan – biji sinar Matahari, terkandung Sanghyang Tripurusa ; dan atas kehendak,
Sanghyang Paramasiwa memasuki Sanghyang Sadhasiwa, Sanghyang Sadasiwa memasuki Sanghyang Sadarudra alias Siwa, kemudian
memasuki Dewa Wisnu, sebagai Sanghyang Pasupati. Analoginya seperti
ini, seandainya biji Anung ( Atom )
tidak dilapisi oleh zat air maka apa saja yang dimasuki akan Pralaya – hangus terbakar. Lapisan yang
kuat dari Dewa Wisnu disebut Kulit Ari. Di dalam kulit Ari selalu akan ada
cairan bening, berasal dari air suci Dewa Wisnu ; Dewa Wisnu, merupakan
manifestasi Tuhan dalam konteks menciptakan pelindung. Sanghyang Pasupati erat kaitannya dengan kelahiran Manusia.
Sinar Matahari dan Bulan dikatakan sebagai perantara pati dan urip. Dalam tattwa Kalepasan dan Kamoksan dijelaskan, bahwa datang
dan perginya Paratma ke Alam Sorga
sebagai perantaranya adalah Cahaya Matahari dan Bulan. Sinar Bulan menurunkan
zat-zat dari Pretiwi yang melapisi
Bhuana sebagai media dari Paratma. Media itu, yakni :
1. Brahma-atma, ~ Bhur loka. 5. Anti-atma,
~ Jana loka.
2. Antara-atma, ~ Bwah loka. 6. Niskala-atma,
~ Tapa loka.
3. Para-atma, ~ Swah loka. 7. Sunia-atma, ~ Satya loka.
4. Nir-atma, ~ Maha loka.
.
Dikatakan
Loka, karena lapisan ini terdiri dari
uapan zat-zat Bumi yang tidak terpengaruh oleh gaya grafitasi bumi. Uapan
zat-zat bumi ini langsung menjadi pelapis Bhuana.
Bhu artinya zat-zat yang sudah halus,
dapat dikatakan unsur-unsur Hara,
menjadi Saraswa, sebagai penyebab
adanya Gelombang/getaran. Sinar Bulan selalu dalam keadaan sejuk/dingin, itu
sebabnya Dewi Bulan disebut Ratih ; Rat artinya kumpulan unsur-unsur zat
padat, sebagai kules, konotasinya
kulit Ari ; dan Ih artinya sudah pada
kodratnya, atas kehendak Tuhan. Jadi, sudah pada hakekatnya Anung/Atom itu
disebut Smara, dan unsur-unsur zat
yang disebabkan oleh adanya Bulan disebut Ratih
( Smara Ratih ).
Kembali pada kelahiran manusia. Awatara datang dari Paing
– Brahman ; Sang Mateja datang dari alam Dewa – Pasah,
alam Langit, sinar/cahaya/Div ; Sang
Nyrewadi, Numadi datang dari alam Bhuana
– Wage, alam pelindung yaitu alam Bhetara / alam Leluhur, merupakan jalur untuk bereinkarnasi ; Sang Numitis datang dari Sorga dunia dan Neraka dunia. Sorga yang
terdekat berada di wilayah Pura-pura,
yakni : Pura Pedharman dan Pura
Khayangan jagat.
Semua kejadian tersebut diatas kasuluhan dening Surya Candra, sehingga Tumpek Landep dan Redita
Umanis Ukir berhubungan erat. Redite
Umanis Ukir adalah pengakuan dan kehomatan kepada Tuhan dan Alam, yang
diterangi oleh Matahari dan Bulan sebagai kodrat penerangan Maha Guru. Ukir itu berarti Gunung, maksudnya para
Resi Agung Tapeng Gunung sebagai
penerima Wahyu dari Wasa Wasitwa ( Sadhasiwa ). Kemudian, Redite Umanis Ukir ditetapkan sebagai
hari rerainan jagat Piodalan Mahaguru / Sanghyang Pramesti Guru. Kata Pramesti
berasal dari akar kata Prami dan esti ; Prami adalah Dewi Uma, dampati dari Bhetara Guru ; sedangkan Esti artinya langgeng pada kodratnya
sebagai pintu datang dan perginya Paramatma.
I.
Energi Alam
dipandang bagaikan sebilah keris
Cahaya alam Langit diteruskan oleh Matahari, Bulan, dan
Bintang. Kalau kita dalami kejadian yang ada di Alam/Bhuana Agung, dikatakan bahwa Bulan dan Bintang sebagai pengadaan
Sarung dan Keris. Mengapa pada malam hari ?, karena unsur-unsur zat yang ada
pada Sapta loka – tujuh lapisan,
dikristalkan oleh dinginnya sang
malam, kemudian, dimasuki oleh Anung
( Atom ) dari Cahaya Alam Langit, sebagai kerisnya. Dan, keris yang sudah
terbentuk di Bhuana Agung oleh Sanghyang Pramesti Guru – Uma-Guru, memasuki makhluk hidup,
selanjutnya masuk ke tubuh manusia. Jadi, manusialah sekarang sebagai Sarung dari
keris tersebut.
Keris tidak terlepas dari makna ketajamannya, yang terdiri
dari tiga sisi ketajaman, yang dijadikan lambang Tri Murti. Pada sisi kanan, adalah ketajaman Brahma, sisi kiri
adalah tajamnya Wisnu, dan ujung keris merupakan tajamnya Iswara. Intinya,
lebih pada penyebab ketajaman dari tujuan dan pikiran manusia yang menjadi
pangkal kekuatan hidup. Dengan kata lain, ketajaman keris itu menjadi
kecerdasan Spiritual, kecerdasan Intelektual, dan Kecerdasan Emosional. Dan
untuk mengasah ketajaman Keris adalah dengan Brata ; Brata artinya
mengurangi santapan, yaitu :
1.
Mengurangi
mengkonsumsi beras dan ketan, diganti dengan pala bungkah dari jenis umbi-umbian, seperti umbi Talas, Umbi
Ketela rambat, umbi ketela pohon. Umbi-umbian tersebut bisa disantap dengan
menambahkan sayur-sayuran, kacang-kacangan, dan sarwa wija : jagung. Serta, selama menjalankan brata dapat mengkonsumsi buah-buahan. Tujuannya, mengurangi kadar
karbohidrat di dalam tubuh.
2.
Mengurangi
berbicara yang tidak ada gunanya. Selama mabrata,
berhenti bersenda gurau dengan bahasa yang kurang baik ; tidak berucap kasar
atau pun memaki-maki, apalagi pada saat perut panas. Arahkan ucapan tersebut
pada hal-hal yang bermanfaat. Tujuannya, mengurangi energi keluar secara
berlebihan.
3.
Hindarkan
bepergian ke tempat-tempat hiburan yang rentan dengan ikatan emosional.
Mengurangi santapan Indria, Panca Indria.
Semua
Brata yang dilakukan pada saat rerainan jagat mengarah pada
keseimbangan jaba-jro, namun tidak
sampai mengurangi aktifitas rutin sehari-hari, seperti bekerja sebagaimana
mestinya. Jika ketiga faktor tersebut sudah dilaksanakan, itulah proses
menghaluskan Budi, dan menciptakan keluhuran Budi.
II.
Mengetahui
kebenaran Triguna
Triguna yang umum dikenal oleh kalangan
masyarakat di Bali hanya sebatas pada ucapan Satwan, Rajas, dan Tamas. Dalam Lontar Pangupadesa, dijelaskan tentang Triguna,
seperti kutipan berikut ini :
1.
Tamas
= Sabda ; Wyepara = Siwa = Atmika Tattwa ; hanya dengan
melaksanakan Brata sifat rakus, loba,
dan sejenisnya bisa dikurangi. Atau dengan mengatur pola makan. Siwa yang memasuki Atmika Tattwa, artinya Siwa yang memasuki Alam kegelapan. Jelasnya,
ketika kita melihat ke dalam diri – dengan memejamkan mata, maka yang tampak
pada mulanya hanyalah suasana gelap, inilah yang dinamakan Tattwa Punggung dan Tattwa
Malupa. Tamas konotasinya Sabda wiapara, artinya Budi Tamas, merupakan sumber penyebab
dari rasa takut, seperti : takut miskin, kelaparan, kecewa, dihina dan lain
sebagainya. Sama halnya dengan orang-orang yang belum mampu memandang celah
kehidupan atau pun belum menghasilkan, maka kerjanya hanya meminta makan dari
orang yang menanggung beban hidupnya.
2.
Rajas =
Sabda ; langgeng = Sadasiwa ;
dengan melakukan Yasa atas apa yang
dilakoni merupakan upaya untuk memperbaiki Rajas,
artinya bagi orang-orang yang telah mempunyai skill atau keahlian kerja, hanya
dengan ngeyasain Rajas itu sendiri, maka ada perubahan. Tegasnya, sudah ada
kesiapan untuk menerima apa adanya, dan telah menyadari bahwa hidup ini
membutuhkan sarana penunjang seperti : sandang, pangan, dan papan – kebutuhan
untuk berlindung dari keadaan panas dan hujan. Dengan demikian sudah mengarah
pada kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidup, serta lebih menyadari bahwa Alam
Semesta ini dianggap seorang Ibu yang selalu menjamin kelangsungan hidupnya.
Jadi, ketika seseorang sudah mempunyai pandangan hidup dan sanggup untuk
mandiri, dikatakan sebagai Sabda Langgeng.
Sebab, pikiran dan intuisinya telah bekerja dan berkembang, seolah-olah selalu
memunculkan inspirasi dari dalam dirinya sendiri. Ini berarti sudah
menghasilkan banyak Ide yang positif.
3.
Satwan
konotasinya Tutur Jati ; meningkatkan
Sattwam adalah dengan Yoga dan
Semadi. Sattwam adalah sifat-sifat
yang ada pada Sattwa ( Pasu ),
misalnya : Lubdaka, adalah seekor Harimau, aktifitasnya selalu memburu
kebutuhan pangan saja. Sifat-sifat itu ada pada diri manusia, dan manusia
disebut Parapasu. Dalam mithologi,
dikisahkan bahwa si Lubdaka mampu melewati kegelapan malam. Dengan begadang
semalam suntuk ( jagra ), dikatakan bahwa ia telah melakukan penebusan dosa.
Esensinya, manusia adalah makhluk yang mempunyai rasio. Sattwam diperuntukkan bagi orang-orang yang sudah mampu
meningkatkan pemahamannya terhadap keberadaan Alam Semesta ini. Bahwa ada yang
menciptakan alam semesta ini, dan meyakini bahwa Tuhan Yang Mahapencipta, Yang
Sejati Adalah Tuhan. Di sisi lain, bahwa Alam ini bersifat Maya – disebut alam
maya, Mayapada. Orang-orang yang sudah mempunyai pandangan terhadap : Tuhan
sebagai Yang Sejati, Alam sebagai Alam Maya,
maka, Satwan itu disebut Tutur Jati.
Dengan penjelasan Triguna
seperti di atas, selanjutnya kita mempunyai pandangan yang positif menuju tugas
dan kewajiban hidup yang baik dan benar. Lebih ditekankan pada tujuan pokok,
menuju Paramartasiwa – sebagai tujuan Yang Tertinggi.
0 komentar:
Post a Comment