"Om Awighnam Astu Nama Siwaya"
Ida Bhatara Ibu Sakti (melinggih ring Gedong Tumpang Siki di Pura Pejenengan-Gobleg) adalah merupakan rabi atau istri dari Ida Bhatara Dalem Majapahit (Ida Bhatara Siwa Guru), beliau mempunyai Putra-Putri Kembar (Buncing/kembar Laki dan Perempuan) yakni:
1. Dewa Hyang Ibu Hyang (Lanang-Istri), sebagai Siwa Muka, melinggih ring Meru Tumpang Tiga di Pura Pejenengan Gobleg
2. Dewa Hyang (sebagai Siwa Muka Lanang, melinggih ring Pura Siwa Muka Bulakan-Gobleg) dan Ibu Hyang (sebagai Siwa Muka Istri, melinggih ring Pura Siwa Muka Suukan-Gobleg)
Beliau berserta Putra dan Putrinya ditugaskan untuk turun ke Gobleg oleh Ida Bhatara Dalem Majapahit untuk Mancerin Gumi/Bumi di Gobleg bersama-sama dengan Ngurah Bendesa Dalem Tamblingan. Dengan demikian, seluruh umat Hindu yang merupakan keturunan dari leluhurnya yang ikut turun ke Gobleg pada waktu itu akan Ma-Siwa ring Ida Bhatara Ibu Sakti, Piodalannya jatuh setiap Hari Tumpek Landep. Beliau adalah penguasa dari Tirta Pradana Pati dan Tirta Pradana Urip yang berada di Pura Pejenengan, Tirta ini biasanya digunakan untuk benda-benda pusaka (pejenengan) agar bisa lebih bertuah dan berfungsi sesuai dengan fungsinya serta bermanfat bagi kehidupan, selain itu tirta ini dipergunakan untuk manusia, dan makhluk hidup lainnya berserta alam dan lingkungannya agar menemukan fungsinya masing-masing untuk kesejahteraan bersama.
Dewa Hyang dan Ibu Hyang ini dilinggihkan ring Palinggih Rong Dua, sebagai simbul Laki dan Perempuan. Beliau bertugas sebagai Siwa Muka yang kalau diartikan bertugas sebagai pintu terdepan dalam menentukan tempat (Alam Sorga-Neraka) bagi para Atma dari leluhur kita masing-masing disesuaikan berdasarkan Karma dan Garis Keturunannya masing-masing. Disini penulis juga mengartikan fungsi daripada Siwa Muka Lanang dan Istri ini adalah apabila ada manusia yang meninggal berjenis kelamin laki-laki maka pada waktu upacara ngabennya harus nunas Tirta ring Siwa Muka Lanang di Pura Siwa Muka Bulakan (juru sapuhnya adalah Keturunan Arya Dalem Tamblingan), Tirta ini sering disebut sebagai Tirta Pangentas, begitu pula bila sebaliknya, kalau yang meninggal perempuan, maka nunas Tirta Pangentas ring Siwa Muka Istri di Pura Siwa Muka Suukan (juru sapuhnya adalah Keturunan Gusti Arya Barak Tegeh Kori), pada waktu nunas Tirta Pangentas ini, harus minta ijin (nguningang) terlebih dahulu ring Ida Bhatara Ibu Sakti (di Pura Pejenengan) agar tidak terkena kutukan (bisama), begitu pula kalau ada Upacara Ngelinggihang Bangunan Suci (Palinggih) maupun Melaspas Rumah/Bangunan lainnya juga harus nguningang terlebih dahulu ring Ida Bhatara Ibu Sakti agar tidak terkena kutukan (bisama). Dewa Hyang dan Ibu Hyang ini juga ditugaskan oleh Ida Bhatara Dalem Majapahit untuk menjaga agar Pasek Slang tidak bisa menjadi Pasek Dalem, karena ada keinginan dari Pasek Slang untuk menjadi Pasek Dalem Tamblingan namun tidak diperkenankan oleh Ida Bhatara Dalem Tamblingan karena ibunya berasal dari golongan jaba (bukan dari golongan Dalem).
Ketika melaksanakan Upacara Ngaben, kalau pada waktu memandikan Layon (mayat) Laki-Laki harus mendapatkan Sinar Matahari (Rahina) dan kalau memandikan Layon Perempuan harus terhindar dari Sinar Matahari (Wengi), kemudian pada waktu menanam Layon Laki-Laki ditelungkupkan (mekakeb) sedangkan Layon Perempuan ditanam terlentang (tidak telungkup/tengkayak). Dan yang perlu diingat adalah yang meng-Agung Alit-kan semua Tirta tersebut di atas adalah Gusti Ngurah Mancawarna selaku Siwa dari Seluruh Umat Hindu di Bali. Jadi setiap akan Nunas Tirta tersebut di atas harus melalui Gusti Ngurah Mancawarna dengan cara menghaturkan banten piuning memohon restu dan anugrah dari Gusti Ngurah Mancawarna.
Jadi atas dasar inilah penulis dapat menyimpulkan bahwa Pelinggih Rong Kalih yang sering disebut sebagai Pelinggih Hyang Bapak dan Hyang Ibu, sebenarnya merupakan Pelinggih Dewa Hyang dan Ibu Hyang yang merupakan Siwa Muka Lanang-Istri. Kalau Kemulan Rong Tiga merupakan Linggih Ida Bhatara Guru serta Siwa Ring Kiwa dan Siwa Ring Tengen. Kalau Pelinggih Taksu merupakan Linggih Pengayatan Ida Bhatara Ibu Sakti (Penguasa dari Panca Maha Bhuta).
1. Dewa Hyang Ibu Hyang (Lanang-Istri), sebagai Siwa Muka, melinggih ring Meru Tumpang Tiga di Pura Pejenengan Gobleg
2. Dewa Hyang (sebagai Siwa Muka Lanang, melinggih ring Pura Siwa Muka Bulakan-Gobleg) dan Ibu Hyang (sebagai Siwa Muka Istri, melinggih ring Pura Siwa Muka Suukan-Gobleg)
Beliau berserta Putra dan Putrinya ditugaskan untuk turun ke Gobleg oleh Ida Bhatara Dalem Majapahit untuk Mancerin Gumi/Bumi di Gobleg bersama-sama dengan Ngurah Bendesa Dalem Tamblingan. Dengan demikian, seluruh umat Hindu yang merupakan keturunan dari leluhurnya yang ikut turun ke Gobleg pada waktu itu akan Ma-Siwa ring Ida Bhatara Ibu Sakti, Piodalannya jatuh setiap Hari Tumpek Landep. Beliau adalah penguasa dari Tirta Pradana Pati dan Tirta Pradana Urip yang berada di Pura Pejenengan, Tirta ini biasanya digunakan untuk benda-benda pusaka (pejenengan) agar bisa lebih bertuah dan berfungsi sesuai dengan fungsinya serta bermanfat bagi kehidupan, selain itu tirta ini dipergunakan untuk manusia, dan makhluk hidup lainnya berserta alam dan lingkungannya agar menemukan fungsinya masing-masing untuk kesejahteraan bersama.
Dewa Hyang dan Ibu Hyang ini dilinggihkan ring Palinggih Rong Dua, sebagai simbul Laki dan Perempuan. Beliau bertugas sebagai Siwa Muka yang kalau diartikan bertugas sebagai pintu terdepan dalam menentukan tempat (Alam Sorga-Neraka) bagi para Atma dari leluhur kita masing-masing disesuaikan berdasarkan Karma dan Garis Keturunannya masing-masing. Disini penulis juga mengartikan fungsi daripada Siwa Muka Lanang dan Istri ini adalah apabila ada manusia yang meninggal berjenis kelamin laki-laki maka pada waktu upacara ngabennya harus nunas Tirta ring Siwa Muka Lanang di Pura Siwa Muka Bulakan (juru sapuhnya adalah Keturunan Arya Dalem Tamblingan), Tirta ini sering disebut sebagai Tirta Pangentas, begitu pula bila sebaliknya, kalau yang meninggal perempuan, maka nunas Tirta Pangentas ring Siwa Muka Istri di Pura Siwa Muka Suukan (juru sapuhnya adalah Keturunan Gusti Arya Barak Tegeh Kori), pada waktu nunas Tirta Pangentas ini, harus minta ijin (nguningang) terlebih dahulu ring Ida Bhatara Ibu Sakti (di Pura Pejenengan) agar tidak terkena kutukan (bisama), begitu pula kalau ada Upacara Ngelinggihang Bangunan Suci (Palinggih) maupun Melaspas Rumah/Bangunan lainnya juga harus nguningang terlebih dahulu ring Ida Bhatara Ibu Sakti agar tidak terkena kutukan (bisama). Dewa Hyang dan Ibu Hyang ini juga ditugaskan oleh Ida Bhatara Dalem Majapahit untuk menjaga agar Pasek Slang tidak bisa menjadi Pasek Dalem, karena ada keinginan dari Pasek Slang untuk menjadi Pasek Dalem Tamblingan namun tidak diperkenankan oleh Ida Bhatara Dalem Tamblingan karena ibunya berasal dari golongan jaba (bukan dari golongan Dalem).
Ketika melaksanakan Upacara Ngaben, kalau pada waktu memandikan Layon (mayat) Laki-Laki harus mendapatkan Sinar Matahari (Rahina) dan kalau memandikan Layon Perempuan harus terhindar dari Sinar Matahari (Wengi), kemudian pada waktu menanam Layon Laki-Laki ditelungkupkan (mekakeb) sedangkan Layon Perempuan ditanam terlentang (tidak telungkup/tengkayak). Dan yang perlu diingat adalah yang meng-Agung Alit-kan semua Tirta tersebut di atas adalah Gusti Ngurah Mancawarna selaku Siwa dari Seluruh Umat Hindu di Bali. Jadi setiap akan Nunas Tirta tersebut di atas harus melalui Gusti Ngurah Mancawarna dengan cara menghaturkan banten piuning memohon restu dan anugrah dari Gusti Ngurah Mancawarna.
Jadi atas dasar inilah penulis dapat menyimpulkan bahwa Pelinggih Rong Kalih yang sering disebut sebagai Pelinggih Hyang Bapak dan Hyang Ibu, sebenarnya merupakan Pelinggih Dewa Hyang dan Ibu Hyang yang merupakan Siwa Muka Lanang-Istri. Kalau Kemulan Rong Tiga merupakan Linggih Ida Bhatara Guru serta Siwa Ring Kiwa dan Siwa Ring Tengen. Kalau Pelinggih Taksu merupakan Linggih Pengayatan Ida Bhatara Ibu Sakti (Penguasa dari Panca Maha Bhuta).
"Om Awighnam Astu Nama Siwaya"
Berdasarkan sejarah turunnya Arya Dalem Tamblingan ke Gobleg, maka ada sebuah Pelinggih yang penulis kenal dengan sebutan Pelinggih Sanggar Agung (Sanggaran), dimana Pelinggih ini terdiri dari 5 buah pelinggih yang berkumpul dalam satu tempat. Dalam Prasasti Gobleg ada disebutkan sebagai Lingga Pati, Lingga ngaran Linggih, Pati ngaran Pegangan. Jadi berdasarkan pengertian tadi dapat disimpulkan bahwa Pelinggih Sanggar Agung ini merupakan Pelinggih tempat Dilinggihkannya (Distanakannya) Ida Bhatara Leluhur yang pertama kali turun ke Gobleg sekaligus pertama kali sebagai Penghulu Adat pemegang Sima Gama Hindu yang diturunkan oleh Ida Bhatara Dalem Tamblingan.
Berdasarkan Tata Linggihnya, dari yang lebih Luan (Kaja) menuju ke arah yang lebih Teben (Kelod) dapat diketahui yang Melinggih ring Pelinggih Sanggar Agung tersebut adalah sbb:
1. Ngurah Pasek (Balian Agung/Hulu)
2. Ngurah Bendesa (Penyarikan Agung)
3. Ngurah Nyrita (Penyarikan Gong)
4. Ngurah Kubayan (Kubayan)
5. Ngurah Pangenter (Pangenter Agung)
Berdasarkan Tata Linggihnya, dari yang lebih Luan (Kaja) menuju ke arah yang lebih Teben (Kelod) dapat diketahui yang Melinggih ring Pelinggih Sanggar Agung tersebut adalah sbb:
1. Ngurah Pasek (Balian Agung/Hulu)
2. Ngurah Bendesa (Penyarikan Agung)
3. Ngurah Nyrita (Penyarikan Gong)
4. Ngurah Kubayan (Kubayan)
5. Ngurah Pangenter (Pangenter Agung)
Arya Dalem Tamblingan Bersama Iringan dan Parekannya Turun ke Gobleg
"Om Awighnam Astu Nama Siwaya"
Setelah Sima-Gama Hindu selesai dibuat oleh Ida Bhatara Dalem Tamblingan selama 10 Tahun, maka diperintahkanlah Dewa Dalem Maojog Mambet (sebagai Bhatara Guru Nabe) bersama Putra-Putri Beliau (Arya Dalem Tamblingan) berserta iringannya (Agung Belayu & Arya Barak Tegeh Kori) & parekannya (Pasek Wacing & Pasek Menga) untuk Turun ke Gobleg menjalankan Sima-Gama Hindu tersebut.
Sebelum Turun ke Gobleg, Putra-Putra Beliau diberikan Anugrah (Jaya-Jaya Panugrah Linggih) sebagai berikut:
1. Putra ring Kiwa, yakni:
a. Ngurah Pasek sebagai Balian Agung yang bertugas memegang Sima Hulu (Kepala), melinggih ring Bale Agung
b. Ngurah Ngeng sebagai Balian Banten yang memegang Sima Banten juga mengatur Sinoman (Saye) dan Juru Arah (Pangarah)
c. Ngurah Mangku sebagai Mangku Agung/Mangku Gede/Mangku Puseh
2. Putra ring Tengen, yakni:
a. Ngurah Bendesa sebagai Penyarikan Agung yang memegang Sima Bajra dan bergelar sebagai Bhagawan Guru Sakti
b. Ngurah Nyrita sebagai Penyarikan Gong
c. Ngurah Kubayan sebagai Kubayan yang bertugas memegang Sima Kubayan
Sedangkan Putra dari Ngurah Bendesa yakni Ngurah Pangenter diberi Anugrah sebagai Pangenter Agung yang bertugas Ngenterang Ngurah Bendesa (Aji-nya).
Semua parekan dan iringan Ngurah Bendesa Dalem Tamblingan ini Ma-Siwa ring Ida Bhatara Dalem Tamblingan dan Ma-Siwa pula ring Ida Bhatara Ibu Sakti yang melinggih ring Pura Pejenengan-Gobleg. Pathirtaan dari semua parekan dan iringan Ngurah Bendesa Dalem Tamblingan adalah ring Gusti Ngurah Mancawarna (Gobleg) dan hal ini akan diceritakan lebih lanjut pada halaman berikutnya. Disini akan diceritakan secara singkat saja.
Agung Belayu merupakan Keturunan dari Ida Bhatara Dalem Kelungkung yang awalnya melinggih ring Jungkang (sekitar wilayah Bangli sekarang) yang bergelar sebagai Pungakan (Ngakan) Jungkang yang selanjutnya turun ke Belayu dan berganti nama menjadi Agung Belayu. Kemudian Agung Belayu diperintahkan untuk turun ke Gobleg dan diberi Anugerah serta tugas sebagai pendamping Ngurah Bendesa Dalem Tamblingan dalam bidang Pemerintahan (mengatur masyarakat). Setelah sampai di Gobleg, Keturunan Agung Belayu berganti nama menjadi Pasek Punggawa. Pasek Punggawa (ring Pura Batu Madeg) inilah yang nantinya akan dibagi lagi menjadi: Pasek Kayu Selem (ring Pura Selem/Pura Gelap?), Pasek Celagi (ring Pura Celagi), Pasek Batu Tangga (ring Pura Batu Tangga), dan Pasek Batu Lepang (ring Pura Batu Lepang).
Arya Barak Tegeh Kori Turunan Dalem Tamblingan adalah merupakan Keturunan atau Putra dari Ida Bhatara Surya (Dewa Dalem Dasar) dan Sanghyang Ratih yang melinggih ring Badung (ring Pura Dalem Benculuk?). Arya Barak Tegeh Kori ini awalnya Turun di Tamblingan melalui Gedong Kertajati, sehingga disebut sebagai Turunan Dalem Tamblingan, yang selanjutnya ikut turun ke Gobleg sebagai iringan Ngurah Bendesa Dalem Tamblingan dan diberi Anugrah sebagai Juru Sapuh (Pemangku) ring Palinggih Gedong Kertajati ring Pura Dalem Tamblingan, dan juga sebagai Juru Sapuh ring Siwa Muka Istri (Ida Bhatara Ibu Hyang) ring Pura Siwa Muka Suukan-Gobleg.
Pasek Wacing ini merupakan Keturunan atau Putra-Putra dari Ida Bhatara Sanghyang Srimandi yang melinggih ring Pura Batur-Kintamani. Disebut sebagai Pasek Wacing dikarenakan terdiri dari 4 saudara yang wajahnya mirip (kembar) dari 2 ibu yang berbeda (1 ibu memiliki putra kembar laki-laki). Karena turunnya di Tamblingan melalui Gedong Kertajati, sehingga disebut pula sebagai Turunan Dalem Tamblingan yang kemudian juga ikut turun ke Gobleg sebagai parekan Ngurah Bendesa Dalem Tamblingan dan diberi Anugerah sebagai Juru Sapuh (Pemangku) ring Pura-Pura Alit sehingga sering disebut sebagai Mangku Alit dan juga disebut sebagai Parekan Sayang atau Mangku Sayang oleh Ida Bhatara Dalem Tamblingan yang terdiri dari:
1. Pasek Ulika, sebagai parekan Dewa Ayu Mas (Putri dari Ida Bhatara Dalem Tamblingan) yang Merabian ring Ida Bhatara Dalem Ped (ring Nusa Penida), sesampai di Nusa Penida beliau berganti nama menjadi Pasek Kulisah.
2. Pasek Ulamreta, sebagai pemegang Arca Dalem Blambangan sekaligus menjadi Juru Sapuh ring Pura Blambangan.
3. Pasek Danajaya, sebagai pemegang Arca Ganesa sekaligus menjadi Juru Sapuh ring Pura Tajun-Tamblingan. Nantinya Putra-Putra beliau yang bertugas memegang & memelihara Gong Duwe.
4. Pasek Ulung, juga disebut sebagai Pasek Gobleg yang bergelar sebagai Rsi (Rsi Bhujangga?) bertugas memegang Arca Dalem Tamblingan dan sekaligus menjadi Juru Sapuh ring Pura Dalem Tamblingan. Beliau juga diberi tugas sebagai Penyungsung (Penyiwi) ring Ida Bhatara Dewa Ayu Ibu (Siwa ring Kiwa / Putri dari Ida Bhatara Dalem Kelungkung) yang melinggih ring Pura Siwa Muka Suukan-Gobleg. Putra Beliau yang nantinya akan menurunkan Pande di Tamblingan.
Pasek Menga merupakan Putra dari Ni Made Pasek (Putri dari Kaki Degug-Sukasada-Buleleng), sedangkan Putra dari Ni Luh Pasek (Kakak dari Ni Made Pasek) bernama Pasek Panji Landung, mereka (Pasek Menga dan Pasek Panji Landung) adalah 2 bersaudara dari 1 Ayah yang tidak diketahui namanya yang kemudian diangkat menjadi Parekan Dalem Kelungkung dan dianugerahkan 40 orang Teruna Bunga sebagai parekannya yang masing-masing membawa sebilah keris. Selanjutnya Pasek Panji Landung melinggih di Bukit Pengelengan (Beratan) sebagai Pepatih Ngurah Panji Sakti, sedangkan Pasek Menga melinggih di Tamblingan dan berganti nama menjadi Pasek Tamblingan yang kemudian diberi tugas sebagai Pepatih-nya Ngurah Bendesa Dalem Tamblingan. Pasek Menga (Pasek Tamblingan) inilah yang nantinya menurunkan Pasek Slang-Gobleg, Pasek Dukuh Mas (ngiring Dukuh Sakti saking Blambangan, memegang Ketu/Topinya Dukuh Sakti), dan Pasek Bendesa Mas (ngiring Dukuh Sakti saking Blambangan ring Kalianget, memegang Tungked/Tongkatnya Dukuh Sakti).
Yang memegang kendali dari semua Jabatan di atas adalah Ngurah Bendesa Dalem Tamblingan yang dalam menjalankan Sima Gama Hindu tersebut Beliau juga memiliki 5 Gelar yang berbeda-beda sesuai dengan tugasnya, yakni:
1. Ngurah Penyarikan Agung, sebagai pemuput Karya (menjalankan Sima Bajra)dan juga sebagai pamuput Rawes, pada waktu menggunakan Bajra Beliau bergelar sebagai Bhagawan Guru Sakti.
2. Ngurah Bendesa, sebagai pemrakarsa segala Upacara Karya.
3. Ngurah Mancawarna, sebagai Pathirtaan Umat Hindu Bali.
4. Ngurah Mancadrawa, sebagai pemegang dan yang membagikan uang sesari banten.
5. Ngurah Bupati, bertugas membacakan Prasasti, Lontar, Purana dan Pustaka lainnya yang ada di Pura-Pura yang bersangkutan.
Diceritakan sebelumnya bahwa pada waktu turun ke Bumi ini, Ida Bhatara Dalem Solo memiliki Rabi dan 2 Putri serta 1 Putra, Ida Bhatara Dalem Kelungkung memiliki Rabi dan 2 Putra serta 1 Putri, sedangkan Ida Bhatara Dalem Tamblingan belum mempunyai Rabi. Kemudian dianugrahkanlah 1 Putri dari Ida Bhatara Dalem Solo kepada Ida Bhatara Dalem Tamblingan untuk diajak dan diangkat menjadi Putri di Tamblingan. Putri tersebut bernama Dewa Ayu Mas Ngencorong. Namun setelah Putri tersebut Dewasa, Ida Bhatara Dalem Tamblingan mengambilnya sebagai Rabi dan mempunyai 2 Putra dan 1 Putri, yakni:
1. Dewa Dalem Maojog Mambet (Bhatara Guru Nabe, ring Pura Pejenengan-Gobleg)
2. Dewa Dalem Juna (Nyukla Brahmacari)
3. Dewa Ayu Mas Dalem Tamblingan (merabian ring Ida Dalem Ped, ring Pura Dalem Ped-Nusa Penida)
Diceritakan pula Dewa Dalem Maojog Mambet memiliki 2 Rabi(istri) yakni:
1. Dewa Ayu Manik Subandar (Putri dari Ida Bhatara Dalem Solo), dilinggihkan ring Tengen, ring Pura Siwa Muka Bulakan-Gobleg, di Pura ini juga melinggih Ida Bhatara Dewa Hyang (Siwa Muka Lanang). Solo Ngaran Jawa, artinya Piodalannya ring Sugihan Jawa. Beliau mempunyai 3 Putra dan 1 Putri yakni: Ngurah Bendesa, Ngurah Nyrita, Ngurah Kubayan, dan Dewa Ayu Dalem Tamblingan.
2. Dewa Ayu Ibu (Putri dari Ida Bhatara Dalem Kelungkung), dilinggihkan ring Kiwa, ring Pura Siwa Muka Suukan-Gobleg, di Pura ini juga melinggih Ida Bhatara Ibu Hyang (Siwa Muka Istri). Kelungkung Ngaran Bali, artinya Piodalannya ring Sugihan Bali. Beliau mempunyai 3 Putra yakni: Ngurah Pasek, Ngurah Ngeng, Ngurah Mangku.
Kemudian berita ini diketahui oleh Ida Bhatara Dalem Solo, maka dipanggilah Ida Bhatara Dalem Tamblingan agar datang ke Solo. Sesampainya di Solo, Beliau ditanya tentang kebenaran berita tersebut, apakah benar Beliau mengambil keponakannya sebagai istri? dan dijawablah oleh Ida Bhatara Dalem Tamblingan bahwa memang benar adanya demikian, maka menjadi murka lah Ida Bhatara Dalem Solo kepada Adiknya, dan semenjak saat itu diturunkanlah gelar Satrya Dalem Tamblingan menjadi Arya Dalem Tamblingan oleh Ida Bhatara Dalem Solo. Selanjutnya diperintahlah Ida Bhatara Dalem Tamblingan untuk menggali sebuah sumur di Solo, setelah sumur itu dalam, kemudian Ida Bhatara Dalem Tamblingan ditimbun dengan Batu oleh Ida Bhatara Dalem Solo, namun batu-batu tersebut kembali terbang ke atas, dan di dalam sumur tersebut Ida Bhatara Dalem Tamblingan menemukan sebuah lubang mirip goa yang di dalamnya terdapat akar Pohon Timbul yang sudah dimakan Tetani (rayap), kemudian dipeganglah akar Pohon Timbul tersebut sebagai pegangan untuk menelusuri Goa tersebut. Singkat cerita, sampailah Ida Bhatara Dalem Tamblingan di depan pintu goa yang sekarang dikenal dengan sebutan Goa Naga Loka. Semenjak saat itu Beliau bersumpah kepada semua keturunannya (Arya Dalem Tamblingan) agar tidak memakan Buah Timbul dan tidak membunuh Tetani, hal ini dikarenakan Beliau telah berhutang jasa kepada Pohon Timbul dan Tetani.
Di bagian lain diceritakan, pada waktu Keturunan Arya Dalem Tamblingan mau Turun ke Gobleg, Putra dari Dewa Dalem Maojog Mambet yang melinggih ring Kiwa yakni: Ngurah Pasek, Ngurah Ngeng, dan Ngurah Mangku, ketiganya meninggal dunia (Seda), kemudian diperintahkan untuk diaben di Kelungkung dengan sarana membuatkan Pemereman (Wadah) Tumpang Pitu dan Lembu Putih sebanyak 3 Buah. Pemereman Tumpang Pitu dan Lembu Putih ini dituliskan sebagai simbul dari "Ong Kara". Setelah selesai dibuatkan sarana upakaranya, Upacara Ngaben segera dilaksanakan, namun Layon (Mayat) dari Ketiga Putranya tersebut tiba-tiba menghilang, mungkin ini yang dinamakan Moksa, Upacara Ngaben tetap dilaksanakan tanpa adanya Layon (Mayat).
Setelah Upacara Ngaben selesai dilaksanakan, karena bersedih, Ngurah Bendesa bersama 2 saudaranya diiringi oleh 3 parekan dan 2 Macan (Gringsing Kuning & Gringsing Wayang) pergi ke tengah hutan dan akhirnya bertemulah mereka dengan Ida Bhatara Dalem Tamblingan di depan Goa Naga Loka. Kemudian Ida Bhatara Dalem Tamblingan menyampaikan keinginan Beliau untuk pulang ke Alas Wayah (Alam Sunia) namun dengan syarat harus membawa Genta, Dapak, dan Bungkung (Cincin) Mas. Disanggupilah oleh ke-3 parekan Ngurah Bendesa untuk membuat ketiga syarat tersebut. Kemudian diberilah Anugrah ke-3 parekan tersebut oleh Ida Bhatara Dalem Tamblingan dengan nama dan tempat melinggihnya masing-masing sebagai berikut:
1. Yang paling Gede, bisa membuat Genta, diberi nama Pande Tusan, melinggih di Jawa
2. Yang paling Made, bisa membuat Dapak, diberi nama Pande Wangke Maong, melinggih di Kelungkung
3. Yang paling Nyoman, bisa membuat Cincin, diberi nama Pande Mas, melinggih di Beratan
Selain itu, ada pula 2 bersaudara lagi di Alas (Hutan) tersebut yang mendapat Anugrah nama, tempat melinggih, dan Tedung Tumpang Telu (tidak boleh ngeliwat/melebihi/Sanghyang Wreti Sipat) dari Ida Bhatara Dalem Tamblingan, yakni:
1. Yang paling Gede, diberi nama Tegeh Kori, gelarnya Gusti, melinggih di Ampenan, Siwa-nya Dalem Byasa
2. Yang paling Made, diberi nama Tegeh Kori, gelarnya Gusti, melinggih di Badung (Delod Gelogor), Siwa-nya Makadasar
Kemudian berjalanlah Tegeh Kori menuju Ampenan dan Badung, ketika di tengah jalan diterpa hujan maka bertemulah dengan Am Om Mam, di sanalah Tegeh Kori meminjam Tedung 3, bertemu lagi dengan Pande Mas dan meminjam Tedung 2 di Pande Mas, sampai di Kelungkung bertemu dengan Praratu Bhatara yang sedang rapat (berkumpul) disana lagi Tegeh Kori meminjam Tedung 6, pada waktu itu Tegeh Kori dikatakan rakus dengan Tedung, tidak puas hanya dengan Tedung Tumpang Telu saja. Setelah itu Ida Bhatara Dalem Tamblingan menetapkan bahwa Goa tersebut diberi nama Goa Naga Loka dan yang melinggih di Goa ini adalah Ida Bhatara Sorang Dana, sebagai tempat untuk memohon Anugrah agar kita mengetahui siapa jati diri kita masing-masing (tempat mohon petunjuk untuk mengetahui Kawitan/jati diri kita masing-masing). Dan Goa tersebut tidak boleh untuk dimasuki. Kemudian tiba-tiba saja terdengar suara Kidang (Kijang) berwarna Putih dan selanjutnya dikejarlah Kidang Putih tersebut oleh Gringsing Wayang dan Gringsing Kuning yang akhirnya Kidang Putih tersebut lompat ke dalam Danau Tamblingan dan diikuti oleh ke 2 Macan yang mengejarnya dan juga diikuti oleh Ida Bhatara Dalem Tamblingan yang ikut terjun ke dalam Danau Tamblingan menuju ke Sapta Patala (Tujuh Lapisan Bumi) yang terletak di Pusat Bumi (di bawah Danau Tamblingan), di sanalah didapati ke 2 Macan Iringan Ida Bhatara Dalem Tamblingan diikat dengan 3 rantai, kemudian datanglah wujud Seseorang dengan Kepala-Nya Dasa Aksara, Tangan-Nya Tri Aksara, Kaki-Nya Panca Aksara, Badan-Nya Sanghyang, Sabda-Nya Widhi, Kalau digabungkan menjadi Ida Sanghyang Widhi. Lalu Beliau meminta kepada Ida Bhatara Dalem Tamblingan agar tidak melepas Macannya yang sedang diikat, karena Beliau yang akan meminta ke 2 Macan tersebut. Selanjutnya Ida Bhatara Dalem Tamblingan mohon pamit, sebelum pamit disuruhlah mencabut Bulu Naga yang ada di sebelah Ida Sanghyang Widhi, dan dicabutlah 4 helai Bulu Naga yang ada di Kepala Naga tersebut. Ke 4 helai Bulu Naga inilah yang dibawa kembali ke Puri Tamblingan melalui Goa Naga Loka oleh Ida Bhatara Dalem Tamblingan, kemudian dianugrahkan pula sebuah Takilan (Bungkusan) yang berisi Wijaratus (Biji-bijian Palawija).
Sesampai di Puri, semua Putra dan Parekan Ida Bhatara Dalem Tamblingan tidak ada di Puri karena semuanya ikut turun ke pinggir Danau Tamblingan mengikuti Ida Bhatara Dalem Tamblingan. Kemudian kembalilah Ngurah Bendesa bersama Saudara-saudara dan Parekannya, sesampai di Puri, mereka semua bertemu dengan Ida Bhatara Dalem Tamblingan yang lebih dahulu sampai di Puri. Pada waktu turun ke Danau Tamblingan, Parekan Ida Bhatara Dalem Tamblingan memperoleh Ikan Lele dan Ikan Kayuh, namun dalam perjalanan pulang ke Puri, Ikan Lelenya jatuh/tertinggal di Danau Tamblingan, hanya Ikan Kayuh saja yang dibawa pulang ke Puri. Kemudian Ikan Kayuh inilah yang dibagikan kepada Putra-Putra Dewa Dalem Maojog Mambet yang disesuaikan dengan tugas dan jabatannya masing-masing, mengenai pembagiannya adalah sebagai berikut:
1. Bagian Kepala diberikan kepada Ngurah Pasek (Balian Agung) sebagai Hulu
2. Bagian Mulut (cangkem) diberikan kepada Ngurah Ngeng sebagai Balian Banten
3. Bagian Leher diberikan kepada Ngurah Mangku sebagai Mangku Agung / Mangku Puseh / Mangku Gede
Karena ketiga Putra Dewa Dalem Maojog Mambet ini sudah Moksa, agar ada yang melanjutkan ketiga Tugas dan Jabatan di atas, maka ketiga bagian ini diberikan untuk dipinjamkan sementara kepada ketiga Putra dari Pasek Menga (Pasek Tamblingan) yang kemudian diberi Nama sebagai Pasek Slang. Untuk selanjutnya ketiga Tugas dan Jabatan ini berserta bagiannya akan dikembalikan lagi kepada Keturunan Dalem Tamblingan yang berikutnya. Atas dasar inilah ada persepsi yang mengatakan bahwa kalau sebagai Jro Mangku, pada waktu meninggalnya nanti harus diadakan Upacara Nguli-nguliang (mengembalikan tugas dan jabatannya berserta bagiannya).
4. Bagian Pundak berserta Tangan Kiri dan Tangan Kanan diberikan kepada Ngurah Bendesa sebagai Penyarikan Agung
5. Bagian Rusuk (iga-iga) diberikan kepada Ngurah Nyrita sebagai Penyarikan Gong
6. Bagian Perut diberikan kepada Ngurah Kubayan sebagai Kubayan
7. Bagian Pinggang berserta Kaki Kiri dan Kanan diberikan kepada Ngurah Pangenter sebagai Pangenter Agung.
Karena merasa kasihan Ngurah Pangenter kepada Jro-Jro Mangku Ring Pura-Pura Alit (Pura-Pura selain Pura Agung/Pura Puseh), maka bagian dari Ngurah Pangenter diberikan sedikit (a-sampel) kepada Jro-Jro Mangku Alit tersebut. Ikan Kayuh inilah yang nantinya disimbulkan sebagai Be Gayah dalam Banten Bebangkit di setiap Upakara Yadnya (Karya) di Pura-Pura. Kemudian diceritakan pada waktu turun ke Gobleg, Ngurah Bendesa Dalem Tamblingan dianugrahkan Papatih, Parekan dan Iringan oleh Ida Bhatara Dalem Tamblingan. Papatih Ngurah Bendesa Dalem Tamblingan bernama Pasek Menga (Pasek Tamblingan), beliau adalah Cucunya Kaki Degug dari Sukasada-Buleleng, Ibunya bernama Ni Made Pasek (Putri Kaki Degug) yang menjadi pengayah di Puri Bencingah Kelungkung. Parekan Ngurah Bendesa Dalem Tamblingan bernama Pasek Wacing, beliau terdiri dari 4 (empat) Saudara Kembar, Putra dari Ida Bhatara Sanghyang Srimandi (Ida Bhatara Batur) yang Melinggih Ring Gunung Batur dan distanakan di Pura Batur (Kintamani), dengan 2 Istri yakni: Sanghyang Trinabi (Putri Dewa Dalem Majapahit) dan Sanghyang Srinabi (Putri Dewa Dalem Tiongkok).
Iringan Ngurah Bendesa Dalem Tamblingan ada 2 yakni: Agung Belayu (Pasek Punggawa) Keturunan Dalem Kelungkung dan Gusti Arya Barak Tegeh Kori Putra dari Ida Bhatara Surya dan Sanghyang Ratih yang Melinggih di Pura Dalem Dasar Benculuk-Badung. Diceritakan Ngurah Bendesa Dalem Tamblingan turun ke Gobleg melalui Kawat Emas dan diberi Anugrah oleh Dewa Dalem Majapahit sebuah Kleneng/Nguntuling Nglayang (Bajra), setelah sampai di Gobleg nama beliau diganti menjadi Ngurah Agung Penyarikan Dalem Tamblingan yang bertugas sebagai Pemimpin Upacara Yadnya (Pamuput Karya) dan Penyaksi Segala Upakara Yadnya (Pamuput Rawes) dalam bahasa sekarang disebut sebagai Sulinggih. Ada 5 (lima) gelar yang dimiliki oleh Ngurah Agung Penyarikan Dalem Tamblingan pada waktu menjalankan tugas yang berbeda-beda, ke 5 gelar tersebut antara lain:
1. Ngurah Agung Penyarikan (Bhagawan Guru Sakti) sebagai Pamuput Karya (Sima Bajra)
2. Ngurah Mancawarna (sebagai Pethirtaan/sebagai Siwa dari Seluruh Umat Hindu di Bali)
3. Ngurah Mancadrawa (memegang dan membagikan uang sesari banten)
4. Ngurah Bendesa (mempersiapkan dan membuat/Pemrakarsa segala Upacara Karya)
5. Ngurah Bupati (membacakan Prasasti, Lontar, dan Purana yang ada di Pura)
Dikarenakan memiliki 5 gelar dengan 5 tugas yang berbeda-beda tersebut, maka Ngurah Agung Penyarikan Dalem Tamblingan lebih dikenal oleh Umat Hindu pada waktu itu dengan sebutan Gusti Ngurah Mancawarna. Pada waktu turun ke Gobleg, dilihatlah seorang pendeta yang juga datang turun ke Gobleg, setelah itu, disapalah pendeta tersebut yang turun bersama istrinya dan ditanyakan maksud kedatangannya, dijawablah oleh pendeta tersebut yang bergelar sebagai Pranda Wawu Rawuh (Ida Rsi Madura Sakti?), Beliau hendak melinggih di Taru Pinge (sekarang disebut sebagai Desa Kayu Putih), kemudian diantarlah Pranda Wawu Rawuh tersebut oleh Ngurah Pangenter, Barak Tegeh Kori dan Pasek Wacing ke Desa Kayu Putih. Setelah pendeta tersebut sampai di Desa Kayu Putih, Ngurah Pangenter bersama iringan dan parekannya kembali ke Gobleg, sesampainya di Gobleg, diperintahkanlah oleh Ida Bhatara Dalem Tamblingan untuk membuat sebuah Gedong yang bernama Gedong Murti yang kemudian dikenal sebagai Pura Batur-Gobleg yang dipergunakan sebagai tempat perkumpulan Ngurah Pangenter berserta Aji-nya (Ngurah Bendesa) dan juga saudara-saudaranya. Piodalannya jatuh pada Wuku Tulu? (Soma Tulu?), Pananggal (hari menuju Purnama/hari setelah Tilem). Ada sebuah bisama/kutukan untuk melarang memberikan kepada yang lainnya untuk ikut berkumpul di Pura Batur tersebut. Dikisahkan pula pada waktu itu daerah Gobleg tidak ada penghuninya, yang ada hanya Penunggu Karang yang menyapa kedatangan Ida Bhatara Dalem Tamblingan berserta Putra, iringan dan parekannya, kemudian diberikanlah wilayah Gobleg tersebut untuk ditempati oleh Putra-putra, iringan dan parekan Ida Bhatara Dalem Tamblingan, sebagai imbalannya, Penunggu Karang tersebut dijadikan sebagai manusia dan diberi tugas sebagai Juru Sapuh (Pemangku) di Pura Batur-Gobleg, yang kemudian diberi nama sebagai Pasek Gobleg Juru Sapuh Ring Batur, dan juga beliau diberikan imbalan Karang Kedas (Asah Gobleg?). Diceritakan pula setelah Putra-putranya turun ke Gobleg, Ida Bhatara Dalem Tamblingan juga menciptakan 30 orang yang menggunakan pakaian warna merah yang diberikan kepada Ngurah Bendesa sebagai pengayah/pembantu di Gobleg yang kemudian disebut sebagai Waca Mang.
Sebelum Turun ke Gobleg, Putra-Putra Beliau diberikan Anugrah (Jaya-Jaya Panugrah Linggih) sebagai berikut:
1. Putra ring Kiwa, yakni:
a. Ngurah Pasek sebagai Balian Agung yang bertugas memegang Sima Hulu (Kepala), melinggih ring Bale Agung
b. Ngurah Ngeng sebagai Balian Banten yang memegang Sima Banten juga mengatur Sinoman (Saye) dan Juru Arah (Pangarah)
c. Ngurah Mangku sebagai Mangku Agung/Mangku Gede/Mangku Puseh
2. Putra ring Tengen, yakni:
a. Ngurah Bendesa sebagai Penyarikan Agung yang memegang Sima Bajra dan bergelar sebagai Bhagawan Guru Sakti
b. Ngurah Nyrita sebagai Penyarikan Gong
c. Ngurah Kubayan sebagai Kubayan yang bertugas memegang Sima Kubayan
Sedangkan Putra dari Ngurah Bendesa yakni Ngurah Pangenter diberi Anugrah sebagai Pangenter Agung yang bertugas Ngenterang Ngurah Bendesa (Aji-nya).
Semua parekan dan iringan Ngurah Bendesa Dalem Tamblingan ini Ma-Siwa ring Ida Bhatara Dalem Tamblingan dan Ma-Siwa pula ring Ida Bhatara Ibu Sakti yang melinggih ring Pura Pejenengan-Gobleg. Pathirtaan dari semua parekan dan iringan Ngurah Bendesa Dalem Tamblingan adalah ring Gusti Ngurah Mancawarna (Gobleg) dan hal ini akan diceritakan lebih lanjut pada halaman berikutnya. Disini akan diceritakan secara singkat saja.
Agung Belayu merupakan Keturunan dari Ida Bhatara Dalem Kelungkung yang awalnya melinggih ring Jungkang (sekitar wilayah Bangli sekarang) yang bergelar sebagai Pungakan (Ngakan) Jungkang yang selanjutnya turun ke Belayu dan berganti nama menjadi Agung Belayu. Kemudian Agung Belayu diperintahkan untuk turun ke Gobleg dan diberi Anugerah serta tugas sebagai pendamping Ngurah Bendesa Dalem Tamblingan dalam bidang Pemerintahan (mengatur masyarakat). Setelah sampai di Gobleg, Keturunan Agung Belayu berganti nama menjadi Pasek Punggawa. Pasek Punggawa (ring Pura Batu Madeg) inilah yang nantinya akan dibagi lagi menjadi: Pasek Kayu Selem (ring Pura Selem/Pura Gelap?), Pasek Celagi (ring Pura Celagi), Pasek Batu Tangga (ring Pura Batu Tangga), dan Pasek Batu Lepang (ring Pura Batu Lepang).
Arya Barak Tegeh Kori Turunan Dalem Tamblingan adalah merupakan Keturunan atau Putra dari Ida Bhatara Surya (Dewa Dalem Dasar) dan Sanghyang Ratih yang melinggih ring Badung (ring Pura Dalem Benculuk?). Arya Barak Tegeh Kori ini awalnya Turun di Tamblingan melalui Gedong Kertajati, sehingga disebut sebagai Turunan Dalem Tamblingan, yang selanjutnya ikut turun ke Gobleg sebagai iringan Ngurah Bendesa Dalem Tamblingan dan diberi Anugrah sebagai Juru Sapuh (Pemangku) ring Palinggih Gedong Kertajati ring Pura Dalem Tamblingan, dan juga sebagai Juru Sapuh ring Siwa Muka Istri (Ida Bhatara Ibu Hyang) ring Pura Siwa Muka Suukan-Gobleg.
Pasek Wacing ini merupakan Keturunan atau Putra-Putra dari Ida Bhatara Sanghyang Srimandi yang melinggih ring Pura Batur-Kintamani. Disebut sebagai Pasek Wacing dikarenakan terdiri dari 4 saudara yang wajahnya mirip (kembar) dari 2 ibu yang berbeda (1 ibu memiliki putra kembar laki-laki). Karena turunnya di Tamblingan melalui Gedong Kertajati, sehingga disebut pula sebagai Turunan Dalem Tamblingan yang kemudian juga ikut turun ke Gobleg sebagai parekan Ngurah Bendesa Dalem Tamblingan dan diberi Anugerah sebagai Juru Sapuh (Pemangku) ring Pura-Pura Alit sehingga sering disebut sebagai Mangku Alit dan juga disebut sebagai Parekan Sayang atau Mangku Sayang oleh Ida Bhatara Dalem Tamblingan yang terdiri dari:
1. Pasek Ulika, sebagai parekan Dewa Ayu Mas (Putri dari Ida Bhatara Dalem Tamblingan) yang Merabian ring Ida Bhatara Dalem Ped (ring Nusa Penida), sesampai di Nusa Penida beliau berganti nama menjadi Pasek Kulisah.
2. Pasek Ulamreta, sebagai pemegang Arca Dalem Blambangan sekaligus menjadi Juru Sapuh ring Pura Blambangan.
3. Pasek Danajaya, sebagai pemegang Arca Ganesa sekaligus menjadi Juru Sapuh ring Pura Tajun-Tamblingan. Nantinya Putra-Putra beliau yang bertugas memegang & memelihara Gong Duwe.
4. Pasek Ulung, juga disebut sebagai Pasek Gobleg yang bergelar sebagai Rsi (Rsi Bhujangga?) bertugas memegang Arca Dalem Tamblingan dan sekaligus menjadi Juru Sapuh ring Pura Dalem Tamblingan. Beliau juga diberi tugas sebagai Penyungsung (Penyiwi) ring Ida Bhatara Dewa Ayu Ibu (Siwa ring Kiwa / Putri dari Ida Bhatara Dalem Kelungkung) yang melinggih ring Pura Siwa Muka Suukan-Gobleg. Putra Beliau yang nantinya akan menurunkan Pande di Tamblingan.
Pasek Menga merupakan Putra dari Ni Made Pasek (Putri dari Kaki Degug-Sukasada-Buleleng), sedangkan Putra dari Ni Luh Pasek (Kakak dari Ni Made Pasek) bernama Pasek Panji Landung, mereka (Pasek Menga dan Pasek Panji Landung) adalah 2 bersaudara dari 1 Ayah yang tidak diketahui namanya yang kemudian diangkat menjadi Parekan Dalem Kelungkung dan dianugerahkan 40 orang Teruna Bunga sebagai parekannya yang masing-masing membawa sebilah keris. Selanjutnya Pasek Panji Landung melinggih di Bukit Pengelengan (Beratan) sebagai Pepatih Ngurah Panji Sakti, sedangkan Pasek Menga melinggih di Tamblingan dan berganti nama menjadi Pasek Tamblingan yang kemudian diberi tugas sebagai Pepatih-nya Ngurah Bendesa Dalem Tamblingan. Pasek Menga (Pasek Tamblingan) inilah yang nantinya menurunkan Pasek Slang-Gobleg, Pasek Dukuh Mas (ngiring Dukuh Sakti saking Blambangan, memegang Ketu/Topinya Dukuh Sakti), dan Pasek Bendesa Mas (ngiring Dukuh Sakti saking Blambangan ring Kalianget, memegang Tungked/Tongkatnya Dukuh Sakti).
Yang memegang kendali dari semua Jabatan di atas adalah Ngurah Bendesa Dalem Tamblingan yang dalam menjalankan Sima Gama Hindu tersebut Beliau juga memiliki 5 Gelar yang berbeda-beda sesuai dengan tugasnya, yakni:
1. Ngurah Penyarikan Agung, sebagai pemuput Karya (menjalankan Sima Bajra)dan juga sebagai pamuput Rawes, pada waktu menggunakan Bajra Beliau bergelar sebagai Bhagawan Guru Sakti.
2. Ngurah Bendesa, sebagai pemrakarsa segala Upacara Karya.
3. Ngurah Mancawarna, sebagai Pathirtaan Umat Hindu Bali.
4. Ngurah Mancadrawa, sebagai pemegang dan yang membagikan uang sesari banten.
5. Ngurah Bupati, bertugas membacakan Prasasti, Lontar, Purana dan Pustaka lainnya yang ada di Pura-Pura yang bersangkutan.
Diceritakan sebelumnya bahwa pada waktu turun ke Bumi ini, Ida Bhatara Dalem Solo memiliki Rabi dan 2 Putri serta 1 Putra, Ida Bhatara Dalem Kelungkung memiliki Rabi dan 2 Putra serta 1 Putri, sedangkan Ida Bhatara Dalem Tamblingan belum mempunyai Rabi. Kemudian dianugrahkanlah 1 Putri dari Ida Bhatara Dalem Solo kepada Ida Bhatara Dalem Tamblingan untuk diajak dan diangkat menjadi Putri di Tamblingan. Putri tersebut bernama Dewa Ayu Mas Ngencorong. Namun setelah Putri tersebut Dewasa, Ida Bhatara Dalem Tamblingan mengambilnya sebagai Rabi dan mempunyai 2 Putra dan 1 Putri, yakni:
1. Dewa Dalem Maojog Mambet (Bhatara Guru Nabe, ring Pura Pejenengan-Gobleg)
2. Dewa Dalem Juna (Nyukla Brahmacari)
3. Dewa Ayu Mas Dalem Tamblingan (merabian ring Ida Dalem Ped, ring Pura Dalem Ped-Nusa Penida)
Diceritakan pula Dewa Dalem Maojog Mambet memiliki 2 Rabi(istri) yakni:
1. Dewa Ayu Manik Subandar (Putri dari Ida Bhatara Dalem Solo), dilinggihkan ring Tengen, ring Pura Siwa Muka Bulakan-Gobleg, di Pura ini juga melinggih Ida Bhatara Dewa Hyang (Siwa Muka Lanang). Solo Ngaran Jawa, artinya Piodalannya ring Sugihan Jawa. Beliau mempunyai 3 Putra dan 1 Putri yakni: Ngurah Bendesa, Ngurah Nyrita, Ngurah Kubayan, dan Dewa Ayu Dalem Tamblingan.
2. Dewa Ayu Ibu (Putri dari Ida Bhatara Dalem Kelungkung), dilinggihkan ring Kiwa, ring Pura Siwa Muka Suukan-Gobleg, di Pura ini juga melinggih Ida Bhatara Ibu Hyang (Siwa Muka Istri). Kelungkung Ngaran Bali, artinya Piodalannya ring Sugihan Bali. Beliau mempunyai 3 Putra yakni: Ngurah Pasek, Ngurah Ngeng, Ngurah Mangku.
Kemudian berita ini diketahui oleh Ida Bhatara Dalem Solo, maka dipanggilah Ida Bhatara Dalem Tamblingan agar datang ke Solo. Sesampainya di Solo, Beliau ditanya tentang kebenaran berita tersebut, apakah benar Beliau mengambil keponakannya sebagai istri? dan dijawablah oleh Ida Bhatara Dalem Tamblingan bahwa memang benar adanya demikian, maka menjadi murka lah Ida Bhatara Dalem Solo kepada Adiknya, dan semenjak saat itu diturunkanlah gelar Satrya Dalem Tamblingan menjadi Arya Dalem Tamblingan oleh Ida Bhatara Dalem Solo. Selanjutnya diperintahlah Ida Bhatara Dalem Tamblingan untuk menggali sebuah sumur di Solo, setelah sumur itu dalam, kemudian Ida Bhatara Dalem Tamblingan ditimbun dengan Batu oleh Ida Bhatara Dalem Solo, namun batu-batu tersebut kembali terbang ke atas, dan di dalam sumur tersebut Ida Bhatara Dalem Tamblingan menemukan sebuah lubang mirip goa yang di dalamnya terdapat akar Pohon Timbul yang sudah dimakan Tetani (rayap), kemudian dipeganglah akar Pohon Timbul tersebut sebagai pegangan untuk menelusuri Goa tersebut. Singkat cerita, sampailah Ida Bhatara Dalem Tamblingan di depan pintu goa yang sekarang dikenal dengan sebutan Goa Naga Loka. Semenjak saat itu Beliau bersumpah kepada semua keturunannya (Arya Dalem Tamblingan) agar tidak memakan Buah Timbul dan tidak membunuh Tetani, hal ini dikarenakan Beliau telah berhutang jasa kepada Pohon Timbul dan Tetani.
Di bagian lain diceritakan, pada waktu Keturunan Arya Dalem Tamblingan mau Turun ke Gobleg, Putra dari Dewa Dalem Maojog Mambet yang melinggih ring Kiwa yakni: Ngurah Pasek, Ngurah Ngeng, dan Ngurah Mangku, ketiganya meninggal dunia (Seda), kemudian diperintahkan untuk diaben di Kelungkung dengan sarana membuatkan Pemereman (Wadah) Tumpang Pitu dan Lembu Putih sebanyak 3 Buah. Pemereman Tumpang Pitu dan Lembu Putih ini dituliskan sebagai simbul dari "Ong Kara". Setelah selesai dibuatkan sarana upakaranya, Upacara Ngaben segera dilaksanakan, namun Layon (Mayat) dari Ketiga Putranya tersebut tiba-tiba menghilang, mungkin ini yang dinamakan Moksa, Upacara Ngaben tetap dilaksanakan tanpa adanya Layon (Mayat).
Setelah Upacara Ngaben selesai dilaksanakan, karena bersedih, Ngurah Bendesa bersama 2 saudaranya diiringi oleh 3 parekan dan 2 Macan (Gringsing Kuning & Gringsing Wayang) pergi ke tengah hutan dan akhirnya bertemulah mereka dengan Ida Bhatara Dalem Tamblingan di depan Goa Naga Loka. Kemudian Ida Bhatara Dalem Tamblingan menyampaikan keinginan Beliau untuk pulang ke Alas Wayah (Alam Sunia) namun dengan syarat harus membawa Genta, Dapak, dan Bungkung (Cincin) Mas. Disanggupilah oleh ke-3 parekan Ngurah Bendesa untuk membuat ketiga syarat tersebut. Kemudian diberilah Anugrah ke-3 parekan tersebut oleh Ida Bhatara Dalem Tamblingan dengan nama dan tempat melinggihnya masing-masing sebagai berikut:
1. Yang paling Gede, bisa membuat Genta, diberi nama Pande Tusan, melinggih di Jawa
2. Yang paling Made, bisa membuat Dapak, diberi nama Pande Wangke Maong, melinggih di Kelungkung
3. Yang paling Nyoman, bisa membuat Cincin, diberi nama Pande Mas, melinggih di Beratan
Selain itu, ada pula 2 bersaudara lagi di Alas (Hutan) tersebut yang mendapat Anugrah nama, tempat melinggih, dan Tedung Tumpang Telu (tidak boleh ngeliwat/melebihi/Sanghyang Wreti Sipat) dari Ida Bhatara Dalem Tamblingan, yakni:
1. Yang paling Gede, diberi nama Tegeh Kori, gelarnya Gusti, melinggih di Ampenan, Siwa-nya Dalem Byasa
2. Yang paling Made, diberi nama Tegeh Kori, gelarnya Gusti, melinggih di Badung (Delod Gelogor), Siwa-nya Makadasar
Kemudian berjalanlah Tegeh Kori menuju Ampenan dan Badung, ketika di tengah jalan diterpa hujan maka bertemulah dengan Am Om Mam, di sanalah Tegeh Kori meminjam Tedung 3, bertemu lagi dengan Pande Mas dan meminjam Tedung 2 di Pande Mas, sampai di Kelungkung bertemu dengan Praratu Bhatara yang sedang rapat (berkumpul) disana lagi Tegeh Kori meminjam Tedung 6, pada waktu itu Tegeh Kori dikatakan rakus dengan Tedung, tidak puas hanya dengan Tedung Tumpang Telu saja. Setelah itu Ida Bhatara Dalem Tamblingan menetapkan bahwa Goa tersebut diberi nama Goa Naga Loka dan yang melinggih di Goa ini adalah Ida Bhatara Sorang Dana, sebagai tempat untuk memohon Anugrah agar kita mengetahui siapa jati diri kita masing-masing (tempat mohon petunjuk untuk mengetahui Kawitan/jati diri kita masing-masing). Dan Goa tersebut tidak boleh untuk dimasuki. Kemudian tiba-tiba saja terdengar suara Kidang (Kijang) berwarna Putih dan selanjutnya dikejarlah Kidang Putih tersebut oleh Gringsing Wayang dan Gringsing Kuning yang akhirnya Kidang Putih tersebut lompat ke dalam Danau Tamblingan dan diikuti oleh ke 2 Macan yang mengejarnya dan juga diikuti oleh Ida Bhatara Dalem Tamblingan yang ikut terjun ke dalam Danau Tamblingan menuju ke Sapta Patala (Tujuh Lapisan Bumi) yang terletak di Pusat Bumi (di bawah Danau Tamblingan), di sanalah didapati ke 2 Macan Iringan Ida Bhatara Dalem Tamblingan diikat dengan 3 rantai, kemudian datanglah wujud Seseorang dengan Kepala-Nya Dasa Aksara, Tangan-Nya Tri Aksara, Kaki-Nya Panca Aksara, Badan-Nya Sanghyang, Sabda-Nya Widhi, Kalau digabungkan menjadi Ida Sanghyang Widhi. Lalu Beliau meminta kepada Ida Bhatara Dalem Tamblingan agar tidak melepas Macannya yang sedang diikat, karena Beliau yang akan meminta ke 2 Macan tersebut. Selanjutnya Ida Bhatara Dalem Tamblingan mohon pamit, sebelum pamit disuruhlah mencabut Bulu Naga yang ada di sebelah Ida Sanghyang Widhi, dan dicabutlah 4 helai Bulu Naga yang ada di Kepala Naga tersebut. Ke 4 helai Bulu Naga inilah yang dibawa kembali ke Puri Tamblingan melalui Goa Naga Loka oleh Ida Bhatara Dalem Tamblingan, kemudian dianugrahkan pula sebuah Takilan (Bungkusan) yang berisi Wijaratus (Biji-bijian Palawija).
Sesampai di Puri, semua Putra dan Parekan Ida Bhatara Dalem Tamblingan tidak ada di Puri karena semuanya ikut turun ke pinggir Danau Tamblingan mengikuti Ida Bhatara Dalem Tamblingan. Kemudian kembalilah Ngurah Bendesa bersama Saudara-saudara dan Parekannya, sesampai di Puri, mereka semua bertemu dengan Ida Bhatara Dalem Tamblingan yang lebih dahulu sampai di Puri. Pada waktu turun ke Danau Tamblingan, Parekan Ida Bhatara Dalem Tamblingan memperoleh Ikan Lele dan Ikan Kayuh, namun dalam perjalanan pulang ke Puri, Ikan Lelenya jatuh/tertinggal di Danau Tamblingan, hanya Ikan Kayuh saja yang dibawa pulang ke Puri. Kemudian Ikan Kayuh inilah yang dibagikan kepada Putra-Putra Dewa Dalem Maojog Mambet yang disesuaikan dengan tugas dan jabatannya masing-masing, mengenai pembagiannya adalah sebagai berikut:
1. Bagian Kepala diberikan kepada Ngurah Pasek (Balian Agung) sebagai Hulu
2. Bagian Mulut (cangkem) diberikan kepada Ngurah Ngeng sebagai Balian Banten
3. Bagian Leher diberikan kepada Ngurah Mangku sebagai Mangku Agung / Mangku Puseh / Mangku Gede
Karena ketiga Putra Dewa Dalem Maojog Mambet ini sudah Moksa, agar ada yang melanjutkan ketiga Tugas dan Jabatan di atas, maka ketiga bagian ini diberikan untuk dipinjamkan sementara kepada ketiga Putra dari Pasek Menga (Pasek Tamblingan) yang kemudian diberi Nama sebagai Pasek Slang. Untuk selanjutnya ketiga Tugas dan Jabatan ini berserta bagiannya akan dikembalikan lagi kepada Keturunan Dalem Tamblingan yang berikutnya. Atas dasar inilah ada persepsi yang mengatakan bahwa kalau sebagai Jro Mangku, pada waktu meninggalnya nanti harus diadakan Upacara Nguli-nguliang (mengembalikan tugas dan jabatannya berserta bagiannya).
4. Bagian Pundak berserta Tangan Kiri dan Tangan Kanan diberikan kepada Ngurah Bendesa sebagai Penyarikan Agung
5. Bagian Rusuk (iga-iga) diberikan kepada Ngurah Nyrita sebagai Penyarikan Gong
6. Bagian Perut diberikan kepada Ngurah Kubayan sebagai Kubayan
7. Bagian Pinggang berserta Kaki Kiri dan Kanan diberikan kepada Ngurah Pangenter sebagai Pangenter Agung.
Karena merasa kasihan Ngurah Pangenter kepada Jro-Jro Mangku Ring Pura-Pura Alit (Pura-Pura selain Pura Agung/Pura Puseh), maka bagian dari Ngurah Pangenter diberikan sedikit (a-sampel) kepada Jro-Jro Mangku Alit tersebut. Ikan Kayuh inilah yang nantinya disimbulkan sebagai Be Gayah dalam Banten Bebangkit di setiap Upakara Yadnya (Karya) di Pura-Pura. Kemudian diceritakan pada waktu turun ke Gobleg, Ngurah Bendesa Dalem Tamblingan dianugrahkan Papatih, Parekan dan Iringan oleh Ida Bhatara Dalem Tamblingan. Papatih Ngurah Bendesa Dalem Tamblingan bernama Pasek Menga (Pasek Tamblingan), beliau adalah Cucunya Kaki Degug dari Sukasada-Buleleng, Ibunya bernama Ni Made Pasek (Putri Kaki Degug) yang menjadi pengayah di Puri Bencingah Kelungkung. Parekan Ngurah Bendesa Dalem Tamblingan bernama Pasek Wacing, beliau terdiri dari 4 (empat) Saudara Kembar, Putra dari Ida Bhatara Sanghyang Srimandi (Ida Bhatara Batur) yang Melinggih Ring Gunung Batur dan distanakan di Pura Batur (Kintamani), dengan 2 Istri yakni: Sanghyang Trinabi (Putri Dewa Dalem Majapahit) dan Sanghyang Srinabi (Putri Dewa Dalem Tiongkok).
Iringan Ngurah Bendesa Dalem Tamblingan ada 2 yakni: Agung Belayu (Pasek Punggawa) Keturunan Dalem Kelungkung dan Gusti Arya Barak Tegeh Kori Putra dari Ida Bhatara Surya dan Sanghyang Ratih yang Melinggih di Pura Dalem Dasar Benculuk-Badung. Diceritakan Ngurah Bendesa Dalem Tamblingan turun ke Gobleg melalui Kawat Emas dan diberi Anugrah oleh Dewa Dalem Majapahit sebuah Kleneng/Nguntuling Nglayang (Bajra), setelah sampai di Gobleg nama beliau diganti menjadi Ngurah Agung Penyarikan Dalem Tamblingan yang bertugas sebagai Pemimpin Upacara Yadnya (Pamuput Karya) dan Penyaksi Segala Upakara Yadnya (Pamuput Rawes) dalam bahasa sekarang disebut sebagai Sulinggih. Ada 5 (lima) gelar yang dimiliki oleh Ngurah Agung Penyarikan Dalem Tamblingan pada waktu menjalankan tugas yang berbeda-beda, ke 5 gelar tersebut antara lain:
1. Ngurah Agung Penyarikan (Bhagawan Guru Sakti) sebagai Pamuput Karya (Sima Bajra)
2. Ngurah Mancawarna (sebagai Pethirtaan/sebagai Siwa dari Seluruh Umat Hindu di Bali)
3. Ngurah Mancadrawa (memegang dan membagikan uang sesari banten)
4. Ngurah Bendesa (mempersiapkan dan membuat/Pemrakarsa segala Upacara Karya)
5. Ngurah Bupati (membacakan Prasasti, Lontar, dan Purana yang ada di Pura)
Dikarenakan memiliki 5 gelar dengan 5 tugas yang berbeda-beda tersebut, maka Ngurah Agung Penyarikan Dalem Tamblingan lebih dikenal oleh Umat Hindu pada waktu itu dengan sebutan Gusti Ngurah Mancawarna. Pada waktu turun ke Gobleg, dilihatlah seorang pendeta yang juga datang turun ke Gobleg, setelah itu, disapalah pendeta tersebut yang turun bersama istrinya dan ditanyakan maksud kedatangannya, dijawablah oleh pendeta tersebut yang bergelar sebagai Pranda Wawu Rawuh (Ida Rsi Madura Sakti?), Beliau hendak melinggih di Taru Pinge (sekarang disebut sebagai Desa Kayu Putih), kemudian diantarlah Pranda Wawu Rawuh tersebut oleh Ngurah Pangenter, Barak Tegeh Kori dan Pasek Wacing ke Desa Kayu Putih. Setelah pendeta tersebut sampai di Desa Kayu Putih, Ngurah Pangenter bersama iringan dan parekannya kembali ke Gobleg, sesampainya di Gobleg, diperintahkanlah oleh Ida Bhatara Dalem Tamblingan untuk membuat sebuah Gedong yang bernama Gedong Murti yang kemudian dikenal sebagai Pura Batur-Gobleg yang dipergunakan sebagai tempat perkumpulan Ngurah Pangenter berserta Aji-nya (Ngurah Bendesa) dan juga saudara-saudaranya. Piodalannya jatuh pada Wuku Tulu? (Soma Tulu?), Pananggal (hari menuju Purnama/hari setelah Tilem). Ada sebuah bisama/kutukan untuk melarang memberikan kepada yang lainnya untuk ikut berkumpul di Pura Batur tersebut. Dikisahkan pula pada waktu itu daerah Gobleg tidak ada penghuninya, yang ada hanya Penunggu Karang yang menyapa kedatangan Ida Bhatara Dalem Tamblingan berserta Putra, iringan dan parekannya, kemudian diberikanlah wilayah Gobleg tersebut untuk ditempati oleh Putra-putra, iringan dan parekan Ida Bhatara Dalem Tamblingan, sebagai imbalannya, Penunggu Karang tersebut dijadikan sebagai manusia dan diberi tugas sebagai Juru Sapuh (Pemangku) di Pura Batur-Gobleg, yang kemudian diberi nama sebagai Pasek Gobleg Juru Sapuh Ring Batur, dan juga beliau diberikan imbalan Karang Kedas (Asah Gobleg?). Diceritakan pula setelah Putra-putranya turun ke Gobleg, Ida Bhatara Dalem Tamblingan juga menciptakan 30 orang yang menggunakan pakaian warna merah yang diberikan kepada Ngurah Bendesa sebagai pengayah/pembantu di Gobleg yang kemudian disebut sebagai Waca Mang.
0 komentar:
Post a Comment