twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Friday, September 20, 2013

Siwa Siddhanta


Pendahuluan

          Ajaran Agama Hindu yang dianut sebagai warisan nenek moyang di Bali adalah ajaran Siwa Siddhanta yang kadang - kadang juga disebut Sridanta. Siddhanta artinya akhir dari sesuatu yang telah dicapai, yang maksudnya adalah sebuah kesimpulan dari ajaran yang sudah mapan. Ajaran ini merupakan hasil dari akulturasi dari banyak ajaran Agama Hindu. Didalamnya kita temukan ajaran Weda, Upanisad, Dharmasastra, Darsana (terutama Samkya Yoga), Purana dan Tantra. Ajaran dari sumber - sumber tersebut berpadu dalam ajaran Tattwa yang menjadi jiwa atau intisari Agama Hindu di Bali.
            Dalam realisasinya, tata pelaksanaan kehidupan umat beragama di Bali juga menampakkan perpaduan dari unsur - unsur kepercayaan nenek moyang. Wariga, Rerainan (hari raya) dan Upakara sebagian besarnya merupakan warisan nenek moyang. Warisan ini telah demikian berpadu serasi dengan ajaran Agama Hindu sehingga merupakan sebuah satu kesatuan yang bulat dan utuh. Dengan demikian, Agama Hindu di Bali mempunyai sifat yang khas sesuai dengan kebutuhan rohani orang Bali dari jaman dahulu hingga sekarang.
Di masa sekarang ini, warisan Agama yang adhiluhung tersebut perlu kita jaga, rawat dan menyempurnakan pemahaman kita sehingga tetap bisa memenuhi kebutuhan jiwa keagamaan umatnya.

 1.        Sumber - Sumber Ajaran

          Walaupun sumber - sumber ajaran Agama Hindu di Bali berasal dari kitab - kitab berbahasa Sansekerta, namun sumber - sumber tua yang kita warisi kebanyakan ditulis dalam dua bahasa yaitu Bahasa sansekerta dan Bahasa Jawa Kuno. Kitab yang di tulis dalam bahasa Sansekerta umumnya adalah kitab Puja, namun bahasa Sansekerta yang digunakan adalah bahasa Sansekerta kepulauan khas Indonesia yang sedikit berbeda denga bahasa Sansekerta versi India. Sedangkan kitab - kitab yang ditulis dalam bahsa jawa kuno antara lain Bhuwanakosa, Jnana Siddhanta, Tattwa Jnana, Wrhaspati tatwa dan Sarasamuscaya. Kitab Bhuwanakosa, Jnana Siddhanta, Tattwa Jnana dan Wrhaspati Tattwa adalah kitab - kitab yang Tattwa yang mengajarkan Siwa Tattwa yang mana juga kitab - kitab ini menjadi unsur dari isi Puja. Sedangkan Sarasamuscaya adalah kitab yang mengajarkan susila, etika dan tingkah laku.
          Disamping itu juga terdapat banyak lontar - lontar indik yang menjadi rujukan pelaksanaan kehidupan umat beragama dan bermasyarakat di Bali seperti lontar Wariga, lontar tentang pertanian, pertukangan, organisasi sosial dan yang lainnya. Disamping itu juga terdapat kitab - kitab Itihasa dan gubahan - gubahan yang berasal dari purana, seperti Parwa ( kisah Maha Bharata), Kanda (Ramayana) dan juga kekawin - kekawin yang menjadi alat pendidikan dan pedoman dalam bertingkah laku bagi masyarakat. Itihasa dan juga purana juga menjadi sumber dalam kehidupan berkesenian di Bali terutama kesenian yang masuk kategori Wali atau sakral, seperti wayang, topeng, calonarang dan yang lainnya, yang mana pementasan kesenian tersebut umumnya mengangakat tema cerita yang berasala dari Itihasa, purana atau kekawin. Tidak semua pelaksanaan kehidupan beragama di Bali yang dapat dirujuk kedalam sumber - sumber ajaran sastra agama, yang dikarenakan Agama Hindu di Bali begitu menyatu dengan Budaya, adat, seni dan segala aspek kehidupan orang Bali, sehingga banyak warisan budaya para leluhur orang Bali yang tetap diwariskan turun - temurun dan menjadi satu keatuan denga Agama Hindu di Bali.

2.         Pokok - Pokok Ajaran
            Ajaran Siwa Siddhanta di Bali terdiri dari tiga kerangka utama yaitu Tattwa, Susila dan Upacara keagamaan. Tatwa atau filosofi yang mendasarinya adalah ajaran Siwa Tattwa. Di dalan Siwa Tattwa, Sang Hyang Widhi adalah Ida Bhatara Siwa. Dalam lontar Jnana Siddhanta dinyatakan bahwa Ida Bhatara Siwa adalah Esa yang bermanifestasi beraneka menjadi Bhatara - Bhatari.

 Sa eko bhagavan sarvah
 Siwa karana karanam
 Aneko viditah sarwah
 Catur vidhasya karanam
Ekatwanekatwa swalaksana bhatara ekatwa ngaranya
Kahidup makalaksana siwatattwa
Tunggal tan rwatiga kahidep nira
Mangekalaksana siwa karana juga tan paphrabeda
Aneka ngaranya kahidup Bhataramakalaksana caturdha.
Caturdha ngaranya laksananiram stuhla suksma sunya.

Artinya:
          Sifat Bhatara eka dan aneka. Eka artinya ia dibayangkan bersifat Siwa Tattwa, ia hanya esa tidak dibayangkan dua atau tiga. ia bersifat Esa saja sebagai Siwakarana (Siwa sebagai pencipta), tiada perbedaan. Aneka artinya Bhatara bersifat Caturdha. Caturdha adalah sifatnya, sthula, suksma dan sunia.
            Sumber - sumber lain yang menyatakan Dia yang Eka dalam Beraneka juga kita temukan dalam banyak mantra - mantra, diantaranya adalah :

Om namah Sivaya sarva                                                                                                                Dewa-devaya vai namah
Rudraya Bhuvanesaya
Siwa rupaya vai namah
Artinya:
Sembah bhakti dan hormat kepada Siwa, kepada Sarwa Sembah bhakti dan hormat kepada dewa dewanya  Kepada Rudra raja alam semesta Sembah hormat kepada dia yang rupanya manis

 Twam Sivas twam Mahadewa
 Isvara Paramesvara
 Brahma Visnuca Rudrasca
 Purusah Prakhrtis tatha
Artinya :
Engkau adalah Siwa Mahadewa Iswara, Parameswara Brahma, Wisnu dan Rudra Dan juga sebagai Purusa dan Prakerti.

Tvam kalas tvam yamomrtyur
varunas tvam kverakah
Indrah Suryah Sasangkasca
Graha naksatra tarakah

Artinya:
Engkau adalah Kala, Yama, dan Mrtyu Engkau adalah Varuna, Kubera Indra, Surya dan Bulan Planet, naksatra dan bintang – bintang.

Prthivi salilam tvam hi 
Tvam Agnir vayur eva ca                                                                                                               Akasam tvam palam sunyam
Sakhalam niskalam tatha

Artinya:
Engkau adalah Bumu, Air dan juga Api Angkasa dan alam sunia tertinggi Juga yang berwujud dan tak berwujud
          Dengan contoh - contoh ini menunjukkan bahwa semua Bhatara - Bhatari itu adalah Bhatara Siwa sendiri. Bhatara - Bhatari itulah yang dipuja sebagai Ista Dewata. Banyaknya Ista Dewata yang dipuja akan berkaitan dengan banyaknya Pura dan Pelinggih, Pengastawa, Rerainan dan Banten. Ista Dewata adalah Bhatara Siwa yang aktif sebagai Sada Siwa, sedangkan Bhatara Siwa sebagai Parama Siwa bersifat tidak aktif atau sering disebut Sunia. Dalam manifestasi beliau sebagai Dewa Brahma, Wisnu dan Iswara yang paling mendominasi pemujaan yang ada di Bali. Konsep penciptaan, pemeliharaan dan pemrelina menunjukkan Bhatara Siwa sebagai apa yang sering disebut Sang Hyang Sangkan paraning Numadi, yaitu asal dan kembalinya semua yang ada dan tidak ada di jagat raya ini.
            Salah satu yang menarik dari keberadaan Bhatara Siwa, ialah Beliau berada dimana - mana, di seluruh penjuru mata angin dan di pengider - ider. Di timur Ia adalah Iswara, di tenggara Ia adalah Mahesora, di selatan Ia adalah Brahma, di barat daya Ia adalah Rudra, di barat Ia adalah Mahadewa, di barat laut Ia adalah Sangkara, di utara Ia adalah Wisnu, di timur laut Ia adalah Sambhu dan ditengah Ia adalah Siwa. Sebagai Sang Hyang kala, di timur Ia adalah kala Petak (putih), di selatan Ia adalah Kala Bang (merah), di barat ia adalah Kala Gading (Kuning), di utara Ia adalah Kala Ireng (hitam) dan ditengah Ia adalah kala mancawarna.
            Selain ajaran ke-Tuhanan, ajaran Siwa Siddhanta juga memuat beberapa ajaran diantaranya ajaran tentang Atma yang sesungguhnya berasal dari Bhatara Siwa dan akan kembali kepada-Nya juga, ajaran Karma Phala yang berkaitan dengan Punarbawa atau siklus reinkarnasi, ajaran pelepasan yang berkaitan tentang Yoda dan Samadhi. Terdapat pula ajaran tata susila yang erat hubungannya dengan ajaran Karma Phala. Tumpuan dari ajaran tata susila itu adalah Tria Kaya Parisuddha yaitu Kayika Parisuddha (berbuat yang benar), Wacika Parisuddha (berbicara yang benar) dan Manacika Parisuddha (berfikir yang benar).

3.         Siwa Siddhanta Dalam Pelaksanaan Kehidupan Beragama di Bali
            Ada relasi antara manusia dengan Tuhan. Relasi ini diwujudkan dalam bentuk bakti sebagai wujud Prawrti Marga. Tuhan dipuja sebagai saksi agung akan semua perbuatan manusia di dunia. Tuhan yang memberikan berkah dan hukuman kepada semua mahluk. Di Bali, bhakti kepada Tuhan direalisasikan dalam berbagai bentuk. Untuk orang kebanyakan, bhakti diwujudkan dengan sembahyang yang diiringi dengan upakara. Upakara artinya pelayanan dengan ramah diwujudkan dengan banten. Upakara termasuk Yajna atau persembahan suci. Baik sembahyang maupun persembahan Yajna memerlukan tempat pemujaan. Pemangku, Balian Sonteng dan Sulinggih mengantarkan persembahan umat kepada Tuhan dengan saa, mantra dan puja. Padewasan dan rerainan memengang peranan penting, yang mana pada semua ini ajaran sradha kepada Tuhan akan selalu tampak terwujud.
            Demikian juga misalnya saat Bhatara Siwa sebagai Dewata Nawa Sanga diwujudkan dalam banten caru, belia disimbulkan pada banten Bagia Pula Kerti, beliau dipuja pada puja Asta Mahabhaya, Nawa Ratna dan pada kidung belia dipuja pada kidung Aji Kembang. Bhatara Siwa sebagai Panca Dewata dipuja dalam berbagai Puja, Mantra dan saa, ditulis dalam aksara pada rerajahan dan juga disimbulkan pada alat upacara serta aspek kehidupan beragama lainnya. Tempat - tempat pemujaan menunjukkan tempat memuja Bhatara Siwa dalam manifestasi beliau. Belia dipuja sebagai Siwa Raditya di Padmasana, dipuja sebagai Tri Murti di sanggah, paibon, Kahyanga Desa dan kahyangan jagat. Pemujaan Tuhan pada berbagai tempat sebagai Ista Dewata sesuai dengan ajaran Tuhan berada dimana - mana. Demikinalah orang Bali menyembah Tuhan disemua tempat, di Pura Dalem, Pura Desa, Pura Puseh, Bale Agung, Pempatan Agung, Peteula, Setra, Segara, Gunung, Sawah, Dapur dan sebagainya. Disamping itu diberbagai tempat Tuhan dipuja sebagai Dewa yang "Ngiyangin" atau yang memberkati daerah pada berbagai aspek kehidupan, seperti Dewa Pasar, Peternakan, Kekayaan, Kesehatan, Kesenian, Ilmu Pengetahuan dan sebagainya.
            Dengan demikian hampir tidak ada aspek kehidupan orang Bali yang lepas dari Agama Hindu. Dalam pemujaan ini Tuhan dipuja sebagai Ista Dewata, Dewa yang dimohon kehadirannya pada pemujaannya, sehingga yang dipuja bukanlah Tuhan yang absolut sebagai Brahman dalam Upanisad atau Bhatara Siwa sebagai Parama Siwa, namun Tuhan yang bersifat pribadi yang menjadi junjungan yang disembah oleh penyembahnya. Ista Dewata ini dipandang sebagai tamu yang dimohon kehadirannya oleh hambanya pada waktu dipuja untuk menyaksikan sembah bakti umatnya.
            Oleh karena itu Tuhan dipuja sebagai "Hyang" dari aspek - aspek kehidupan yang rasa kehadiran-Nya sangat dihayati oleh hambanya sama seperti penghayatan umat terhadapa aspek kehidupan tersebut. Pemujaan dilakuakn dalam suasana, tempat cara dan bahan yang paling tepat dan paling dihayati oleh para pemuja-Nya. Terdapat persembahan Banten, pakaian, hiasan yang semuanya dipersembahkan dengan begitu serasi dengan penghayatan, perasaan dan cita rasa dari penyembah-Nya sehingga penghayatan menyusup kedalam lubuk hati yang terdalam. Apapun yang dipersembahkan, maka itu adalah sesuatu yang terbaik menurut para penyembah-Nya. Akibat dari semua itu adalah adanya variasai dan pelaksanaan hidup beragama di Bali. Namun inti dari prinsip ajaran agama Hindu adalah sama, yaitu Tuhan yang ada dimana - mana sama dengan Tuhan Yang Maha Esa yang menampakkan diri dalam berbagai wujud dan pandangan penyembah-Nya, yang abstrak dihayati melalui bentuk.

3.         Beberapa Sumber Dalam Siwa Tattwa
            Penulisan buku Siwa Tattwa ini menggunakan beberapa sumber lontar seperti : Bhuwana Kosa, Tattwa Jnana, Maha-jnana, Ganapatitattwa, Wrhaspatitattwa, Jnanasiddhdnta dan beberapa puja yang bercorak monisme. Lontar-lontar tersebut beberapa di antaranya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh sebuah tim yang dibiayai oleh Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali bahkan ada beberapa di antaranya telah diterbitkan oleh Upada Sastra. Adapun ikhtisar masing-masing lontar tersebut sebagai berikut :

3.1.      Bhuwana Kosa.
            Bhuwana Kosa adalah nama salah satu lontar yang tergolong jenis tatwa atau tutur yang dipandang sebagai lontar tertua dan sumber lontar-lontar tattwa yang bercorak Siwaistik lainnya, seperti : Wrhaspatitattwa, Tattwajnana, Mahajnana Ganapatitattwa dan sebagainya. Lontar ini terdiri atas 11 bab yang disebut dengan patalah dengan jumlah sIoka 487 sloka. Setiap patalah tidak sama jumlah slokanya.
            Dari segi isi secara garis besar Bhuwana Kosa dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah bagian Brahmarahasyam yaitu bagian yang berisi percakapan antara Srimuni Bhargawa dengan Bhatara Siwa tentang Siwa yang bersifat sangat rahasia. Bagian ini diuraikan dalam 5 patalah yaitu dari patalah I sampai dengan patalah V. Sedangkan bagian kedua, adalah bagian Rihna-rahasyarn yang berisi percakapan antara Bhatara Siwa dengan Bhatara Uma dan Sang Kumara tentang pengetahuan untuk memahami Siwa yang bersifat sangat rahasia. Bagian ini diuraikan dalam 6 patalah yaitu dari patalah VI sampai dengan patalah XI.
            Adapun ajarannya dapat dijelaskan sebagai berikut. Tuhan dalam Bhuwana Kosa disebut Bhatara Siwa. Beliau Maha Esa, tanpa bentuk, tanpa warna, tak terpikirkan, tak tercampur, tak bergerak, tak terbatas dan sebagainya. Ia yang tak terbatas digambarkan secara terbatas. Karena itu, Ia sering disebut dengan nama yang berbeda, seperti : Brahma, Wisnu, lswara/Rudra sesuai dengan tugas dan fungsinya. Bhawa, Pasupati, Sarwajna, sesuai dengan tempat yang ditempatinya. Sadyojata, Bhamadewa, Tatpurusa, Aghora dan hana dalam Pasica Brahma.
            Ia bersifat immanen dan transenden. Immanen artinya Ia meresapi segala, Hadir pada segala termasuk meresap pada pikiran dan indriya (sira wyapaka). Transenden artinya Ia meliputi segala tetapi Ia berada di luar batas pikiran dan indriya. Meskipun Ia imanen dan transenden pada semua makhluk, tetapi Ia tidak dapat dilihat dengan kasat mata, karena Ia bersifat sangat rahasia, abstrak. Karena kerahasiaannya Ia digambarkan bagaikan api dalam kayu, minyak dalam santan. Ia ada di mana-mana, pada semua yang ada ini. Ia tidak tampak, tetapi Ia ada. Sungguh sangat rahasia adanya.
            Ia adalah asal dari semua yang ada ini (sangkeng bhatara Siwa sangkanya). Alam semesta (bhuwana agung) dengan segala isinya, dan manusia (bhuwana alit) adalah ciptaanNya juga. Semua ciptaanNya itu merupakan wujud mayaNya yang bersifat tidak kekal. karena dapat mengalami kehancuran. Pada saat mengalami kehancuran semua ciptaanNya itu akan kembali kepadaNya. Karena Ia adalah asal dan tujuan semua yang ada ini (mijil sakeng sira ling ri sira muwah). Proses penciptaannya terjadi secara bertahap dari penciptaan Purup yang pertama oleh Bhatara Siwa sampai pada penciptaan yang terakhir yaitu prthiwi.
            Tingkatan-tingkatan alam dalam Bhuwana Agung bila dihubungkan dengan tubuh manusia (Bhuwana Alit) akan ditemukan pads bagian-bagian tubuh manusia dari alam yang pa¬ling bawah sampai dengan yang tertinggi yaitu alam kamoksan. Pada setiap bagian yang merupakan simbul alam dalam tubuh manusia berstana dews-dews, di mans Sanghyang Parama Nirbana Siwa adalah Dewa yang tertinggi yang hares dijadikan obyek dalam kamoksan.
            Eksistensi Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit tersebut merupakan pengetahuan tentang rahasia hidup yang sangat rahasia dan utama. Hal tersebut harus dikuasai sebagai suatu sarana untuk mencapai kamoksan (Sanghyang Parama Nirbana Siwa).
Untuk memiliki pengetahuan tersebut tidaklah mudah, is harus dicari dengan tekun dan teliti dan dengan persyaratan yang berat, seperti :
1.         Memiliki kepribadian yang baik
2.         Memiliki tata krama
3.         Berpikir tenang
4.         Tidak minum minuman keras serta Menjauhi perbuatan nista
6.         Guru gurusurusa
7.         Tekun menjalankan brata
8.         Memiliki pengetahuan tentang Weda dan sastra lainnya
9.         Memiliki keyakinan yang kuat akan ajaran tersebut
10.       Penguasaan ajaran itu yang dapat dilaksanakan dengan mempelajari secara             tekun dan teliti.
11.       Melaksanakan yoga selalu.

3.2.      Wrhaspati Tattwa.
            Wrhaspati tattwa terdiri atas 74 pasal menggunakan bahasa Sanskerta dan bahasa Jawa Kuna. Bahasa Sanskertanya disusun dalam bentuk s1oka dan bahasa Jawa Kunanya disusun dalam bentuk bebas (gancaran) yang dimaksudkan sebagai terjemahan/ penjelasan bahasa Sanskertanya. Wrhaspati tattwa berisi dialog antara seorang guru spiritual yaitu Sanghyang Iswara dengan seorang sisia (murid) spiritual yaitu Bhagawan Wrhaspati. Sanghyang Iwara berstana di puncak Gunung Kailasa yaitu sebuah puncak Gunung Himalaya yang dianggap suci. Sedangkan Bhagawan Wrhaspati adalah orang suci yang merupakan guru dunia (guru loka) yang berkedudukan di sorga. Secara garis besar ajaran-ajaran yang dijelaskan dalam dialog itu sebagai berikut :
            Kenyataan tertinggi itu ada dua yang disebut dengan Cetana dan Acetana. Cetana adalah unsur kesadaran. Acetana adalah unsur ketidaksadaran. Kedua unsur ini bersifat halus dan menjadi sumber segala yang ada. Cetana itu ada tiga jenisnya yaitu Paramasiwa Tattwa, Sadasiwa Tattwa dan Siwatma Tattwa yang disebut Cetana To1u, tiga tingkatan kesadaran. Ketiganya tidak lain adalah Sanghyang Widhi sendiri yang telah berbeda tingkat kesadarannya. Paramasiwa memiliki tingkat kesadaran tertinggi, Sadasiwa menengah dan Siwatman terendah. Tinggi rendahnya tingkat kesadaran itu tergantung pada kuat tidaknya pengaruh Maya. Paramasiwa bebas dari pengaruh Maya. Sadasiwa mendapat pengaruh sedang-sedang saja. Sedangkan Siwatma mendapat pengaruh paling kuat. Sanghyang Widhi Paramasiwa adalah kesadaran tertinggi yang sama sekali tidak terjamah oleh belenggu Maya, karena itu Ia disebut "Nirguna Brahman". Ia adalah perwujudan sepi, suci murni, kekal abadi, tanpa aktivitas.
Paramasiwa kemudian kesadarannya mulai tersentuh oleh Maya. Pada saat seperti itu, Ia mulai terpengaruh oleh Sakti, guna dan swabhawa yang merupakan hukum kemahakuasaan Sanghyang Widhi Sadaaiwa. Ia memiliki kekuatan untuk memenuhi segala kehendaknya yang disimbulkan dengan bunga teratai yang merupakan sthanaNya. Ia digambarkan sebagai perwujudan mantra yang disimbulkan dengan aksara AUM (OM) dengan Iswara (I) sebagai kepala, Tatpurusa sebagai muka (TA), Aghora (A) sebagai hati, Bamadewa (BA) sebagai alai-alai rahasia, Sadyojata (SA) sebagai badan. Dewa sakti, guna dan swabhawanya, Ia aktif dengan segala ciptaan-ciptaanNya. Karena itu, Ia desebut "Saguna Brahman".
            Pada tingkatan Siwatma Tattwa, Sakti, guna dan swabhawaNya sudah berkurang karena sudah dipengaruhi oleh Maya. Karena itu, Siwatma Tattwa disebut juga Mayasira Tattwa. Berdasarkan tingkat pengaruh maya terhadap Siwatma Tattwa, Siwatma Tattwa itu dibedakan atas delapan tingkatan yang disebut "Astawidyasana". Bilamana pengaruh mdya sudah demikian besarnya terhadap Siwatma menyebabkan kesadaran aslinya hilang dan sifatnya menjadi "awidya". Dan apabila kesadarannya terpecah-pecah dan menjiwai semua makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia, maka is disebut Atma atau Jiwatma.
            Meskipun Atma merupakan bagian dari Sanghyang Widhi (SIWA), namun karena adanya belenggu awidya yang ditimbulkan oleh pengaruh mays (Pradhdna Tattwa), maka la tidak lagi menyadari asalnya. Hal ini menyebabkan atma ads dalam lingkungan sorga¬neraka-samsara secara berulang-ulang. Atma akan dapat bersatu kembali kepada asalnya, apabila semua selaras dengan ajaran Catur hwarya, Panca Yama Brata, Panca Niyama Brata dan Astasiddhi. Bilamana dalam segala karmanya bertentangan dengan ajaran-ajaran tadi, maka atma akan tetap berada dalam lingkaran samsara, reinkarnasi.
            Bentuk atau wujud reinkarnasi atma sangat banyak tergantung karma wasandilya atma pada saat penjelmaannya terdahulu. Salah satu bentuk reinkarnasi itu adalah sebagai "sthawara janggama" yang disebutkan sebagai penjelmaan yang paling jelek.- Bentuk reinkarnasi seperti itu adalah suatu penderitaan luar biasa yang harus dihadiri.
Untuk mengakhiri lingkaran samsara ini, Wrhaspatitattwa mengajarkan agar setiap orang menyadari hakekat Ketuhanan dalam dirinya. Hal ini dapat dilakukan dengan :
1.         mempelajari segala tattwa (jnanabhyudreka),
2.         tidak tenggelam dalam kesenangan hawa nafsu (indriya¬yogamarga),
3.         tidak terikat pads pahala-pahala perbuatan balk atau buruk   (trsnadosaksaya)
Lain daripada itu, Wrhaspati Tattwa jugs mengajukan jalan lain untuk mencapai Sanghyang Wisesa yaitu dengan selalu memusatkan pikiran pads Dia (yoga) melalui enam tahapannya yang disebut sadanggayoga. Yoga didasari dan dibangun oleh dasasila, sepuluh prilaku yang baik.

3.3.      Ganapati Tattwa
            Ganapati Tattwa menggunakan bahasa Jawa Kuna yang kadang-kadang diselingi dengan Bahasa Sansekerta. Penyampaian ajarannya menggunakan dialog atau percakapan sebagaimana ditemukan dalam Bhuwanakosa, Wrhaspati tattwa, Sanghyang Mahajnana dan sebagainya. Tokoh yang ditampilkan dalam Ganapati Tattwa adalah Bhatara Siwa sebagai mahaguru yang memberikan pelajaran tentang hal-hal yang berhubungan dengan rohani yang bersifat abstrak dan rahasia. Sedangkan Bhatara Gana yang disebut pula Sanghyang Ganapati atau Sanghyang Ganadipa berperan sebagai penanya yang ingin mengetahui ajaran tentang kebenaran terutama menyangkut sumber ciptaan yang ada Beserta proses kembalinya kepada sumber asalnya.
            Pada awal mulanya dilukiskan tidak ada apa-apa. Tidak ada bumi, tidak ada langit, tidak ada sunia, tidak ada ilmu pengetahuan dan sebagainya. Yang ada hanyalah Tuhan Yang Maha Esa dalam keadaan nirguna, Sukha Acintya yaitu berkeadaan maha bahagia yang tidak terpikirkan. Kemudian terjadilah evolusi dari Sanghyang Sukha Acintya muncullah Sanghyang Rana Wigesa yaitu pengetahuan yang mulia. Ia berbadankan alam semesta, tetapi tidak ternoda, tak terpengaruhi oleh apapun, tak terjangkau karena Ia berkeadaan wisesa, Maha Kuasa. Ia disebut juga Sanghyang Jagat Karana, karena memiliki ilmu pengetahuan yang mahakuasa dan sebagai penyebab dunia atau alam semesta dengan segala isinya. Di sinilah Ia menampilkan diriNya dalam aspek saguna.
            Kemudian timbul keinginan beliau untuk menyaksikan keadaanNya sendiri yang berkeadaan sekala-niskala, itulah sebabnya beliau menciptakan yang berkeadaan nyata (paras) dan yang berkeadaan tidak nyata (para) dan sunia sebagai bayanganNya sendiri. Sanghyang Jagat Karana bersemayam dalam sunia. Dari sanalah Beliau mengadakan ciptaan-ciptaanNya selanjutnya secara berturut-turut, seperti : Ongkara Suddha, suara, Windu Prana Suci yang di dalamnya terdapat Nada Prana Jnana Suddha. Dari Windu lahir Panca Dewata atau Panca Dewa Atma yaitu Brahma, Wisnu, Rudra, Igwara dan Sanghyang Sadasiwa, yang akan menjadi sumber ciptaan selanjutnya.

            Dari kelima dewa tersebut, maka Brahma, Wisnu dan Siwalah yang dipandang sebagai badan perwujudan Tuhan itu sendiri. Sedangkan Tuhan Yang Maha Esa (Bawa) yang tidak terpikirkan dan acintya dilukiskan berada dalam batin atau hati yang suci yang disebut “sahyalaya". Untuk memuja beliau yang sangat gaib adalah dengan mempergunakan empat belas aksara suci (catur dagdksara) yaitu : Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, Yang, Ang, Ung, Mang, Ong.
            Ganapati Tattwa mengajarkan tentang hakekat alam semesta, di mana diciptakan oleh Panca Dewata dari unsur yang paling halus sampai dengan tingkat yang mempunyai wujud nyata. Pertama-tama yang diciptakan adalah Panca Tanmatra, yaitu dari Brahma lahir gandha tanmatra dari Wisnu lahir rasa tanmatra dari Rudra lahir rupa tanmatra dari Iswara lahir sparsa tamnatra dan dari Sadasiwa lahir sabda tanmatra. Kemudian kelima tanmatra itu berkembang ke dalam wujud yang sedikit lebih konkrit, seperti : Sabda tanmatra menjadi akasa berwarna bersih dan bening, Sparsa tanmatra menjadi bayu yang berwarna putih, Rupa tanmatra menjadi teja, berwarna putih, merah dan hitam, Rasa tanmatra menjadi apah, berwarna hitam gandha tanmatra menjadi pertiwi, berwarna kuning. Pada tahap perkembangan selanjutnya barulah sampai pads tingkatan yang mempunyai bentuk nyata, seperti : dari pertiwi lahir bumi atau tanah, dari teja lahir matahari, bulan dan bintang dari apah lahir air, dari bayu lahir angin, dari akasa lahir suara.
            Setelah alam semesta itu tercipta, kemudian tumbuhlah semua jenis tumbuh-tumbuhan dan semua jenis binatang. Dan Panca Dewata berperan sebagai penjaganya. Brahma bertempat diselatan menjaga bumi, Wisnu di utara menjaga air, Rudra di barat menjaga matahari, bulan dan bintang, Iswara di timur menjaga udara, Sadasiwa di tengah menjaga ether. Demikianlah proses penciptaan bhuwana agung (alam semesta) oleh Panca Dewata. Proses penciptaan bhuwana alit tidak jauh berbeda dengan penciptaan bhuwana agung, sama-sama diciptakan panca Dewata.
1.         Brahma danWisnu menciptakan tubuh dengan sarana tanah dan air
2.         Rudra menciptakan mata dari teja
3.         Iswara menciptakan nafas dari bayu
4.         Sadasiwa menciptakan suara dari akasa
            Setelah itu terbentuk barulah atma menjelma dalam kehidupan manusia. Dan Panca Dewata pun mulai menempati bagian-bagian tubuh untuk menjaganya dan menumbuhkan kesadaran dan menjiwai bagian-bagian tubuh tersebut.
1.         Brahma menempati muladara
2.         Wisnu menempati nabhi (pusar)
3.         Rudra menempati hati
4.         Iswara menempati leher
5.         Sadasiwa menempati ujung lidah
            Dalam proses perkembangan manusia selanjutnya, manusia berperan sebagai alat melalui sanggama. Sedangkan yang menjadi benih manusia disebut riipa suksma yang berkeadaan abstrak dan gaib. Rupa suksma ini menjadi sukla yang mempunyai warna seperti manik putih kekuning-kuningan. Sedangkan swanita keluar dari Pradhana Tattwa. Keduanya kemudian bercampur dalam rahim si ibu. Di sanalah is terbentuk dan berkembang sehingga mencapai wujud yang sebenarnya. Tahap-tahap perkembangannya dilukiskan sebagai berikut :
1.         umur satu bulan rupanya seperti buih
2.         umur 3 bulan berwujud gumpalan darah
3.         umur 4 bulan menjadi Siwalingga, berlubang di bagian tengahnya berisi      Ongkara dan   suksma rupa
4.         umur lima bulan menjadi Maya Reka
5.         umur enam bulan menjadi seperti api
6.         umur bulan ketujuh menjadi seperti ulat dalam kepompong yang disebut     gading.
7.         pads umur kedelapan menjadi anak gading yang disertai dengan nafas        yang keluar dari          Ongkara, juga tulang, kuku dan rambut
8.         umur sepuluh bulan si jabang bayi keluar dari perut ibu.
            Yang menghidupi dari janin sampai menjelang kematian berbeda-beda namanya sesuai dengan tingkat perkembangannya namun sesungguhnya hakekatnya adalah sama. Ketika masih dalam rahim dijiwai oleh Suksma Rupa. Setelah sepuluh bulan dijiwai oleh Sunia. Setelah lahir dijiwai oleh Nirwana. Setelah bisa menyebut nama ibu-ayah dihidupi oleh hwa. Setelah dewasa dihidupi oleh Atma. Pada saat kematian terjadi pengembalian secara berjenjang, seperti : atma kembali pada jiwa; jiwa kembali pada nirwana; nirwana kembali pada sunia, sunia lenyap menjadi suksma terus kembali pada Sanghyang Ngamutmonga, dan Sanghyang Ngamutmonga kembali kepada Niskala, yang merupakan tujuan tertinggi.
            Tujuan dari kelahiran adalah untuk bersatunya kembali atma kepada sumbernya, tidak terlahirkan kembali. Untuk itu Ganapati Tattwa memperkenalkan enam jenis yoga yang disebut dengan Sad Angga Yoga. Seorang yogi dalam melaksanakan pemujaan melalui yoganya, ia mewujudkan Swalingga (atmalingga) dalam dirinya, di samping pars lingga yang ada di luar dirinya. Dan tubuh sendiri dipandang sebagai kahyangan dewata, sebagai sadhana untuk mencapai kelepasan.
            Pada saat atma meninggalkan tubuh, jalan terbaik adalah melalui sela-sela pikiran, sehingga atma mencapai tujuan tertinggi. Ada dua kemungkinan yang akan dicapai dalam kelepasan yaitu :
1.         Mungkin akan mencapai Sadhudhranti yang akan mengantarkan pada         kamoksan, apabila       petunjuk-petunjuk yang telah diberikan             dilaksanakan dengan teguh. Di sini atma tidak akan terlahirkan        kembali.
2.         Mungkin akan mencapai Wyudhbhranti, yang akan mengantarkan pada      kelahiran kembali, bila semua petunjuk tidak dilaksanakan dengan teguh.
            Kelepasan atau kamoksan adalah ajaran kerohanian yang sangat tinggi dan bersifat sangat abstrak. Karena itu ia harus dipahami melalui pengamalan terhadap Sanghyang Bheda Juana dengan baik, adanya keyakinan terhadap ajaran tersebut, mampu mengendalikan          indriya, patuh dan bakti kepada guru, teguh dan tekun melaksanakan ajaran dharma, Berta berlaku suci lahir  basin sebagai landasan  hidupnya. Itulah yang akan mengantarkan seseorang pada pencapaian kelepasan atau kamoksan.
3.4.      Sanghyang Mahajnana
            Sanghyang Mahajfidna terdiri atas 87 pasal menggunakan bahasa Sanskerta dan bahasa Jawa Kuna. Bahasa Sanskertanya disusun dalam bentuk sloka dan bahasa Jawa Kunanya disusun dalam bentuk bebas (gancaran) yang dimaksudkan sebagai terjemahan/penjelasan bahasa Sanskertanya. Sanghyang Manajnana mengandung ajaran yang bersifat Siwaistik yang pada intinya mengajarkan mengenai cara untuk mencapai kelepasan, bersatu dengan Sang Pencipta yaitu Bhatara Siwa. Ajarannya disampaikan dalam bentuk dialog, tanya jawab.
            Tokoh yang ditampilkan adalah Bhatara Guru dan Sang Kumdra. Bhatara Guru berperan sebagai guru rohani yang menjelaskan ajaran tentang Bhatara Siwa. Sedangkan Sang Kumara berperan sebagai siswa kehormatan yang selalu bertanya kepada Bhatara Guru mengenai hakekat tertinggi tentang Bhatara Siwa. Oleh karena inti ajarannya adalah tentang kelepasan, maka didalam menjelaskan ajarannya, Sanghyang Mahajnana mengungkap rahasia diri manusia dalam hubungannya dengan dewa¬dewa dan semesta alam. Di mana hal tersebut mutlak harus diketahui bila seseorang menginginkan kelepasan (ika to kawruhana de sang mahyun kalepasan).
            Di dalam Sanghyang Mahajnana dijelaskan bahwa sepuluh indriya (dasendriya) yang ada dalam diri manusia bersifat tidur, tidak ada gerak, diam. Sedangkan lima unsur tenaga hidup (pancawayu) dan teja memiliki sifat jags, penuh dengan gerak. Pradhana dilukiskan sebagai malam hari, purusa sebagai matahari yang terbit di malam hari, sedangkan atma dilukiskan sebagai kebijaksanaan.
            Pradhana juga dilukiskan sebagai seorang anak laki-laki, Triguna sebagai anak yang tiga orang. Intelek dan pikiran dilukiskan sebagai gala yang dua buah. Dasendriya diibaratkan sebagai sepuluh ekor lembu. Sedangkan pangkalnya hari dan jantung dilukiskan sebagai sawah. Prakerti dilukiskan sebagai ibu; Purusa adalah bapak dharma, dan adharma adalah dua orang pencuri, intelek dan pikiran adalah brahmana yang dua orang. Dasendriya sebagai keraton dan badan sebagai benua (pulau).
            Badan diibaratkan sebagai angkasa; pikiran sebagai bunga; Ongkara sebagai api dalam air; dasendriya sebagai pasmapis punggungnya; dan semua otot diibaratkan sebagai sungai. Pradhana adalah malam hari ; Purusa adalah mata hari yang muncul di malam hari; Sanghyang Atma adalah kebijaksanaan. Badan panca mahabhuta adalah malam hari; dasendriya adalah matahari yang dianggap sebagai kesadaran atma. Dasendriya adalah kereta; Purusa adalah sais; dharma dan adharma sebagai tali kekang; Pradhana sebagai badannya kereta. Wisnu sebagai kereta; Brahma sebagai kerbau; Iwara sebagai sais, Siwa berada di tengahnya kereta sebagai jiwa semuanya. Sanghyang Mahajnana juga memaparkan rahasia diri manusia terkait dengan alam, dewa-dewa, letaknya alam tubuh, warna dan sebagainya seperti berikut :
1. Pusar warnanya putih, alamnya jagrapada, dewanya brahma.
2. Hati warnanya seperti matahari, alamnya Swanapada, dan dewanya Wisnu.
3. Pangkal hati, warnanya seperti bulan, alamnya susuptapada, dan dewanya    Rudra.
4. Pangkal kerongkongan, warnanya Kristal, alamnya Turyapada, dan dewanya Maheswara.
5. Dahi, warnanya Seperti perak, alamnya Turyantapada, dan dewanya   Mahadewa.
6.  Paha, warnanya Seperti emas, alamnya Kewalyapada, dan dewanya hana.
7. Kepala, warnanya Tak tentu, alamnya Paramakewalya, dan dewanya Paramasiwa.
            Alam paramakewalya yang merupakan stana Paramasiwa adalah tujuan setiap orang yang menginginkan kebebasan dari proses tumimbal lahir (maya kajanma sangsara) setelah mengalami kematian. Karena la adalah inti dari kelepasan. Untuk dapat mencapai alam itu, maka seseorang (yogi) hendaknya mempersembahkan semua keinginannya, kemarahannya, kelobaannya, keirihatiannya kepada Bhatara Brahma yang akan dibakar dengan api Sanghyang Ongkara, sehingga terbebas dari segala mala. Kemudian mengadakan pemusatan pikiran yang tiada henti-hentinya kepada Bhatara Siwa melalui swalingga atau atmalingga dan perwujudan lingga yang ada di luar diri dengan sarana mantra "Ong Sa Ba Ta A I" atau "Ong namah Siwa ya". Pada natiannya akan sampai kepadanya.
3.5.      Tattwajnana
            Tattwajnana menggunakan bahasa Jawa Kuna yang disusun dalam bentuk bebas (gancaran). Sebagai kitab Tattwa disebutkan bahwa Tattwajnana merupakan "dasar semua Tattwa (bungkahing tattwa kabeh). Pemahaman Tattwajnana secara baik akan memberikan pahala yang luar biasa seperti "memahami betapa menderitanya menjelma dan (mengetahui jalan) untuk kembali pads asal mula", sehingga lepas dari proses kelahiran sebagai manusia (luputeng Janina sangsara).
Tattwajnana dalam menjelaskan ajarannya dimulai dengan memaparkan dua unsur universal yang ada di alam raya ini yaitu Cetana dan Acetana.
            Cetana adalah unsur kesadaran (consciousness) yang disebut dengan Siwatattwa yang memiliki sifat Autur prawa". Sedangkan Acetana adalah unsur ketidaksadaran (unconsciousness) yang disebut Mayatattwa yang memiliki sifat lupa, tan pajnana, tan pacetana. Cetana atau Siwatattwa ada tiga tingkatannya yaitu Paramasiwatattwa, Sadasiwatattwa dan Atmikatattwa.
            Paramasiwatattwa adalah Bhatara Siwa dalam keadaan tanpa bentuk (kasthityan bhatara ring niskala) yang tidak tersentuh oleh apapun. Sadasiwatattwa adalah Bhatara Siwa yang sudah mulai tersentuh oleh sarwajiia, sarwakaryakarta, cadusakti dan jnanasakti. Ia disebut Bhatara Adipramana, Bhatara Jagatnatha, Bhatara Karana, Bhatara Parameswara, Bhatara Guru, Bhatara Mahulun, Bhatara Wasawasitwa. Ia berkuasa untuk mengadakan dan meniadakan, tetapi Ia sendiri tidak diciptakan. Atmikatattwa adalah Sadasiwatattwa yang "utaprota" dalam Mayatattwa (Acetana). Uta artinya la berada secara gaib dalam       Mayatattwa bagaikan api dalam kayu. Prota artinya Ia berkeadaan bagaikan permata bening cemerlang dalam Mayatattwa. Tetapi karena dibungkus oleh warna merah Mayatattwa menyebabkan sifat sarwaisidhi, sarwakaryakarta, cadusakti, jnanasaktiNya menjadi hilang. Karena itu disebut Atmikatattwa, Atma Wisesa, atau Bhatara Dharma yang menjadi roh semua yang ada tanpa pilih kasih, bagaikan matahari secara adil memberikan sinarnya kepada semua yang ada.
            Karena ada keinginan untuk melihat "wastu sakala", maka dipertemukanlah Atma dengan Pradhanatattwa (anak dari Mayatattwa). Atma perwujudan tutur (kesadaran) dan Pradhdna perwujudan lupa (ketidaksadaran). Bertemunya tutur dengan lupa disebut Pradhanapurusa. Pada saat pertemuannya itu melahirkan citta dan guna. Citta lahir dari Purusa, guna lahir dari Pradhana. Guna ada tiga perinciannya yaitu : Sattwa, rajah dan tamah. Ketiganya disebut Triguna. Guna ini berpengaruh terhadap citta sehingga disebut citta sattwa, citta rajah dan citta tamah.
            Guna sangat berpengaruh terhadap sifat seseorang, satu sama lain berbeda tergantung pada kadar guna yang ada pada diri seseorang. Bila sattwa dominan pada citta akan menimbulkan sifat¬sifat yang balk, tabu salah dan benar yang clapat mengantar seseorang pada kamoksan. Bila rajah dominan pada citta akan menimbulkan sifat-sifat yang kurang baik. Namun bila rajah bertemu dengan sattwa akan menyebabkan mencapai sorga. Bila sattwa, rajah dan tamah sama-sama dominan menyebabkan terlahirkan sebagai manusia.
            Pada saat Triguna bertemu dengan citta, maka lahirlah Budhi clan dari budhi lahir ahangkara. Ahangkara dibedakan menjadi tiga yaitu : ahangkara walkreta, taijasa dan bhutadi. Ahangkdra waikreta mengadakan manah dan dasendrya (pancendriya dan panca karmendriya). Ahangkara bhutadi mengadakan pancatanmatra. Dari pancatanmatra lahir pancamahabhuta. Sedangkan ahangkdra taijasa membantu kerja ahangkara walkreta dan bhutadi. Bercampurnya pancamaliahmita dengan guna melahirkan andhabhuwana, seperti saptaloka (alam atas) dan sapta patala (alam bawah), Bhatara Siwa menyusupi alam semesta, kemudian dengan kriya saktinya manusia diciptakan. Ketika atma berhubungan dengan ahamkara menimbulkan pancatanmatra, pancamahabhuta dan manah. Dihubungkannya atma dengan manah menyebabkan atma dibedakan menjadi lima yang disebut dengan panca atma.
            Seseorang yang ditempati oleh bhatara Siwa akan memiliki "atma wisesa". Berbeda dengan binatang, tidak memiliki "dtma wisesa". la hanya memiliki bayu, sabda idep. Hal itu juga ada pada manusia dan diberikan kesadaran oleh atma dalam kadar yang berbeda-beda tergantung pada subha-asubha karmanya. Atma yang berada di alam jagra dan Wirya lepas dari pengaruh subha-asubha karma itu. Sedangkan atma yang berada di alam susupta terkena pengaruh subha-asubha karma sehingga harus mengalami proses kelahiraan karena selalu diombang-ambingkan oleh pikiran.
            Alam sunya dan mayarita sulit dijangkau oleh pikiran karena kehalusannya, tetapi dapat ditentukan melalui tri pramana. Alam mayanta hanya dapat dibayangkan dengan agama pramana. Tubuh manusia dibangun oleh intisari zat makanan yang disebut sadrasa. Pada dasarnya tubuh ini dibangun oleh pancamahabhuta. Tubuh ini disebut dengan bhuwana alit, alam kecil, yang sebenarnya merupakan tiruan dari bhuwana agung, alam besar. Karena itu, sapta bhuwana, sapta patala, sapta parwata, sapta arnawa, sapta dwipa, dalam bhuwana agung ditemukan pula pada bagian-bagian tubuh manusia. Sungai-sungai dalam bhuwana agung diwujudkan dengan nadi dalam tubuh yang jumlahnya sangat banyak. Dalam tubuh juga terdapat wayu yang merupakan tenaga penggerak tubuh. Dan kesemuanya itu dihidupi oleh atma. Tubuh ini didiami oleh atma, juga dewa-dewa menempati bagian-bagian tubuh manusia, seperti : Brahma menempati hatl,. Wisnu menempati empedu, dan Iswara menempati jantung, dan sebagainya. Pancaresi, dewaresi, saptaresi, para dewata, gandarwa, pisaca turut pula menempati tubuh manusia. Kesemuanya itu turut memberi warna sifat-sifat manusia.
            Pradhanatattwa adalah badan atma pada tubuh manusia yang disebut dengan amba. Sedangkan tubuh itu sendiri disebut dengan angga. Bersatunya angga dengan amba disebut anggapradhana. Ambalah yang menimbulkan suka-duka, baik-buruk. Ambalah penikmat semua obyek keindahan melalui dasendryia. Karena itu, dasendriya harus ditarik dari obyeknya dengan mengembalikannya kepada amba. Amba dikembalikan kepada pramana. Pramana kedalam dharmawisesa. Dharmawisesa ke dalam untawisesa. Antawisesa ke dalam anantawisesa.
            Untuk mengembalikan kepada anantawisesa Tattwajnana mengajukan jalan prayogasandhi yaitu asana, pranayama, pratyahara, dharana, dhydna, tarka dan samadhi. Prayogasandhi akan dapat dilaksanakan apabila dituntun oleh samyasjnana (pengetahuan yang benar). Samyasjnana diperoleh melalui bhumi brata, tapa, yoga dan samadhi. Kesemuanya itu akan mempertajam panah prayogasandhi dan mengarahkannya pada sasaran secara tepat. Dengan bebasnya atma dari semua selubung hitam warna¬warna Mayatattwa, maka pada saat berpisahnya Ia dari pancamahabhuta akan kembali pada sumber asalnya (mantuka ri sangkanya), Bhatara Paramasiwa.
3.6.      Jnanasiddhanta
            Ajarannya menggunakan bahasa Sanskerta dan bahasa Jawa Kuna. Kitab ini terdiri atas 27 bab yang mencakup suatu bidang ajaran yang sangat luas yang pada intinya mengandung ajaran tentang kelepasan/moksa, menyatunya alma kepada sumber asalnya. Tuhan dalam Jnanasidhanta disebut Bhatara Siwa. Beliau Maha Esa. Beliau dipahami sebagai kodrat Siwa yang sejati sebagai satu-satunya saja, tidak dua, dan tidak pula tiga. Ia tidak jauh, tidak juga dekat. Ia tidak ada pada permulaan, tengah dan akhir. Ia tidak dapat musnah, maha sempurna, tanpa tubuh, mraj'fidnam, teramat kecil, sukar ditangkap karena sangat halus, tanpa batas, la merupakan kekuasaan tertinggi.
            Ia yang Esa wring dipandang lebih dari satu (aneka), karena bercirikan empat yaitu sthtula, suksma, para dan sunya. Sthula artinya beliau dibayangkan tampak dalam sabdamaya. Sabdamaya artinya dituturkan dalam bentuk mantra. Suksma artinya beliau dibayangkan terjelma dalam citta maya. Citta-maya adalah isi dari pikiran yang terwujud dalam pengetahuan. Para artinya beliau dibayangkan terjelma dalam citta-wirahita. Citta-wirahita artinya ditinggalkan oleh akal budhi. Sunya artinya beliau dipandang sebagai citta-rahitantya, tidak memiliki ciri-ciri apapun.
            Bhatara Siwa adalah sumber semua yang ada termasuk dewa¬dewa dan manusia yang diciptakan melalui pemecahan diri Sanghyang Mahawindu menjadi para dan apara dengan sarana Saktinya yang terdiri atas dasasakti, nawasakti, astasakti, pancasakti, dan trisakti. Tubuh manusia yang diciptakan oleh Bhatara Siwa, digambarkan sebagai sebuah misteri karena sulit dipahami dengan akal. Tubuh manusia boleh dikatakan sebagai tiruan dunia yang besar (bhuwana agung) karena itu disebut bhuwana alit. Dikatakan tiruan dunia yang besar karena apa- yang terdapat di sang ada pula dalam tubuh manusia. Dalam dunia besar ada Sapta Tirtha dalam tubuh ada pula. Demikian pula dalam dunia besar terdapat Sapta Samudra, Sapta Patala juga terdapat dalam tubuh manusia.
            Tubuh manusia disamping digambarkan sebagai tiruan dunia yang besar juga dilukiskan sebagai lambang Om kara. Om kara disebut pula Pranawa, Visva, Ghosa, Ekaksara, Tumburu¬tryaksarangga. Bagian tubuh yang melambangkan Om kara adalah : Dalam Tubuh Simbul         Tubuh bagian dalam Simbul Dada O kara, Paru-paru O kara, Lengan Ardhacandra, Limpa Ardhacandra, Kepala Vindu, Jantung Vindu,  Rambut Nada, Empedu Nada, Ati Matra.
            Tubuh manusia juga ditempati oleh dewa-dewa. Juga terdapat tenaga penggerak tubuh yang disebut wayu. Tubuh ini juga dipenuhi oleh nadi yang berfungsi sebagai jalan pendakian atma menuju ubun-ubun dan perjalan prana dalam tubuh. Nadi adalah lambang sungai yang ada di alam besar. Itulah gambaran tentang rahasia diri manusia yang mutlak harus dikenal oleh seseorang yang menginginkan kelepasan. Dalam kelepasan semuanya akan kembali kepada Bhatara Siwa (surud ri sira), karena Beliau adalah pencipta semua yang ada ini (dadi sakeng bhatara Siwa ika).
            Untuk memperoleh kelepasan seseorang dapat melaksanakan yoga melalui enam tahapannya (sadanggayoga). Keenam tahapan itu ialah pratyahara, dhyana, pranayama, dharana, tarka dan samadhi. Dalam melaksanakan yoga, maka la harus mewujudkan Atmalingga dalam dirinya. Atmalingga adalah mewujudkan Sanghyang Ongkara dan Tri Aksara dalam diri berstana dalam batin.
Dalam meditasi ada tujuh hal yang harus diperhatikan yaitu :
1.         Semua tingkah laku dipusatkan kepada Bhatara Siwa
2.         Batin dipusatkan pada Bhatara Siwa
3.         Pendengaran dipusatkan pada Bhatara Siwa
4.         Penglihatan dipusatkan pada Bhatara Siwa
5.         Kata-kata dipusatkan pada Bhatara Siwa
6.         Jadikan kedipan mata itu kepada Bhatara Siwa
7.         Jadikanlah Bhatara Siwa sebagai nafasmu.
            Ketujuh pemusatan pikiran ini disebut Sapta-buddhyanggamarga. Apabila ketujuh itu berhasil ditunggalkan maka disebut ekatara parama (ketunggalan tertinggi). Pada saat ketunggalan tertinggi terjadi, maka tidak ada lagi yang dirasakan, yang ada hanyalah rasa-wiksa, wulat-wlksa, wulah-wisesa. Bila itu sudah terjadi maka tercapailah keIepasan itu. Ada tiga jalan utama yang dapat ditempuh pada saat terjadi peleburan. Ketiga jalan itu ialah melalui ubun-ubun (nistha), ujung hidung (madhya), dan mulut (uttama). Ketiga jalan itu menyebabkan tidak akan dilahirkan lagi sebagai manusia. Menyatu kepada Sang Pencipta.
           


Ditulis Oleh : Unknown // 4:06 AM
Kategori:

0 komentar:

 

Followers