1. Perkembangan
Ajaran Filsafat
Ajaran atau benih-benih filsafat India sebenarnya sudah
dimulai sejak jaman Weda
(6000-1000 Sebelum Masehi) pada saat kitab-kitab Mantra Samhita disusun.
Perkembangan lebih jelas terlihat ketika kitab-kitab Upanisad disusun sekitar
tahun 800-300 Sebelum Masehi, tidak jauh dengan masa tersebut disusun pula
kitab-kitab Wiracarita (Ramayana dan Mahabharata juga Purana). Perkembangan
yang sangat menonjol nampak pada masa disusunnya kitab-kitab sutra, sekitar tahun
500 SM sampai tahun 500 Masehi, seperti Brahmasutra yang disebut juga Vedanta
Sutra oleh Badarayana ( yang diyakini juga sebagai Maha Rsi Vyasa ), Yoga Sutra
oleh Patanjali, Samkhya Sutra oleh Kapila dan sebagainnya. Perkembangannya
kemudian adalah pada jaman Scholastik sekitar tahun 200 Masehi. Jaman ini
disebut jaman kemajuan dengan munculnya tokoh-tokoh besar seperti Sankaracarya
(tokoh Advaita Vedanta), Ramanuja (tokoh visistadvaita), Madhva (tokoh Dvaita)
dan yang lainnya.
Darsana adalah pandangan Maharsi atau para ahli tentang
kebenaran ajaran Veda dan alam semesta. Darsana (Astika) menjadikan Veda
sebagai sumber kajian. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk memudahkan
pemahaman terhadap ajaran yang terkandung dalam kitab suci. Dengan mempelajari Darsana
akan lebih mudah mempelajari kitab suci. Darsana memberikan pencerahan
(kejernihan) bagi umat dalam memahami serta mengamalkan ajaran agamanya.
Filsafat hundu bukan hanya merupakan spekulasi atau
dugaan belaka, namun ia memiliki nilai yang amat luhur, mulia, khas dan
sistematis yang didasarkan oleh pengalaman spiritual mistis. Sad darsana yang
merupakan 6 sistem filsafat hindu, merupakan 6 sarana pengajaran yang benar
atau 6 cara pembuktian kebenaran. Adapun bagian-bagian dari Sad Darsana adalah
:
- Nyaya, pendirinya adalah Gotama dan penekanan
ajarannya ialah pada aspek logika.
- Waisasika, pendirinya ialah Kanada dan penekanan
ajarannya pada pengetahuan yang dapat menuntun seseorang untuk
merealisasikan sang diri.
- Samkhya, menurut tradisi pendirinya adalah Kapita.
Penekanan ajarannya ialah tentang proses perkembangan dan terjadinya alam
semesta.
- Yoga, pendirinya adalah Patanjali dan penekanan
ajarannya adalah pada pengendalian jasmani dan pikiran untuk mencapai
Samadhi.
- Mimamsa (Purwa-Mimamsa), pendirinya ialah Jaimini
dengan penekanan ajarannya pada pelaksanaan ritual dan susila menurut
konsep weda.
- Wedanta (Uttara-Mimamsa), kata ini berarti akhir
Weda. Wedanta merupakan puncak dari filsafat Hindu. Pendirinya ialah
Sankara, Ramanuja, dan Madhwa. Penekanan ajarannya adalah pada hubungan
Atama dengan Brahma dan tentang kelepasan.
Ke-6
bagian-bagian dari Sad Darsana diatas merupakan secara langsung berasal dari
kitab-kitab Weda, kalau diibaratkan masing-masing bagian dari Sad Darsana itu
merupakan jalan untuk menuju Tuhan. Dimana untuk mencapai Tuhan kita harus
melalui salah satu dari keenam jalan tersebut. Memang jalan yang kita lalui
berbeda-beda namun setiap jalan mampunyai tujuan yang sama yaitu menghilangkan
ketidak tahuan dan pengaruh-pengaruhnya berupa penderitaan dan duka cita, serta
pencapaian kebebasan, kesempurnaan, kekekalan dan kebahagiaan abadi.
Dengan
mempelajari keenam bagian dari Sad Darsana tersebut maka akan mempertajam
kecerdasan serta memberi pengetahuan yang luas, pemahaman yang jelas dan
lengkap tentang kebenaran, karena setiap bagian merupakan satu tahapan atau
satu anak tangga di jalan Spiritual. Demikianlah sekilas tentang Sad Darsana, yang merupakan
pengantar bagi mempelajari tentang Waisasikan dan Mimamsa secara mendalam.
Berikut ini akan dibahas tentang Waisasika dan Mimamsa secara mendalam.
Salah satu bagian dari Darsana yang akan dibahas adalah Nyaya.
Tokoh pendiri filsafat Nyaya adalah Maharsi Gotama yang juga dikenal dengan
nama Gautama atau Aksapada. Maka itu sistem Nyaya juga disebut sistem Aksapada.
Sistem filsafat ini menaruh perhatian utama terhadap cara berfikir kritis bagi
setiap siswa-siswa kerohanian. Maka itu sistem Nyaya dinamai pula Nyayavidya,
Tarkasastra (ilmu yang penuh dengan pertimbangan) dan Anwiksaki (ilmu
pengetahuan yang kritis). Tiap ilmu sebenarnya adalah suatu Nyaya artinya suatu
penelitian yang analitis dan kritis. Pemikiran yang kritis untuk mendapatkan
pengetahuan tentang realitas atau kebenaran bukanlah hanya dimiliki oleh sistem
Nyaya, tetapi juga oleh sistem filsafat India yang lainnya. Karena pada
hakikatnya sistem filsafat India bertujuan melepaskan keterikatan dan
penderitaan di dunia untuk mencapai kelepasan. Kelepasan merupakan tujuan akhir
dari kehidupan manusia yang dicapai melalui pengetahuan yang benar. Untuk
mencapai tujuan ini sistem Nyaya menempuh jalan penelitian yang analitis dan
kritis terhadap pengetahuan tentang kebenaran itu sendiri.
2.
Pengertian Epistemologi
Epistemologi
atau teori pengetahuan adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan
linkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta
pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Mula-mula
manusia percaya bahwa dengan kekuasaan pengenalannya ia dapat mencapai realitas
sebagaimana adanya para filosof pra Sokrates, yaitu filosof pertama di alam
tradisi Barat, tidak memberikan perhatian pada cabang filsafat ini sebab mereka
memusatkan perhatian, terutama pada alam dan kemungkinan perubahan, sehingga
mereka kerap dijuluki filosof alam.
Metode
ernpiris yang tela:n dibuka oleh Aristoteles mendapat sambutan yang besar pada
Zaman Renaisans dengan tokoh utamanya Francis Bacon (1561-1626). Dua di antara
karya-karyanya yang menonjol adalah The
Advancement of Learning dan Novum Organum. Fisafat Bacon mempunyai peran penting dalam
metode Irrduksi dan sistematis menurutdasar filsafatnya sepenuhnya bersifat
praktis, yaitu untuk memberi kekuasaan pada manusia atas alam melalui
peyelidikan ilmiah. mam. Karena itu usaha yang ia lakukan pertama kali adalah
menegaskan tujuan pengetahuan. Menurutnya, pengetahuan tidak akan mengalami
perkembangan, dan tidak akan bermakna kecuali ia mernpunyai kekuatan yang dapat
membantu meraih kehidupan yang lebih baik.
Sikap
khas Bacon mengenai ciri dan tugas filsafat tampak paling mencolok dalamNovum Organum. Pengetahuan dan kuasa
manusia satu sama lain, menurutnya alam tidak dapat dikuasai kecuali dengan
jalan menaatinya, agar dapat taat pada alam. Manusia perlu mengenalnya terlebih
dahuku dan untuk mengetahui alam diperlukan observasi. Pengetahuan, penjelasan.
dan pembuktian.
Umat
manusia ingin menguasai alam tetapi menurut Bacon, keinginan itu tidak tercapai
sampai pada zamannya hidup, hal ini karena ilmu-imu pengetahuan berdaya guna
dalam mencapai hasilnya, sementara logika tidak dapat digunakan untuk
mendirikan dan membangun ilmu pengetanuan. Bahkan, Bacon meganggap logika lebih
cocok untuk melestarikan kesalahan dan kesesatan yang ada ketimbang
mengejar menentukan kebenaran.
3. Pokok-pokok Ajaran Nyaya
Dalam sistem
Nyaya ada dua pemikiran tentang penyebarluasan cita-cita yang ada dalam kitab
Nyaya-sutra yang berasal dari dua sekolah yang berbeda, yaitu sekolah kuno dan
modern dari Nyaya. Sekolah kuno dari Nyaya mengajarkan tentang cara
mengembangkan cita-cita yang ada dalam Nyaya sutra. Gotama itu melalui beberapa
proses yaitu : menyerang, membalas serangan, dan bertahan disebut pula dengan
nama pracina-nyaya.
Sedangkan dalam sekolah modern dari Nyaya yang juga
dusebut dengan Nawya-Nyaya,menyebarkan cara penyebarluasan cita-cita yang ada
dalam Nyaya-sutra itu melalui bentuk pemikiran yang logis yaitu perpaduan
antara konsep, waktu dan cara pemecahannya. Dalam perkembangannya kedua ajaran
dari sekolah Nyaya yang berbeda itu dipadukan menjadi satu sistem yang disebut
Nyaya-Waisasika.
Selanjutnya sistem Nyaya mengemukakan ada 16 pokok
pembicaraan (padartha) yang perlu diamati dengan teliti, yaitu : pramana,
prameya, samsaya, prayojana, drstanta, siddhanta, awayaya, tarka, nirnaya,
wada, jalpa, witanda, hetwabhawa, chala, jati, dan nigrahastana. Penjelasan
singkat dari setiap padartha ini adalah sebagai berikut :
1. Pramana adalah suatu jalan untuk
mengetahui sesuatu secara benar.
2. Prameya adalah sesuatu yang
berhubungan dengan pengetahuan yang benar atau obyek dari pengetahuan yang
benar, yaitu kenyataan.
3. Samsaya atau keragu-raguan
terhadap suatu pernyataan yang tidak pasti. Keragu-raguan ini terjadi karena
pandangan yang berbeda terhadap suatu obyek, sehingga pikiran tidak dapat
memutuskan tentang wujud obyek itu dengan jelas.
4. Prayojana yaitu akhir penglihatan
seseorang terhadap suatu benda yang menyebabkan kegagalan aktivitasnya untuk
mendapatkan benda tersebut.
5. Drstanta atau suatu contoh yang
berasal dari fakta yang berbeda sebagai gambaran yang umum. Hal ini biasa
digunakan dan diperlukan dalam suatu diskusi untuk mendapatkan kesamaan
pandangan.
6. Siddhanta atau cara mengajarkan
sesuatu melalui satu sistem pengetahuan yang benar. Sistem pengetahuan yang
benar adalah sistem Nyaya yang mengajarkan bahwa Atman atau jiwa itu adalah
substansi yang memiliki kesadaran yang berbeda dengan hal-hal yang bersifat
keduniawian.
7. Awaya atau berfikir yang
sistematis melalui metode-metode ilmu pengetahuan. Berfikir yang sistematis
akan melahirkan suatu kesimpulan yang dapat diterima oleh rasio dan mendekati
kenyataan.
8. Tarka atau alasan yang
dikemukakan berdasarkan suatu hipotesa untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang
benar. Ini adalah suatu perkiraan, sehingga kadang kala kesimpulan yang
diperoleh bertentangan atau mendekati kenyataan yang sebenarnya.
9. Nirnaya adalah pengetahuan yang
pasti tentang sesuatu yang diperoleh melalui metode ilmiah pengetahuan yang
sah.
10. Wada adalah suatu diskusi yang
didasari oleh perilaku yang baik dan garis pemikiran yang rasio untuk
mendapatkan suatu kebenaran.
11. Jalpa adalah suatu diskusi yang
dilakukan oleh suatu kelompok yang hanya untuk mencapai kemenangan atas yang
lain, tetapi tidak mencoba untuk mencari kebenaran.
12. Witanda adalah sejenis perdebatan
dimana lawan berdebat itu tidak mempertahankan posisi tetapi hanya melakukan
penyangkalan atas apa yang dikatakan oleh lawan debatnya itu.
13. Hetwabhasa adalah suatu alasan
yang kelihatannya masuk akal tetapi sebenarnya tidak atau dapat diartikan
sebagai suatu kesimpulan yang salah.
14. Chala adalah suatu penjelasan
yang tidak adil dalam suatu usaha untuk mempertentangkan suatu pernyataan
antara maksud dan tujuan,jadi sesuatu yang perlu dipertanyakan.
15. Jati adalah suatu jawaban yang
tidak adil yang didasarkan pada analogi yang salah.
16. Nigrahasthana adalah sesuatu
kekalahan dalam berdebat.
Didalam usahanya untuk mengetahui dunia ini, pikiran
dibantu oleh indriya. Karena pendiriannya yang demikian, maka sistem Nyaya
disebut sistem yang realistis. Menurut Nyaya tujuan hidup tertinggi adalah kelepasan
yang akan dicapai melalui pengetahuan yang benar. Apakah pengetahuan itu benar
atau tidak hal itu tergantung dari alat-alat yang dipakai untuk mendapatkan
pengetahuan tadi.
4. Epistemologi Nyaya
Bangunan epistemologi Nyaya adalah realis-empiris. Maksudnya bahwa dunia di luar kita berdiri
sendiri. Jika dunia di luar kita berdiri sendiri, maka otomatis pengetahuan pun
berasal darinya. Jika begini adanya, demikian menurut Nyaya, maka Pengetahuan
tentang dunia di luar kita yang berdiri sendiri tersebut mesti didapatkan
pertama-tama alat-alat inderawi kita. Akan tetapi Nyaya tidak berhenti hanya
pada proses pencerapan inderawi atas sesuatu di luar kita tersebut. Karena
bagaimanapun juga, akal mesti ikut berperan di sini. Ini bisa juga dikatakan
sebagai pengetahuan yang A Priori dan A Posteriori dalam istilah Kant.
Bagi Nyaya, dibutuhkan instrumen lain atau
alat (pramana) agar pengetahuan
awal (yang umumnya masih mentah cerapan inderawi) bisa valid. Maka dibangunlah
empat alat (pramana),
yaitu Pratyaksa, Anumana, Upamana, dan Sabdha,
untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Keempat pramana ini adalah sistem Epistemologi Nyaya.
4.1.
Pratyakasa
Pramana pertama adalah Pratyaksa. Pratyaksa adalah
pengamatan. Cara kerjanya seperti ini. Segala sesuatu yang eksis di luar kita
(manusia) bisa diamati
keberadaannya selama ia dicerap panca indera. Di sini kita bisa lihat bahwa
Nyaya betul-betul realis-empiris. Pandangan seperti ini belakangan baru
berkembang di Barat beberapa abad setelah Masehi, tepatnya pada filsafat
Empirisme-nya David Hume.
Menurut
Nyaya, ada hubungan antara
kita (manusia) dan segala sesuatu yang eksis sebagai sasaran. Sasaran ini, jika
kita memakai pendekatan Nyaya yang realis-empiris, tentu mesti menempati ruang
dan waktu. Singkatnya, antara manusia sebagai subjek pengamat dan benda sebagai
objek yang diamati ada sebuah hubungan di
antara keduanya. Hubungan ini
bukanlah sensasi-sensasi semata, tetapi hubungan tersebut ada, nyata, dan riil.
Pratyaksa atau
pengamatan memberi pengetahuan kepada kita tentang sasaran yang diamati menurut
ketentuan dari sasaran itu masing-masing. Umpamanya, pohon itu tinggi, bola itu
bulat dan sebagainya. Pengetahuan semacam itu ada karena adanya hubungan
indriya dengan sasaran yang diamati. Pengamatan dapat pula terjadi tanpa
pertolongan indria, hal semacam ini disebut pengamatan yang bersifat
transenden. Pengamatan transenden hanya dimiliki oleh yogi yang sempurna
yoganya, dengan demikian ia memiliki kekuatan gaib yang memungkinkan ia dapat
berhadapan dengan sasaran yang membatasi indriya.
Pratyaksa ada yang
bersifat tidak ditentukan (nirwikalpa) dan ada yang pula ditentukan (sawikalpa). Jika kita mengamati
sebuah objek sambil lalu, itu adalahNirwikalpa;
kita belum mengetahui sepenuhnya objek tersebut karena yang kita tahu hanyalah
bahwa ia ada. Dan untuk
sampai ke pemahaman yang menyeluruh tentang objek tersebut, kita mesti mengamatinya dengan seksama apa-apa saja yang khas menyangkut objek
tersebut — dan ini adalah Sawikalpa.
Dengan Sawikalpa ini kita dapat
mengetahui sebuah objek misalnya, atau katakanlah benda, bahwa ia itu adalah
ini, warnanya ini, bentuknya ini, dan lain sebagainya. Sebetulnya ada banyak
hal yang menyangkut Pratyaksa,
misalnya yang dapat diamati bukan hanya substansi tetapi juga aksiden-aksiden-nya yang abhawa. Di samping itu ada juga
pengetahuan yang bisa keliru namun
bukan berarti eksistensi yang kita amati dan lantas keliru itu memang salah
adanya. Sebaliknya ia eksis, ada secara nyata, mungkin di tempat lain atau di
mana saja.
4.2. Anumana
Anumana adalah pramana
yang cukup penting karena ini adalah penyimpulan. Konsep dasarnya adalah bahwa antara subjek yang
mengamati dan objek yang diamati mesti terdapat sesuatu antara. Ini sangat berbeda dengan silogisme Aristoteles.
Sillogisme Nyaya tetap berdasarkan realitas, dan perantara antara subjek dan objek yang diamati tersebut
juga bersifat empiris.
Contohnya
gunung yang mengeluarkan asap. Bagaimana kita bisa sampai pada kesimpulan bahwa
gunung tersebut berapi? Gunung adalah objek; kita mengamatinya dan kita melihat
ada asap. Sebelum kita tiba pada kesimpulan bahwa gunung tersebut berapi, di
titik ini kita mesti menyelidiki perantara-nya
yang empiris. Bahwa kita pernah membakar sampah, memasak dan lain sebagainya.Dari
pengalaman ini, kita menyaksikan bahwa sebelum sampah itu terbakar, mesti lebih
dulu ada asap.
Dengan
kata lain, kesimpulan yang diambil (anumana)
menurut Nyaya tidaklah abstrak, tetapi nyata bahwa kita pernah menyaksikan
bahwa asap selalu disusul oleh api atau sebaliknya. Dan ketika kita melihat
gunung yang mengeluarkan asap, karena pengalaman-pengalaman yang pernah kita
saksikan dan alami berkata seperti itu, maka di saat itu pula kita langsung
menyimpulkan bahwa gunung itu adalah gunung berapi, karena setiap ada asap
pasti ada api walaupun di puncak gunung tersebut apinya belum tampak.
Singkatnya, pengalaman kita akan setiap ada
asap pasti ada api dan sebaliknya adalah posisi antara di dalam metode penarikan kesimpulan (anumana) menurut Nyaya.
4.3. Upamana
Upamana adalah cara memperoleh pengetahuan dengan cara analogi atau perbandingan. Konsep dasar Upamana adalah membandingkan
(menganalogikan) sesuatu dengan sesuatu yang lain yang hampir sama agar apa
yang kita bandingkan tersebut dipahami oleh orang lain walaupun orang tersebut
belum pernah menyaksikan secara langsung apa yang kita maksudkan. Namun ,
penetahuan yang diperoleh dengan cara ini tergantung dari jumlah variable yang
dibandingkan, semakin banyak variable yang dibandingkan maka, akan semakin
banyak untuk mendapatkan kemungkinan benar.
Misalnya :
saya
mengatakan kepada Si A bahwa X itu berbahaya. Cilakanya Si A belum pernah
melihat langsung apa itu X, otomatis dia tidak tahu. Selanjutnya saya harus
memutar otak agar Si A tahu. Dalam situasi buntu seperti ini, saya mengambil
sebuah perumpamaan yang mirip dengan X tersebut, katakanlah Z. Karena Z ini
sudah akrab di mata Si A, barulah dia memahami. Suatu saat nanti, ketika dia melihat
sesuatu yang mirip dengan yang pernah saya bandingkan tersebut (Z), maka
otomatis Si A akan menyimpulkan bahwa inilah X, karena mirip dengan Z.
4.4. Sabdha
Pramana yang terakhir adalah Sabdha atau kesaksian.
Pengetahuan bisa didapatkan melalui kesaksian orang
yang mumpunyai tentang sesuatu hal dan yang bisa dipercaya. Dalam hal ini, Weda
adalah kesaksian yang bisa dipercaya kebenarannya. Orang yang bisa dipercaya
kesaksiannya sebagai sumber pengetahuan disebut Laukika (logika), sementara kitab suci Weda sebagai sumber
pengetahuan disebut Vaidika.
Walaupun kita tidak dapat melihat secara langsung, tapi kita percaya kepada
orang yang pernah membaca kitab weda tersebut.
Contoh laukika (logika) :
Seseorang
yang menderita sakit percaya bahwa penyakitnya TBC; dia sangat percaya karena
yang memberitahukannya adalah dokter. Dokter dalam konteks ini adalah orang
yang dipercayai kesaksiannya (laukika).
Sebaliknya, tentu si sakit ini tidak akan percaya seratus persen bilamana yang
menyimpulkan sakitnya itu adalah petani atau nelayan. Mengapa nelayan dan
petani tidak tahu-menahu soal penyakit dalam manusia. Begitu juga misalnya jika
saya mau tahu kapan waktu tanam tiba, tentu saya mesti menanyakannya kepada
petani, bukan kepada dokter.
Masniwara, I Wayan. 1998. Sistem Filsafat Hindu.
Paramita : Surabaya.
Sumawa, I Wayan dan Tjokorda Raka Krisnu. 1996. Materi
Pokok Darsana. Universitas Terbuka : Jakarta.
0 komentar:
Post a Comment