Pendahuluan
Ajaran Agama Hindu yang dianut sebagai warisan nenek moyang di Bali adalah ajaran Siwa Siddhanta yang kadang - kadang juga disebut Sridanta. Siddhanta artinya akhir dari sesuatu yang telah dicapai, yang maksudnya adalah sebuah kesimpulan dari ajaran yang sudah mapan. Ajaran ini merupakan hasil dari akulturasi dari banyak ajaran Agama Hindu. Didalamnya kita temukan ajaran Weda, Upanisad, Dharmasastra, Darsana (terutama Samkya Yoga), Purana dan Tantra. Ajaran dari sumber - sumber tersebut berpadu dalam ajaran Tattwa yang menjadi jiwa atau intisari Agama Hindu di Bali.
Dalam
realisasinya, tata pelaksanaan kehidupan umat beragama di Bali juga menampakkan
perpaduan dari unsur - unsur kepercayaan nenek moyang. Wariga, Rerainan (hari raya)
dan Upakara sebagian besarnya merupakan warisan nenek moyang. Warisan ini telah
demikian berpadu serasi dengan ajaran Agama Hindu sehingga merupakan sebuah
satu kesatuan yang bulat dan utuh. Dengan demikian, Agama Hindu di Bali
mempunyai sifat yang khas sesuai dengan kebutuhan rohani orang Bali dari jaman
dahulu hingga sekarang.
Di masa sekarang ini, warisan Agama yang adhiluhung tersebut perlu kita jaga, rawat dan menyempurnakan pemahaman kita sehingga tetap bisa memenuhi kebutuhan jiwa keagamaan umatnya.
Di masa sekarang ini, warisan Agama yang adhiluhung tersebut perlu kita jaga, rawat dan menyempurnakan pemahaman kita sehingga tetap bisa memenuhi kebutuhan jiwa keagamaan umatnya.
1. Sumber - Sumber Ajaran
Walaupun sumber - sumber ajaran Agama Hindu di Bali berasal dari kitab - kitab berbahasa Sansekerta, namun sumber - sumber tua yang kita warisi kebanyakan ditulis dalam dua bahasa yaitu Bahasa sansekerta dan Bahasa Jawa Kuno. Kitab yang di tulis dalam bahasa Sansekerta umumnya adalah kitab Puja, namun bahasa Sansekerta yang digunakan adalah bahasa Sansekerta kepulauan khas Indonesia yang sedikit berbeda denga bahasa Sansekerta versi India. Sedangkan kitab - kitab yang ditulis dalam bahsa jawa kuno antara lain Bhuwanakosa, Jnana Siddhanta, Tattwa Jnana, Wrhaspati tatwa dan Sarasamuscaya. Kitab Bhuwanakosa, Jnana Siddhanta, Tattwa Jnana dan Wrhaspati Tattwa adalah kitab - kitab yang Tattwa yang mengajarkan Siwa Tattwa yang mana juga kitab - kitab ini menjadi unsur dari isi Puja. Sedangkan Sarasamuscaya adalah kitab yang mengajarkan susila, etika dan tingkah laku.
Disamping itu juga terdapat banyak lontar - lontar indik yang menjadi rujukan pelaksanaan kehidupan umat beragama dan bermasyarakat di Bali seperti lontar Wariga, lontar tentang pertanian, pertukangan, organisasi sosial dan yang lainnya. Disamping itu juga terdapat kitab - kitab Itihasa dan gubahan - gubahan yang berasal dari purana, seperti Parwa ( kisah Maha Bharata), Kanda (Ramayana) dan juga kekawin - kekawin yang menjadi alat pendidikan dan pedoman dalam bertingkah laku bagi masyarakat. Itihasa dan juga purana juga menjadi sumber dalam kehidupan berkesenian di Bali terutama kesenian yang masuk kategori Wali atau sakral, seperti wayang, topeng, calonarang dan yang lainnya, yang mana pementasan kesenian tersebut umumnya mengangakat tema cerita yang berasala dari Itihasa, purana atau kekawin. Tidak semua pelaksanaan kehidupan beragama di Bali yang dapat dirujuk kedalam sumber - sumber ajaran sastra agama, yang dikarenakan Agama Hindu di Bali begitu menyatu dengan Budaya, adat, seni dan segala aspek kehidupan orang Bali, sehingga banyak warisan budaya para leluhur orang Bali yang tetap diwariskan turun - temurun dan menjadi satu keatuan denga Agama Hindu di Bali.
2. Pokok
- Pokok Ajaran
Ajaran
Siwa Siddhanta di Bali terdiri dari tiga kerangka utama yaitu Tattwa, Susila
dan Upacara keagamaan. Tatwa atau filosofi yang mendasarinya adalah ajaran Siwa
Tattwa. Di dalan Siwa Tattwa, Sang Hyang Widhi adalah Ida Bhatara Siwa. Dalam
lontar Jnana Siddhanta dinyatakan bahwa Ida Bhatara Siwa adalah Esa yang
bermanifestasi beraneka menjadi Bhatara - Bhatari.
Sa eko bhagavan sarvah
Siwa karana karanam
Aneko viditah sarwah
Catur vidhasya karanam
Siwa karana karanam
Aneko viditah sarwah
Catur vidhasya karanam
Ekatwanekatwa swalaksana bhatara ekatwa ngaranya
Kahidup makalaksana siwatattwa
Tunggal tan rwatiga kahidep nira
Mangekalaksana siwa karana juga tan paphrabeda
Aneka ngaranya kahidup Bhataramakalaksana caturdha.
Caturdha ngaranya laksananiram stuhla suksma sunya.
Kahidup makalaksana siwatattwa
Tunggal tan rwatiga kahidep nira
Mangekalaksana siwa karana juga tan paphrabeda
Aneka ngaranya kahidup Bhataramakalaksana caturdha.
Caturdha ngaranya laksananiram stuhla suksma sunya.
Artinya:
Sifat Bhatara eka dan aneka. Eka artinya ia dibayangkan bersifat Siwa Tattwa, ia hanya esa tidak dibayangkan dua atau tiga. ia bersifat Esa saja sebagai Siwakarana (Siwa sebagai pencipta), tiada perbedaan. Aneka artinya Bhatara bersifat Caturdha. Caturdha adalah sifatnya, sthula, suksma dan sunia.
Sifat Bhatara eka dan aneka. Eka artinya ia dibayangkan bersifat Siwa Tattwa, ia hanya esa tidak dibayangkan dua atau tiga. ia bersifat Esa saja sebagai Siwakarana (Siwa sebagai pencipta), tiada perbedaan. Aneka artinya Bhatara bersifat Caturdha. Caturdha adalah sifatnya, sthula, suksma dan sunia.
Sumber
- sumber lain yang menyatakan Dia yang Eka dalam Beraneka juga kita temukan
dalam banyak mantra - mantra, diantaranya adalah :
Om namah Sivaya sarva
Dewa-devaya vai namah
Rudraya Bhuvanesaya
Siwa rupaya vai namah
Rudraya Bhuvanesaya
Siwa rupaya vai namah
Artinya:
Sembah bhakti dan hormat kepada Siwa, kepada Sarwa Sembah bhakti dan hormat kepada dewa dewanya Kepada Rudra raja alam semesta Sembah hormat kepada dia yang rupanya manis
Sembah bhakti dan hormat kepada Siwa, kepada Sarwa Sembah bhakti dan hormat kepada dewa dewanya Kepada Rudra raja alam semesta Sembah hormat kepada dia yang rupanya manis
Twam Sivas twam Mahadewa
Isvara Paramesvara
Brahma Visnuca Rudrasca
Purusah Prakhrtis tatha
Isvara Paramesvara
Brahma Visnuca Rudrasca
Purusah Prakhrtis tatha
Artinya :
Engkau adalah Siwa Mahadewa Iswara, Parameswara Brahma, Wisnu dan Rudra Dan
juga sebagai Purusa dan Prakerti.
Tvam kalas tvam yamomrtyur
varunas tvam kverakah
Indrah Suryah Sasangkasca
Graha naksatra tarakah
varunas tvam kverakah
Indrah Suryah Sasangkasca
Graha naksatra tarakah
Artinya:
Engkau adalah Kala, Yama, dan Mrtyu Engkau adalah Varuna, Kubera Indra, Surya dan Bulan Planet, naksatra dan bintang – bintang.
Prthivi salilam tvam hi
Tvam Agnir vayur eva
ca
Akasam tvam palam sunyam
Sakhalam niskalam tatha
Sakhalam niskalam tatha
Artinya:
Engkau adalah Bumu, Air dan juga Api Angkasa dan alam sunia tertinggi Juga yang berwujud dan tak berwujud
Dengan contoh - contoh ini menunjukkan bahwa semua Bhatara - Bhatari itu adalah
Bhatara Siwa sendiri. Bhatara - Bhatari itulah yang dipuja sebagai Ista Dewata.
Banyaknya Ista Dewata yang dipuja akan berkaitan dengan banyaknya Pura dan
Pelinggih, Pengastawa, Rerainan dan Banten. Ista Dewata adalah Bhatara Siwa
yang aktif sebagai Sada Siwa, sedangkan Bhatara Siwa sebagai Parama Siwa
bersifat tidak aktif atau sering disebut Sunia. Dalam manifestasi beliau
sebagai Dewa Brahma, Wisnu dan Iswara yang paling mendominasi pemujaan yang ada
di Bali. Konsep penciptaan, pemeliharaan dan pemrelina menunjukkan Bhatara Siwa
sebagai apa yang sering disebut Sang Hyang Sangkan paraning Numadi, yaitu asal
dan kembalinya semua yang ada dan tidak ada di jagat raya ini.
Salah
satu yang menarik dari keberadaan Bhatara Siwa, ialah Beliau berada dimana -
mana, di seluruh penjuru mata angin dan di pengider - ider. Di timur Ia adalah
Iswara, di tenggara Ia adalah Mahesora, di selatan Ia adalah Brahma, di barat
daya Ia adalah Rudra, di barat Ia adalah Mahadewa, di barat laut Ia adalah
Sangkara, di utara Ia adalah Wisnu, di timur laut Ia adalah Sambhu dan ditengah
Ia adalah Siwa. Sebagai Sang Hyang kala, di timur Ia adalah kala Petak (putih),
di selatan Ia adalah Kala Bang (merah), di barat ia adalah Kala Gading
(Kuning), di utara Ia adalah Kala Ireng (hitam) dan ditengah Ia adalah kala
mancawarna.
Selain
ajaran ke-Tuhanan, ajaran Siwa Siddhanta juga memuat beberapa ajaran
diantaranya ajaran tentang Atma yang sesungguhnya berasal dari Bhatara Siwa dan
akan kembali kepada-Nya juga, ajaran Karma Phala yang berkaitan dengan
Punarbawa atau siklus reinkarnasi, ajaran pelepasan yang berkaitan tentang Yoda
dan Samadhi. Terdapat pula ajaran tata susila yang erat hubungannya dengan
ajaran Karma Phala. Tumpuan dari ajaran tata susila itu adalah Tria Kaya
Parisuddha yaitu Kayika Parisuddha (berbuat yang benar), Wacika Parisuddha
(berbicara yang benar) dan Manacika Parisuddha (berfikir yang benar).
3. Siwa
Siddhanta Dalam Pelaksanaan Kehidupan Beragama di Bali
Ada
relasi antara manusia dengan Tuhan. Relasi ini diwujudkan dalam bentuk bakti
sebagai wujud Prawrti Marga. Tuhan dipuja sebagai saksi agung akan semua
perbuatan manusia di dunia. Tuhan yang memberikan berkah dan hukuman kepada
semua mahluk. Di Bali, bhakti kepada Tuhan direalisasikan dalam berbagai
bentuk. Untuk orang kebanyakan, bhakti diwujudkan dengan sembahyang yang
diiringi dengan upakara. Upakara artinya pelayanan dengan ramah diwujudkan
dengan banten. Upakara termasuk Yajna atau persembahan suci. Baik sembahyang
maupun persembahan Yajna memerlukan tempat pemujaan. Pemangku, Balian Sonteng
dan Sulinggih mengantarkan persembahan umat kepada Tuhan dengan saa, mantra dan
puja. Padewasan dan rerainan memengang peranan penting, yang mana pada semua
ini ajaran sradha kepada Tuhan akan selalu tampak terwujud.
Demikian
juga misalnya saat Bhatara Siwa sebagai Dewata Nawa Sanga diwujudkan dalam
banten caru, belia disimbulkan pada banten Bagia Pula Kerti, beliau dipuja pada
puja Asta Mahabhaya, Nawa Ratna dan pada kidung belia dipuja pada kidung Aji
Kembang. Bhatara Siwa sebagai Panca Dewata dipuja dalam berbagai Puja, Mantra
dan saa, ditulis dalam aksara pada rerajahan dan juga disimbulkan pada alat
upacara serta aspek kehidupan beragama lainnya. Tempat - tempat pemujaan
menunjukkan tempat memuja Bhatara Siwa dalam manifestasi beliau. Belia dipuja
sebagai Siwa Raditya di Padmasana, dipuja sebagai Tri Murti di sanggah, paibon,
Kahyanga Desa dan kahyangan jagat. Pemujaan Tuhan pada berbagai tempat sebagai
Ista Dewata sesuai dengan ajaran Tuhan berada dimana - mana. Demikinalah orang
Bali menyembah Tuhan disemua tempat, di Pura Dalem, Pura Desa, Pura Puseh, Bale
Agung, Pempatan Agung, Peteula, Setra, Segara, Gunung, Sawah, Dapur dan
sebagainya. Disamping itu diberbagai tempat Tuhan dipuja sebagai Dewa yang
"Ngiyangin" atau yang memberkati daerah pada berbagai aspek
kehidupan, seperti Dewa Pasar, Peternakan, Kekayaan, Kesehatan, Kesenian, Ilmu
Pengetahuan dan sebagainya.
Dengan
demikian hampir tidak ada aspek kehidupan orang Bali yang lepas dari Agama
Hindu. Dalam pemujaan ini Tuhan dipuja sebagai Ista Dewata, Dewa yang dimohon
kehadirannya pada pemujaannya, sehingga yang dipuja bukanlah Tuhan yang absolut
sebagai Brahman dalam Upanisad atau Bhatara Siwa sebagai Parama Siwa, namun
Tuhan yang bersifat pribadi yang menjadi junjungan yang disembah oleh
penyembahnya. Ista Dewata ini dipandang sebagai tamu yang dimohon kehadirannya
oleh hambanya pada waktu dipuja untuk menyaksikan sembah bakti umatnya.
Oleh
karena itu Tuhan dipuja sebagai "Hyang" dari aspek - aspek kehidupan
yang rasa kehadiran-Nya sangat dihayati oleh hambanya sama seperti penghayatan
umat terhadapa aspek kehidupan tersebut. Pemujaan dilakuakn dalam suasana,
tempat cara dan bahan yang paling tepat dan paling dihayati oleh para
pemuja-Nya. Terdapat persembahan Banten, pakaian, hiasan yang semuanya
dipersembahkan dengan begitu serasi dengan penghayatan, perasaan dan cita rasa dari
penyembah-Nya sehingga penghayatan menyusup kedalam lubuk hati yang terdalam.
Apapun yang dipersembahkan, maka itu adalah sesuatu yang terbaik menurut para
penyembah-Nya. Akibat dari semua itu adalah adanya variasai dan pelaksanaan hidup
beragama di Bali. Namun inti dari prinsip ajaran agama Hindu adalah sama, yaitu
Tuhan yang ada dimana - mana sama dengan Tuhan Yang Maha Esa yang menampakkan
diri dalam berbagai wujud dan pandangan penyembah-Nya, yang abstrak dihayati
melalui bentuk.
3. Beberapa Sumber Dalam Siwa Tattwa
Penulisan buku Siwa Tattwa ini menggunakan
beberapa sumber lontar seperti : Bhuwana Kosa, Tattwa Jnana, Maha-jnana, Ganapatitattwa,
Wrhaspatitattwa, Jnanasiddhdnta dan beberapa puja yang bercorak monisme.
Lontar-lontar tersebut beberapa di antaranya telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia oleh sebuah tim yang dibiayai oleh Pusat Dokumentasi
Kebudayaan Bali bahkan ada beberapa di antaranya telah diterbitkan oleh Upada
Sastra. Adapun ikhtisar masing-masing lontar tersebut sebagai berikut :
3.1.
Bhuwana Kosa.
Bhuwana Kosa adalah nama salah satu
lontar yang tergolong jenis tatwa atau tutur yang dipandang sebagai lontar
tertua dan sumber lontar-lontar tattwa yang bercorak Siwaistik lainnya, seperti
: Wrhaspatitattwa, Tattwajnana, Mahajnana Ganapatitattwa dan sebagainya. Lontar
ini terdiri atas 11 bab yang disebut dengan patalah dengan jumlah sIoka 487 sloka.
Setiap patalah tidak sama jumlah slokanya.
Dari segi isi secara garis besar
Bhuwana Kosa dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah bagian
Brahmarahasyam yaitu bagian yang berisi percakapan antara Srimuni Bhargawa
dengan Bhatara Siwa tentang Siwa yang bersifat sangat rahasia. Bagian ini
diuraikan dalam 5 patalah yaitu dari patalah I sampai dengan patalah V. Sedangkan
bagian kedua, adalah bagian Rihna-rahasyarn yang berisi percakapan antara
Bhatara Siwa dengan Bhatara Uma dan Sang Kumara tentang pengetahuan untuk
memahami Siwa yang bersifat sangat rahasia. Bagian ini diuraikan dalam 6
patalah yaitu dari patalah VI sampai dengan patalah XI.
Adapun ajarannya dapat dijelaskan
sebagai berikut. Tuhan dalam Bhuwana Kosa disebut Bhatara Siwa. Beliau Maha
Esa, tanpa bentuk, tanpa warna, tak terpikirkan, tak tercampur, tak bergerak,
tak terbatas dan sebagainya. Ia yang tak terbatas digambarkan secara terbatas.
Karena itu, Ia sering disebut dengan nama yang berbeda, seperti : Brahma,
Wisnu, lswara/Rudra sesuai dengan tugas dan fungsinya. Bhawa, Pasupati, Sarwajna,
sesuai dengan tempat yang ditempatinya. Sadyojata, Bhamadewa, Tatpurusa, Aghora
dan hana dalam Pasica Brahma.
Ia bersifat immanen dan transenden.
Immanen artinya Ia meresapi segala, Hadir pada segala termasuk meresap pada
pikiran dan indriya (sira wyapaka). Transenden artinya Ia meliputi segala
tetapi Ia berada di luar batas pikiran dan indriya. Meskipun Ia imanen dan
transenden pada semua makhluk, tetapi Ia tidak dapat dilihat dengan kasat mata,
karena Ia bersifat sangat rahasia, abstrak. Karena kerahasiaannya Ia
digambarkan bagaikan api dalam kayu, minyak dalam santan. Ia ada di mana-mana,
pada semua yang ada ini. Ia tidak tampak, tetapi Ia ada. Sungguh sangat rahasia
adanya.
Ia adalah asal dari semua yang ada
ini (sangkeng bhatara Siwa sangkanya). Alam semesta (bhuwana agung) dengan
segala isinya, dan manusia (bhuwana alit) adalah ciptaanNya juga. Semua ciptaanNya
itu merupakan wujud mayaNya yang bersifat tidak kekal. karena dapat mengalami
kehancuran. Pada saat mengalami kehancuran semua ciptaanNya itu akan kembali
kepadaNya. Karena Ia adalah asal dan tujuan semua yang ada ini (mijil sakeng
sira ling ri sira muwah). Proses penciptaannya terjadi secara bertahap dari
penciptaan Purup yang pertama oleh Bhatara Siwa sampai pada penciptaan yang
terakhir yaitu prthiwi.
Tingkatan-tingkatan alam dalam
Bhuwana Agung bila dihubungkan dengan tubuh manusia (Bhuwana Alit) akan
ditemukan pads bagian-bagian tubuh manusia dari alam yang pa¬ling bawah sampai
dengan yang tertinggi yaitu alam kamoksan. Pada setiap bagian yang merupakan
simbul alam dalam tubuh manusia berstana dews-dews, di mans Sanghyang Parama
Nirbana Siwa adalah Dewa yang tertinggi yang hares dijadikan obyek dalam
kamoksan.
Eksistensi Bhuwana Agung dan Bhuwana
Alit tersebut merupakan pengetahuan tentang rahasia hidup yang sangat rahasia
dan utama. Hal tersebut harus dikuasai sebagai suatu sarana untuk mencapai
kamoksan (Sanghyang Parama Nirbana Siwa).
Untuk memiliki
pengetahuan tersebut tidaklah mudah, is harus dicari dengan tekun dan teliti
dan dengan persyaratan yang berat, seperti :
1. Memiliki kepribadian yang baik
2. Memiliki tata krama
3. Berpikir tenang
4. Tidak minum minuman keras serta
Menjauhi perbuatan nista
6. Guru gurusurusa
7. Tekun menjalankan brata
8. Memiliki pengetahuan tentang Weda dan
sastra lainnya
9. Memiliki keyakinan yang kuat akan
ajaran tersebut
10. Penguasaan ajaran itu yang dapat
dilaksanakan dengan mempelajari secara tekun
dan teliti.
11. Melaksanakan yoga selalu.
3.2.
Wrhaspati Tattwa.
Wrhaspati tattwa terdiri atas 74
pasal menggunakan bahasa Sanskerta dan bahasa Jawa Kuna. Bahasa Sanskertanya
disusun dalam bentuk s1oka dan bahasa Jawa Kunanya disusun dalam bentuk bebas
(gancaran) yang dimaksudkan sebagai terjemahan/ penjelasan bahasa Sanskertanya.
Wrhaspati tattwa berisi dialog antara seorang guru spiritual yaitu Sanghyang Iswara
dengan seorang sisia (murid) spiritual yaitu Bhagawan Wrhaspati. Sanghyang Iwara
berstana di puncak Gunung Kailasa yaitu sebuah puncak Gunung Himalaya yang
dianggap suci. Sedangkan Bhagawan Wrhaspati adalah orang suci yang merupakan
guru dunia (guru loka) yang berkedudukan di sorga. Secara garis besar
ajaran-ajaran yang dijelaskan dalam dialog itu sebagai berikut :
Kenyataan tertinggi itu ada dua yang
disebut dengan Cetana dan Acetana. Cetana adalah unsur kesadaran. Acetana
adalah unsur ketidaksadaran. Kedua unsur ini bersifat halus dan menjadi sumber
segala yang ada. Cetana itu ada tiga jenisnya yaitu Paramasiwa Tattwa, Sadasiwa
Tattwa dan Siwatma Tattwa yang disebut Cetana To1u, tiga tingkatan kesadaran.
Ketiganya tidak lain adalah Sanghyang Widhi sendiri yang telah berbeda tingkat
kesadarannya. Paramasiwa memiliki tingkat kesadaran tertinggi, Sadasiwa
menengah dan Siwatman terendah. Tinggi rendahnya tingkat kesadaran itu
tergantung pada kuat tidaknya pengaruh Maya. Paramasiwa bebas dari pengaruh
Maya. Sadasiwa mendapat pengaruh sedang-sedang saja. Sedangkan Siwatma mendapat
pengaruh paling kuat. Sanghyang Widhi Paramasiwa adalah kesadaran tertinggi
yang sama sekali tidak terjamah oleh belenggu Maya, karena itu Ia disebut
"Nirguna Brahman". Ia adalah perwujudan sepi, suci murni, kekal
abadi, tanpa aktivitas.
Paramasiwa
kemudian kesadarannya mulai tersentuh oleh Maya. Pada saat seperti itu, Ia
mulai terpengaruh oleh Sakti, guna dan swabhawa yang merupakan hukum
kemahakuasaan Sanghyang Widhi Sadaaiwa. Ia memiliki kekuatan untuk memenuhi
segala kehendaknya yang disimbulkan dengan bunga teratai yang merupakan
sthanaNya. Ia digambarkan sebagai perwujudan mantra yang disimbulkan dengan
aksara AUM (OM) dengan Iswara (I) sebagai kepala, Tatpurusa sebagai muka (TA),
Aghora (A) sebagai hati, Bamadewa (BA) sebagai alai-alai rahasia, Sadyojata
(SA) sebagai badan. Dewa sakti, guna dan swabhawanya, Ia aktif dengan segala
ciptaan-ciptaanNya. Karena itu, Ia desebut "Saguna Brahman".
Pada tingkatan Siwatma Tattwa,
Sakti, guna dan swabhawaNya sudah berkurang karena sudah dipengaruhi oleh Maya.
Karena itu, Siwatma Tattwa disebut juga Mayasira Tattwa. Berdasarkan tingkat
pengaruh maya terhadap Siwatma Tattwa, Siwatma Tattwa itu dibedakan atas
delapan tingkatan yang disebut "Astawidyasana". Bilamana pengaruh
mdya sudah demikian besarnya terhadap Siwatma menyebabkan kesadaran aslinya
hilang dan sifatnya menjadi "awidya". Dan apabila kesadarannya
terpecah-pecah dan menjiwai semua makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia,
maka is disebut Atma atau Jiwatma.
Meskipun Atma merupakan bagian dari
Sanghyang Widhi (SIWA), namun karena adanya belenggu awidya yang ditimbulkan
oleh pengaruh mays (Pradhdna Tattwa), maka la tidak lagi menyadari asalnya. Hal
ini menyebabkan atma ads dalam lingkungan sorga¬neraka-samsara secara
berulang-ulang. Atma akan dapat bersatu kembali kepada asalnya, apabila semua
selaras dengan ajaran Catur hwarya, Panca Yama Brata, Panca Niyama Brata dan Astasiddhi.
Bilamana dalam segala karmanya bertentangan dengan ajaran-ajaran tadi, maka atma
akan tetap berada dalam lingkaran samsara, reinkarnasi.
Bentuk atau wujud reinkarnasi atma
sangat banyak tergantung karma wasandilya atma pada saat penjelmaannya terdahulu.
Salah satu bentuk reinkarnasi itu adalah sebagai "sthawara janggama" yang disebutkan sebagai penjelmaan yang
paling jelek.- Bentuk reinkarnasi seperti itu adalah suatu penderitaan luar
biasa yang harus dihadiri.
Untuk mengakhiri
lingkaran samsara ini, Wrhaspatitattwa mengajarkan agar setiap orang menyadari
hakekat Ketuhanan dalam dirinya. Hal ini dapat dilakukan dengan :
1. mempelajari segala tattwa (jnanabhyudreka),
2. tidak tenggelam dalam kesenangan hawa
nafsu (indriya¬yogamarga),
3. tidak terikat pads pahala-pahala perbuatan
balk atau buruk (trsnadosaksaya)
Lain daripada
itu, Wrhaspati Tattwa jugs mengajukan jalan lain untuk mencapai Sanghyang Wisesa
yaitu dengan selalu memusatkan pikiran pads Dia (yoga) melalui enam tahapannya
yang disebut sadanggayoga. Yoga didasari dan dibangun oleh dasasila, sepuluh
prilaku yang baik.
3.3. Ganapati Tattwa
Ganapati Tattwa menggunakan bahasa
Jawa Kuna yang kadang-kadang diselingi dengan Bahasa Sansekerta. Penyampaian
ajarannya menggunakan dialog atau percakapan sebagaimana ditemukan dalam
Bhuwanakosa, Wrhaspati tattwa, Sanghyang Mahajnana dan sebagainya. Tokoh yang
ditampilkan dalam Ganapati Tattwa adalah Bhatara Siwa sebagai mahaguru yang
memberikan pelajaran tentang hal-hal yang berhubungan dengan rohani yang
bersifat abstrak dan rahasia. Sedangkan Bhatara Gana yang disebut pula
Sanghyang Ganapati atau Sanghyang Ganadipa berperan sebagai penanya yang ingin
mengetahui ajaran tentang kebenaran terutama menyangkut sumber ciptaan yang ada
Beserta proses kembalinya kepada sumber asalnya.
Pada awal mulanya dilukiskan tidak
ada apa-apa. Tidak ada bumi, tidak ada langit, tidak ada sunia, tidak ada ilmu
pengetahuan dan sebagainya. Yang ada hanyalah Tuhan Yang Maha Esa dalam keadaan
nirguna, Sukha Acintya yaitu berkeadaan maha bahagia yang tidak terpikirkan. Kemudian
terjadilah evolusi dari Sanghyang Sukha Acintya muncullah Sanghyang Rana Wigesa
yaitu pengetahuan yang mulia. Ia berbadankan alam semesta, tetapi tidak
ternoda, tak terpengaruhi oleh apapun, tak terjangkau karena Ia berkeadaan wisesa,
Maha Kuasa. Ia disebut juga Sanghyang Jagat Karana, karena memiliki ilmu
pengetahuan yang mahakuasa dan sebagai penyebab dunia atau alam semesta dengan
segala isinya. Di sinilah Ia menampilkan diriNya dalam aspek saguna.
Kemudian timbul keinginan beliau
untuk menyaksikan keadaanNya sendiri yang berkeadaan sekala-niskala, itulah
sebabnya beliau menciptakan yang berkeadaan nyata (paras) dan yang berkeadaan
tidak nyata (para) dan sunia sebagai bayanganNya sendiri. Sanghyang Jagat
Karana bersemayam dalam sunia. Dari sanalah Beliau mengadakan
ciptaan-ciptaanNya selanjutnya secara berturut-turut, seperti : Ongkara Suddha,
suara, Windu Prana Suci yang di dalamnya terdapat Nada Prana Jnana Suddha. Dari
Windu lahir Panca Dewata atau Panca Dewa Atma yaitu Brahma, Wisnu, Rudra,
Igwara dan Sanghyang Sadasiwa, yang akan menjadi sumber ciptaan selanjutnya.
Dari kelima dewa tersebut, maka
Brahma, Wisnu dan Siwalah yang dipandang sebagai badan perwujudan Tuhan itu
sendiri. Sedangkan Tuhan Yang Maha Esa (Bawa) yang tidak terpikirkan dan
acintya dilukiskan berada dalam batin atau hati yang suci yang disebut “sahyalaya".
Untuk memuja beliau yang sangat gaib adalah dengan mempergunakan empat belas
aksara suci (catur dagdksara) yaitu : Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang,
Sing, Wang, Yang, Ang, Ung, Mang, Ong.
Ganapati Tattwa mengajarkan tentang
hakekat alam semesta, di mana diciptakan oleh Panca Dewata dari unsur yang
paling halus sampai dengan tingkat yang mempunyai wujud nyata. Pertama-tama
yang diciptakan adalah Panca Tanmatra, yaitu dari Brahma lahir gandha tanmatra
dari Wisnu lahir rasa tanmatra dari Rudra lahir rupa tanmatra dari Iswara lahir
sparsa tamnatra dan dari Sadasiwa lahir sabda tanmatra. Kemudian kelima
tanmatra itu berkembang ke dalam wujud yang sedikit lebih konkrit, seperti : Sabda
tanmatra menjadi akasa berwarna bersih dan bening, Sparsa tanmatra menjadi bayu
yang berwarna putih, Rupa tanmatra menjadi teja, berwarna putih, merah dan
hitam, Rasa tanmatra menjadi apah, berwarna hitam gandha tanmatra menjadi
pertiwi, berwarna kuning. Pada tahap perkembangan selanjutnya barulah sampai
pads tingkatan yang mempunyai bentuk nyata, seperti : dari pertiwi lahir bumi
atau tanah, dari teja lahir matahari, bulan dan bintang dari apah lahir air, dari
bayu lahir angin, dari akasa lahir suara.
Setelah alam semesta itu tercipta,
kemudian tumbuhlah semua jenis tumbuh-tumbuhan dan semua jenis binatang. Dan
Panca Dewata berperan sebagai penjaganya. Brahma bertempat diselatan menjaga
bumi, Wisnu di utara menjaga air, Rudra di barat menjaga matahari, bulan dan
bintang, Iswara di timur menjaga udara, Sadasiwa di tengah menjaga ether. Demikianlah
proses penciptaan bhuwana agung (alam semesta) oleh Panca Dewata. Proses
penciptaan bhuwana alit tidak jauh berbeda dengan penciptaan bhuwana agung,
sama-sama diciptakan panca Dewata.
1. Brahma danWisnu menciptakan tubuh
dengan sarana tanah dan air
2. Rudra menciptakan mata dari teja
3. Iswara menciptakan nafas dari bayu
4. Sadasiwa menciptakan suara dari akasa
Setelah itu terbentuk barulah atma
menjelma dalam kehidupan manusia. Dan Panca Dewata pun mulai menempati
bagian-bagian tubuh untuk menjaganya dan menumbuhkan kesadaran dan menjiwai
bagian-bagian tubuh tersebut.
1. Brahma menempati muladara
2. Wisnu menempati nabhi (pusar)
3. Rudra menempati hati
4. Iswara menempati leher
5. Sadasiwa menempati ujung lidah
Dalam proses perkembangan manusia
selanjutnya, manusia berperan sebagai alat melalui sanggama. Sedangkan yang
menjadi benih manusia disebut riipa suksma yang berkeadaan abstrak dan gaib.
Rupa suksma ini menjadi sukla yang mempunyai warna seperti manik putih
kekuning-kuningan. Sedangkan swanita keluar dari Pradhana Tattwa. Keduanya
kemudian bercampur dalam rahim si ibu. Di sanalah is terbentuk dan berkembang
sehingga mencapai wujud yang sebenarnya. Tahap-tahap perkembangannya dilukiskan
sebagai berikut :
1. umur satu bulan rupanya seperti buih
2. umur 3 bulan berwujud gumpalan darah
3. umur 4 bulan menjadi Siwalingga,
berlubang di bagian tengahnya berisi Ongkara
dan suksma rupa
4. umur lima bulan menjadi Maya Reka
5. umur enam bulan menjadi seperti api
6. umur bulan ketujuh menjadi seperti ulat
dalam kepompong yang disebut gading.
7. pads umur kedelapan menjadi anak gading
yang disertai dengan nafas yang
keluar dari Ongkara, juga tulang,
kuku dan rambut
8. umur sepuluh bulan si jabang bayi
keluar dari perut ibu.
Yang menghidupi dari janin sampai
menjelang kematian berbeda-beda namanya sesuai dengan tingkat perkembangannya
namun sesungguhnya hakekatnya adalah sama. Ketika masih dalam rahim dijiwai
oleh Suksma Rupa. Setelah sepuluh bulan dijiwai oleh Sunia. Setelah lahir
dijiwai oleh Nirwana. Setelah bisa menyebut nama ibu-ayah dihidupi oleh hwa.
Setelah dewasa dihidupi oleh Atma. Pada saat kematian terjadi pengembalian
secara berjenjang, seperti : atma kembali pada jiwa; jiwa kembali pada nirwana;
nirwana kembali pada sunia, sunia lenyap menjadi suksma terus kembali pada
Sanghyang Ngamutmonga, dan Sanghyang Ngamutmonga kembali kepada Niskala, yang
merupakan tujuan tertinggi.
Tujuan dari kelahiran adalah untuk
bersatunya kembali atma kepada sumbernya, tidak terlahirkan kembali. Untuk itu
Ganapati Tattwa memperkenalkan enam jenis yoga yang disebut dengan Sad Angga
Yoga. Seorang yogi dalam melaksanakan pemujaan melalui yoganya, ia mewujudkan
Swalingga (atmalingga) dalam dirinya, di samping pars lingga yang ada di luar dirinya.
Dan tubuh sendiri dipandang sebagai kahyangan dewata, sebagai sadhana untuk
mencapai kelepasan.
Pada saat atma meninggalkan tubuh, jalan
terbaik adalah melalui sela-sela pikiran, sehingga atma mencapai tujuan
tertinggi. Ada dua kemungkinan yang akan dicapai dalam kelepasan yaitu :
1. Mungkin akan mencapai Sadhudhranti yang
akan mengantarkan pada kamoksan,
apabila petunjuk-petunjuk yang telah
diberikan dilaksanakan dengan
teguh. Di sini atma tidak akan terlahirkan kembali.
2. Mungkin akan mencapai Wyudhbhranti,
yang akan mengantarkan pada kelahiran
kembali, bila semua petunjuk tidak dilaksanakan dengan teguh.
Kelepasan atau kamoksan adalah
ajaran kerohanian yang sangat tinggi dan bersifat sangat abstrak. Karena itu ia
harus dipahami melalui pengamalan terhadap Sanghyang Bheda Juana dengan baik, adanya keyakinan terhadap
ajaran tersebut, mampu mengendalikan indriya,
patuh dan bakti kepada guru, teguh dan tekun melaksanakan ajaran dharma, Berta
berlaku suci lahir basin sebagai landasan
hidupnya. Itulah yang akan mengantarkan seseorang
pada pencapaian kelepasan atau kamoksan.
3.4. Sanghyang Mahajnana
Sanghyang Mahajfidna terdiri atas 87
pasal menggunakan bahasa Sanskerta dan bahasa Jawa Kuna. Bahasa Sanskertanya
disusun dalam bentuk sloka dan bahasa Jawa Kunanya disusun dalam bentuk bebas
(gancaran) yang dimaksudkan sebagai terjemahan/penjelasan bahasa Sanskertanya. Sanghyang
Manajnana mengandung ajaran yang bersifat Siwaistik yang pada intinya
mengajarkan mengenai cara untuk mencapai kelepasan, bersatu dengan Sang
Pencipta yaitu Bhatara Siwa. Ajarannya disampaikan dalam bentuk dialog, tanya
jawab.
Tokoh yang ditampilkan adalah
Bhatara Guru dan Sang Kumdra. Bhatara Guru berperan sebagai guru rohani yang
menjelaskan ajaran tentang Bhatara Siwa. Sedangkan Sang Kumara berperan sebagai
siswa kehormatan yang selalu bertanya kepada Bhatara Guru mengenai hakekat
tertinggi tentang Bhatara Siwa. Oleh karena inti ajarannya adalah tentang
kelepasan, maka didalam menjelaskan ajarannya, Sanghyang Mahajnana mengungkap
rahasia diri manusia dalam hubungannya dengan dewa¬dewa dan semesta alam. Di
mana hal tersebut mutlak harus diketahui bila seseorang menginginkan kelepasan
(ika to kawruhana de sang mahyun kalepasan).
Di dalam Sanghyang Mahajnana dijelaskan
bahwa sepuluh indriya (dasendriya)
yang ada dalam diri manusia bersifat tidur, tidak ada gerak, diam. Sedangkan lima
unsur tenaga hidup (pancawayu) dan
teja memiliki sifat jags, penuh dengan gerak. Pradhana dilukiskan sebagai malam
hari, purusa sebagai matahari yang terbit di malam hari, sedangkan atma
dilukiskan sebagai kebijaksanaan.
Pradhana juga dilukiskan sebagai
seorang anak laki-laki, Triguna sebagai anak yang tiga orang. Intelek dan
pikiran dilukiskan sebagai gala yang dua buah. Dasendriya diibaratkan sebagai
sepuluh ekor lembu. Sedangkan pangkalnya hari dan jantung dilukiskan sebagai
sawah. Prakerti dilukiskan sebagai ibu; Purusa adalah bapak dharma, dan adharma
adalah dua orang pencuri, intelek dan pikiran adalah brahmana yang dua orang.
Dasendriya sebagai keraton dan badan sebagai benua (pulau).
Badan diibaratkan sebagai angkasa;
pikiran sebagai bunga; Ongkara sebagai api dalam air; dasendriya sebagai
pasmapis punggungnya; dan semua otot diibaratkan sebagai sungai. Pradhana
adalah malam hari ; Purusa adalah mata hari yang muncul di malam hari;
Sanghyang Atma adalah kebijaksanaan. Badan panca mahabhuta adalah malam hari;
dasendriya adalah matahari yang dianggap sebagai kesadaran atma. Dasendriya
adalah kereta; Purusa adalah sais; dharma dan adharma sebagai tali kekang;
Pradhana sebagai badannya kereta. Wisnu sebagai kereta; Brahma sebagai kerbau;
Iwara sebagai sais, Siwa berada di tengahnya kereta sebagai jiwa semuanya.
Sanghyang Mahajnana juga memaparkan rahasia diri manusia terkait dengan alam,
dewa-dewa, letaknya alam tubuh, warna dan sebagainya seperti berikut :
1. Pusar
warnanya putih, alamnya jagrapada, dewanya brahma.
2. Hati warnanya
seperti matahari, alamnya Swanapada, dan dewanya Wisnu.
3.
Pangkal hati, warnanya seperti bulan, alamnya susuptapada, dan dewanya Rudra.
4.
Pangkal kerongkongan, warnanya Kristal, alamnya Turyapada, dan dewanya Maheswara.
5.
Dahi, warnanya Seperti perak, alamnya Turyantapada, dan dewanya Mahadewa.
6. Paha, warnanya Seperti emas, alamnya Kewalyapada,
dan dewanya hana.
7.
Kepala, warnanya Tak tentu, alamnya Paramakewalya, dan dewanya Paramasiwa.
Alam paramakewalya yang merupakan
stana Paramasiwa adalah tujuan setiap orang yang menginginkan kebebasan dari
proses tumimbal lahir (maya kajanma sangsara) setelah mengalami kematian.
Karena la adalah inti dari kelepasan. Untuk dapat mencapai alam itu, maka
seseorang (yogi) hendaknya mempersembahkan semua keinginannya, kemarahannya,
kelobaannya, keirihatiannya kepada Bhatara Brahma yang akan dibakar dengan api
Sanghyang Ongkara, sehingga terbebas dari segala mala. Kemudian mengadakan pemusatan
pikiran yang tiada henti-hentinya kepada Bhatara Siwa melalui swalingga atau atmalingga
dan perwujudan lingga yang ada di luar diri dengan sarana mantra "Ong Sa
Ba Ta A I" atau "Ong namah Siwa ya". Pada natiannya akan sampai
kepadanya.
3.5. Tattwajnana
Tattwajnana menggunakan bahasa Jawa
Kuna yang disusun dalam bentuk bebas (gancaran). Sebagai kitab Tattwa
disebutkan bahwa Tattwajnana merupakan "dasar semua Tattwa (bungkahing tattwa
kabeh). Pemahaman Tattwajnana secara baik akan memberikan pahala yang luar
biasa seperti "memahami betapa menderitanya menjelma dan (mengetahui
jalan) untuk kembali pads asal mula", sehingga lepas dari proses kelahiran
sebagai manusia (luputeng Janina sangsara).
Tattwajnana
dalam menjelaskan ajarannya dimulai dengan memaparkan dua unsur universal yang
ada di alam raya ini yaitu Cetana dan Acetana.
Cetana adalah unsur kesadaran
(consciousness) yang disebut dengan Siwatattwa yang memiliki sifat Autur prawa".
Sedangkan Acetana adalah unsur ketidaksadaran (unconsciousness) yang disebut
Mayatattwa yang memiliki sifat lupa, tan pajnana, tan pacetana. Cetana atau
Siwatattwa ada tiga tingkatannya yaitu Paramasiwatattwa, Sadasiwatattwa dan
Atmikatattwa.
Paramasiwatattwa adalah Bhatara Siwa
dalam keadaan tanpa bentuk (kasthityan bhatara ring niskala) yang tidak
tersentuh oleh apapun. Sadasiwatattwa adalah Bhatara Siwa yang sudah mulai
tersentuh oleh sarwajiia, sarwakaryakarta, cadusakti dan jnanasakti. Ia disebut
Bhatara Adipramana, Bhatara Jagatnatha, Bhatara Karana, Bhatara Parameswara,
Bhatara Guru, Bhatara Mahulun, Bhatara Wasawasitwa. Ia berkuasa untuk mengadakan
dan meniadakan, tetapi Ia sendiri tidak diciptakan. Atmikatattwa adalah Sadasiwatattwa
yang "utaprota" dalam Mayatattwa (Acetana). Uta artinya la berada
secara gaib dalam Mayatattwa
bagaikan api dalam kayu. Prota artinya Ia berkeadaan bagaikan permata bening
cemerlang dalam Mayatattwa. Tetapi karena dibungkus oleh warna merah Mayatattwa
menyebabkan sifat sarwaisidhi, sarwakaryakarta, cadusakti, jnanasaktiNya
menjadi hilang. Karena itu disebut Atmikatattwa, Atma Wisesa, atau Bhatara
Dharma yang menjadi roh semua yang ada tanpa pilih kasih, bagaikan matahari secara
adil memberikan sinarnya kepada semua yang ada.
Karena ada keinginan untuk melihat
"wastu sakala", maka dipertemukanlah Atma dengan Pradhanatattwa (anak
dari Mayatattwa). Atma perwujudan tutur (kesadaran) dan Pradhdna perwujudan
lupa (ketidaksadaran). Bertemunya tutur dengan lupa disebut Pradhanapurusa.
Pada saat pertemuannya itu melahirkan citta dan guna. Citta lahir dari Purusa,
guna lahir dari Pradhana. Guna ada tiga perinciannya yaitu : Sattwa, rajah dan
tamah. Ketiganya disebut Triguna. Guna ini berpengaruh terhadap citta sehingga
disebut citta sattwa, citta rajah dan citta tamah.
Guna sangat berpengaruh terhadap
sifat seseorang, satu sama lain berbeda tergantung pada kadar guna yang ada
pada diri seseorang. Bila sattwa dominan pada citta akan menimbulkan
sifat¬sifat yang balk, tabu salah dan benar yang clapat mengantar seseorang
pada kamoksan. Bila rajah dominan pada citta akan menimbulkan sifat-sifat yang
kurang baik. Namun bila rajah bertemu dengan sattwa akan menyebabkan mencapai
sorga. Bila sattwa, rajah dan tamah sama-sama dominan menyebabkan terlahirkan
sebagai manusia.
Pada saat Triguna bertemu dengan
citta, maka lahirlah Budhi clan dari budhi lahir ahangkara. Ahangkara dibedakan
menjadi tiga yaitu : ahangkara walkreta, taijasa dan bhutadi. Ahangkdra
waikreta mengadakan manah dan dasendrya (pancendriya dan panca karmendriya).
Ahangkara bhutadi mengadakan pancatanmatra. Dari pancatanmatra lahir pancamahabhuta.
Sedangkan ahangkdra taijasa membantu kerja ahangkara walkreta dan bhutadi.
Bercampurnya pancamaliahmita dengan guna melahirkan andhabhuwana, seperti
saptaloka (alam atas) dan sapta patala (alam bawah), Bhatara Siwa menyusupi
alam semesta, kemudian dengan kriya saktinya manusia diciptakan. Ketika atma
berhubungan dengan ahamkara menimbulkan pancatanmatra, pancamahabhuta dan
manah. Dihubungkannya atma dengan manah menyebabkan atma dibedakan menjadi lima
yang disebut dengan panca atma.
Seseorang yang ditempati oleh
bhatara Siwa akan memiliki "atma wisesa". Berbeda dengan binatang,
tidak memiliki "dtma wisesa". la hanya memiliki bayu, sabda idep. Hal
itu juga ada pada manusia dan diberikan kesadaran oleh atma dalam kadar yang
berbeda-beda tergantung pada subha-asubha karmanya. Atma yang berada di alam
jagra dan Wirya lepas dari pengaruh subha-asubha karma itu. Sedangkan atma yang
berada di alam susupta terkena pengaruh subha-asubha karma sehingga harus
mengalami proses kelahiraan karena selalu diombang-ambingkan oleh pikiran.
Alam sunya dan mayarita sulit
dijangkau oleh pikiran karena kehalusannya, tetapi dapat ditentukan melalui tri
pramana. Alam mayanta hanya dapat dibayangkan dengan agama pramana. Tubuh
manusia dibangun oleh intisari zat makanan yang disebut sadrasa. Pada dasarnya
tubuh ini dibangun oleh pancamahabhuta. Tubuh ini disebut dengan bhuwana alit,
alam kecil, yang sebenarnya merupakan tiruan dari bhuwana agung, alam besar.
Karena itu, sapta bhuwana, sapta patala, sapta parwata, sapta arnawa, sapta
dwipa, dalam bhuwana agung ditemukan pula pada bagian-bagian tubuh manusia.
Sungai-sungai dalam bhuwana agung diwujudkan dengan nadi dalam tubuh yang
jumlahnya sangat banyak. Dalam tubuh juga terdapat wayu yang merupakan tenaga
penggerak tubuh. Dan kesemuanya itu dihidupi oleh atma. Tubuh ini didiami oleh
atma, juga dewa-dewa menempati bagian-bagian tubuh manusia, seperti : Brahma
menempati hatl,. Wisnu menempati empedu, dan Iswara menempati jantung, dan
sebagainya. Pancaresi, dewaresi, saptaresi, para dewata, gandarwa, pisaca turut
pula menempati tubuh manusia. Kesemuanya itu turut memberi warna sifat-sifat
manusia.
Pradhanatattwa adalah badan atma
pada tubuh manusia yang disebut dengan amba. Sedangkan tubuh itu sendiri
disebut dengan angga. Bersatunya angga dengan amba disebut anggapradhana. Ambalah
yang menimbulkan suka-duka, baik-buruk. Ambalah penikmat semua obyek keindahan
melalui dasendryia. Karena itu, dasendriya harus ditarik dari obyeknya dengan
mengembalikannya kepada amba. Amba dikembalikan kepada pramana. Pramana kedalam
dharmawisesa. Dharmawisesa ke dalam untawisesa. Antawisesa ke dalam anantawisesa.
Untuk mengembalikan kepada
anantawisesa Tattwajnana mengajukan jalan prayogasandhi yaitu asana, pranayama,
pratyahara, dharana, dhydna, tarka dan samadhi. Prayogasandhi akan dapat
dilaksanakan apabila dituntun oleh samyasjnana (pengetahuan yang benar).
Samyasjnana diperoleh melalui bhumi brata, tapa, yoga dan samadhi. Kesemuanya
itu akan mempertajam panah prayogasandhi dan mengarahkannya pada sasaran secara
tepat. Dengan bebasnya atma dari semua selubung hitam warna¬warna Mayatattwa,
maka pada saat berpisahnya Ia dari pancamahabhuta akan kembali pada sumber
asalnya (mantuka ri sangkanya), Bhatara Paramasiwa.
3.6. Jnanasiddhanta
Ajarannya menggunakan bahasa
Sanskerta dan bahasa Jawa Kuna. Kitab ini terdiri atas 27 bab yang mencakup suatu
bidang ajaran yang sangat luas yang pada intinya mengandung ajaran tentang
kelepasan/moksa, menyatunya alma kepada sumber asalnya. Tuhan dalam Jnanasidhanta
disebut Bhatara Siwa. Beliau Maha Esa. Beliau dipahami sebagai kodrat Siwa yang
sejati sebagai satu-satunya saja, tidak dua, dan tidak pula tiga. Ia tidak
jauh, tidak juga dekat. Ia tidak ada pada permulaan, tengah dan akhir. Ia tidak
dapat musnah, maha sempurna, tanpa tubuh, mraj'fidnam, teramat kecil, sukar
ditangkap karena sangat halus, tanpa batas, la merupakan kekuasaan tertinggi.
Ia yang Esa wring dipandang lebih
dari satu (aneka), karena bercirikan empat yaitu sthtula, suksma, para dan
sunya. Sthula artinya beliau dibayangkan tampak dalam sabdamaya. Sabdamaya
artinya dituturkan dalam bentuk mantra. Suksma artinya beliau dibayangkan terjelma
dalam citta maya. Citta-maya adalah isi dari pikiran yang terwujud dalam
pengetahuan. Para artinya beliau dibayangkan terjelma dalam citta-wirahita.
Citta-wirahita artinya ditinggalkan oleh akal budhi. Sunya artinya beliau
dipandang sebagai citta-rahitantya, tidak memiliki ciri-ciri apapun.
Bhatara Siwa adalah sumber semua
yang ada termasuk dewa¬dewa dan manusia yang diciptakan melalui pemecahan diri
Sanghyang Mahawindu menjadi para dan apara dengan sarana Saktinya yang terdiri
atas dasasakti, nawasakti, astasakti, pancasakti, dan trisakti. Tubuh manusia
yang diciptakan oleh Bhatara Siwa, digambarkan sebagai sebuah misteri karena
sulit dipahami dengan akal. Tubuh manusia boleh dikatakan sebagai tiruan dunia
yang besar (bhuwana agung) karena itu disebut bhuwana alit. Dikatakan tiruan
dunia yang besar karena apa- yang terdapat di sang ada pula dalam tubuh
manusia. Dalam dunia besar ada Sapta Tirtha dalam tubuh ada pula. Demikian pula
dalam dunia besar terdapat Sapta Samudra, Sapta Patala juga terdapat dalam
tubuh manusia.
Tubuh manusia disamping digambarkan
sebagai tiruan dunia yang besar juga dilukiskan sebagai lambang Om kara. Om
kara disebut pula Pranawa, Visva, Ghosa, Ekaksara, Tumburu¬tryaksarangga. Bagian
tubuh yang melambangkan Om kara adalah : Dalam Tubuh Simbul Tubuh bagian dalam Simbul Dada O kara,
Paru-paru O kara, Lengan Ardhacandra, Limpa Ardhacandra, Kepala Vindu, Jantung Vindu,
Rambut Nada, Empedu Nada, Ati Matra.
Tubuh manusia juga ditempati oleh
dewa-dewa. Juga terdapat tenaga penggerak tubuh yang disebut wayu. Tubuh ini
juga dipenuhi oleh nadi yang berfungsi sebagai jalan pendakian atma menuju
ubun-ubun dan perjalan prana dalam tubuh. Nadi adalah lambang sungai yang ada
di alam besar. Itulah gambaran tentang rahasia diri manusia yang mutlak harus
dikenal oleh seseorang yang menginginkan kelepasan. Dalam kelepasan semuanya
akan kembali kepada Bhatara Siwa (surud ri sira), karena Beliau adalah pencipta
semua yang ada ini (dadi sakeng bhatara Siwa ika).
Untuk memperoleh kelepasan seseorang
dapat melaksanakan yoga melalui enam tahapannya (sadanggayoga). Keenam tahapan
itu ialah pratyahara, dhyana, pranayama, dharana, tarka dan samadhi. Dalam
melaksanakan yoga, maka la harus mewujudkan Atmalingga dalam dirinya. Atmalingga
adalah mewujudkan Sanghyang Ongkara dan Tri Aksara dalam diri berstana dalam
batin.
Dalam meditasi
ada tujuh hal yang harus diperhatikan yaitu :
1. Semua tingkah laku dipusatkan kepada
Bhatara Siwa
2. Batin dipusatkan pada Bhatara Siwa
3. Pendengaran dipusatkan pada Bhatara
Siwa
4. Penglihatan dipusatkan pada Bhatara
Siwa
5. Kata-kata dipusatkan pada Bhatara Siwa
6. Jadikan kedipan mata itu kepada Bhatara
Siwa
7. Jadikanlah Bhatara Siwa sebagai
nafasmu.
Ketujuh pemusatan pikiran ini
disebut Sapta-buddhyanggamarga. Apabila ketujuh itu berhasil ditunggalkan maka
disebut ekatara parama (ketunggalan tertinggi). Pada saat ketunggalan tertinggi
terjadi, maka tidak ada lagi yang dirasakan, yang ada hanyalah rasa-wiksa,
wulat-wlksa, wulah-wisesa. Bila itu sudah terjadi maka tercapailah keIepasan
itu. Ada tiga jalan utama yang dapat ditempuh pada saat terjadi peleburan.
Ketiga jalan itu ialah melalui ubun-ubun (nistha), ujung hidung (madhya), dan
mulut (uttama). Ketiga jalan itu menyebabkan tidak akan dilahirkan lagi sebagai
manusia. Menyatu kepada Sang Pencipta.
0 komentar:
Post a Comment